Thorium, Bahan Bakar Nuklir Masa Depan

Perkembangan teknologi reaktor nuklir maju membuka peluang bagi pemanfaatan thorium sebagai bahan bakar nuklir. Bagi sebagian kalangan, seperti Thorium Energy […]

blank

Perkembangan teknologi reaktor nuklir maju membuka peluang bagi pemanfaatan thorium sebagai bahan bakar nuklir. Bagi sebagian kalangan, seperti Thorium Energy Alliance, thorium dianggap sebagai kunci utama revolusi industri nuklir, yang saat ini bisa dikatakan salah arah.

Thorium merupakan nuklida radioaktif yang pertama kali ditemukan pada tahun 1829 oleh Jons Jakob Berzelius, ilmuwan Swedia. Waktu paruhnya mencapai 14 milyar tahun, lebih tua dari umur bumi. Waktu paruh adalah waktu yang dibutuhkan agar jumlah suatu zat berkurang menjadi setengah dari nilai awalnya. Oleh karena itu, level radioaktivitas thorium sangat rendah[1].

Pemanfaatan thorium di bidang nuklir pertama dilakukan di Manhattan Project pada era Perang Dunia II. Selain digunakan di reaktor nuklir, thorium banyak digunakan di bidang optik dan instrumentasi. Sejumlah kecil thorium juga digunakan pada mantel lampu petromaks untuk menghasilkan cahaya terang ketika dipanaskan dengan api[1]. Ketertarikan terhadap teknologi molten salt reactor turut membangkitkan minat terhadap thorium sebagai bahan bakar nuklir alternatif untuk masa depan.

Baca juga Berkenalan Dengan Molten Salt Reactor, Reaktor Nuklir Super Selamat

Pada dasarnya nuklir manapun lebih baik daripada bukan nuklir dari sisi banyaknya energi yang dihasilkan. Walau demikian, dibandingkan uranium, thorium memang memiliki beberapa keunggulan yang cukup menarik. Berikut keunggulan-keunggulannya.

1. Ketersediaan melimpah

Uranium bukanlah logam langka. “Red Book” keluaran OECD-NEA mengestimasikan cadangan uranium pada tahun 2015 sebesar 5,7 juta ton[2]. Hampir sepertiganya ditemukan di Australia dengan cadangan substansial lainnya ada di Kazakhstan, Kanada, Rusia, Namibia dan lainnya. Apalagi, konsumsi uranium di reaktor nuklir sangat sedikit.

Ketersediaan thorium lebih banyak lagi dari uranium. Kandungan logam berat ini di kerak bumi kira-kira 3-4x lebih banyak dari uranium[3] (10 ppm berbanding 2,5 ppm). Pada tahun 2015, cadangan thorium teridentifikasi di seluruh dunia sebesar 6,3 juta ton[2], dan tidak seperti uranium, penyebarannya lebih merata. India, Cina, Brazil, Amerika Serikat, Australia, Mesir dan Turki memiliki cadangan thorium lebih dari 300 ribu ton. Berdasarkan estimasi BATAN, Indonesia memiliki cadangan thorium 130 ribu ton[4].

blank
Gambar 1. Persebaran deposit thorium di dunia (sumber: OECD-NEA)

Mengingat sekarang thorium belum punya kegunaan khusus yang benar-benar berarti, eksplorasi dan penambangan tambahan belum diperlukan, sehingga cadangan aktual thorium masih belum bisa dipastikan. Pemanfaatan thorium secara komersial di reaktor nuklir akan meningkatkan angka cadangan setidaknya tiga kali angka sekarang.

blank
Gambar 2. Potensi thorium dan uranium di Indonesia (sumber: twitter BATAN)

Cadangan yang telah teridentifikasi di atas cukup untuk membangkitkan listrik dua kali konsumsi listrik dunia saat ini selama lebih dari 1000 tahun.

2. Menghasilkan lebih sedikit limbah umur panjang

Salah satu penentangan terhadap energi nuklir umumnya menggunakan alasan “limbah umur panjang”, dalam hal ini elemen dengan nomor atom yang lebih tinggi dari uranium (transuranik). Kekhawatiran ini karena elemen transuranik membutuhkan waktu ribuan tahun sebelum meluruh menjadi isotop stabil. Walau begitu, secara teknis, alasan ini sebenarnya tidak masuk akal. Sebabnya, metode penanganan elemen transuranik sudah ada dan sangat minim risiko[5].

Baca juga Menguak Mitos Bahaya Limbah Radioaktif

Thorium memastikan alasan “limbah umur panjang” tidak berlaku lagi. Ketika digunakan di reaktor nuklir, thorium menghasilkan sedikit sekali elemen transuranik. Thorium memiliki nomor massa 232. Untuk bertransmutasi menjadi elemen transuranik terdekat, neptunium-237, thorium perlu menangkap lima netron. Dengan kata lain, jalannya jauh lebih panjang dan sulit daripada uranium-238, yang hanya butuh menangkap satu netron untuk menjadi plutonium-239[6].

Sebagai perbandingan, reaktor nuklir berbahan bakar thorium menghasilkan ± 1 kg elemen transuranik per GWe-tahun. Sementara, reaktor nuklir berbahan bakar uranium menghasilkan hingga 300 kg elemen transuranik per GWe-tahun, sebagian besarnya berupa plutonium[6]. Pengelolaan limbah radioaktif umur panjang yang tidak benar-benar sulit akan jauh lebih mudah lagi dilakukan.

blank
Gambar 3. Perbandingan limbah transuranik reaktor nuklir uranium dan thorium (sumber: Hargraves dan Moir, 2010)

Sisa limbah radioaktif dari “pembakaran” thorium akan meluruh dengan cepat dan sudah meluruh ke level aman dalam waktu 300 tahun[3]. Sebagai perbandingan, limbah beracun batubara, panel surya dan turbin angin akan tetap beracun selamanya.

3. Optimal digunakan di reaktor termal

Kecuali dua unit sodium-cooled fast reactor (SFR) di Rusia, seluruh reaktor nuklir di dunia ini merupakan reaktor termal. Reaktor ini menggunakan netron yang diperlambat kecepatannya (dimoderasi) menjadi kecepatan termal (energi 0,0025 eV). Maraknya penggunaan reaktor termal disebabkan kebutuhan bahan bakar startup yang jauh lebih sedikit daripada reaktor cepat dan pengendalian reaktor dalam kondisi transien lebih mudah dilakukan.

Baca juga Perkembangan Teknologi Reaktor Maju Bagian 2

Tangkapan netron oleh uranium-238 menghasilkan plutonium-239, bahan bakar fisil yang mirip dengan uranium-235. Namun, plutonium-239 memiliki performa kurang baik di reaktor termal, karena pada spektrum netron termal, peluang plutonium-239 untuk tidak berfisi ketika menangkap netron cukup besar. Karena itulah, reaktor termal tidak bisa memproduksi bahan bakar sendiri dalam jumlah memadai jika menggunakan uranium[3].

Thorium bertransmutasi menjadi uranium-233 ketika menangkap netron. Kebalikan dari plutonium-239, uranium-233 justru adalah bahan bakar dengan performa terbaik di reaktor termal. Peluang untuk tidak berfisi ketika menangkap netron lebih kecil ketimbang uranium-235 dan plutonium-239. Karena itu, reaktor nuklir thorium dapat memproduksi bahan bakar sendiri dalam jumlah memadai untuk bisa self-sustain, dengan kata lain tidak butuh asupan bahan bakar fisil baru[3]. Karakteristik ini menjamin thorium sangat sustainabel walau digunakan di reaktor termal.

4. Lebih resisten proliferasi

Penggunaan pertama teknologi energi nuklir adalah untuk keperluan militer. Lebih tepatnya adalah sebagai senjata untuk menghancurkan kota Hiroshima dan Nagasaki pada Perang Dunia II. Kandungan energi yang sangat tinggi dalam material yang sangat sedikit menjadi anugerah sekaligus potensi kekhawatiran, seandainya disalahgunakan menjadi senjata nuklir. Istilahnya adalah proliferasi.

Reaktor nuklir uranium menghasilkan plutonium, yang merupakan bahan baku peledak Fat Man yang menghancurkan Nagasaki. Dari segi kemurnian, sebenarnya plutonium pada bahan bakar bekas reaktor uranium tidak cukup untuk standar senjata nuklir, IAEA tetap memberlakukannya sebagai proliferation concern. Sehingga, pengelolaannya agak problematik[7].

Thorium lebih aman dari proliferasi dibandingkan uranium. Uranium-233, hasil transmutasi thorium, adalah bahan baku senjata nuklir yang potensial. Namun, produksi uranium-233 selalu disertai dengan produksi sejumlah kecil uranium-232. Isotop ini meluruh dengan cepat menjadi thallium-208, isotop pemancar radiasi gamma berkekuatan tinggi (2,6 MeV)[3,6].

Kontaminasi 50 ppm uranium-232 cukup untuk mempersulit hidup perakit senjata nuklir, karena pancaran radiasi gamma-nya mengharuskan mereka menggunakan perisai radiasi ekstra tebal dan sistem handling yang mahal. Radiasi gamma yang dipancarkan juga dapat merusak perangkat elektronik dalam senjata nuklir, membuatnya tidak bisa digunakan[3,6].

Jauh lebih mudah menggunakan metode produksi plutonium-239 weapon-grade untuk membuat senjata nuklir daripada menggunakan thorium. Tidak ada alasan mengapa pihak-pihak tertentu harus repot-repot menggunakan thorium untuk proliferasi nuklir.

Empat poin keunggulan di atas cukup menunjukkan beberapa keunggulan thorium dibandingkan uranium. Namun, tentu saja thorium memiliki beberapa kendala tersendiri.

Kendala paling utama dari thorium adalah bahan bakar ini tidak bisa langsung digunakan di dalam reaktor nuklir. Pasalnya, thorium bersifat fertil, bukan fisil, sehingga perlu ditransmutasikan terlebih dahulu. Jika dimisalkan, thorium adalah kayu basah. Tidak bisa terbakar langsung, tetapi harus dipicu dengan kayu kering. Pembakaran kayu kering akan mengeringkan kayu basah, barulah kayu basah tersebut dapat terbakar. “Kayu kering” untuk memicu “pembakaran” thorium adalah uranium. Jadi, pada kondisi awal, pemanfaatan thorium akan terikat dengan uranium.

Kontaminasi uranium-232 membuat thorium resisten terhadap proliferasi. Namun, hal ini menjadi pedang bermata dua karena mempersulit reprosesing bahan bakar. Tidak hanya pembuat senjata nuklir yang dibuat kerepotan dengan kontaminasi uranium-232, tetapi juga fasilitas reprosesing bahan bakar nuklir. Sehingga, biaya reprosesing thorium kemungkinan sedikit lebih mahal daripada biaya reprosesing uranium.

Kendala-kendala di atas bukan tidak bisa dihadapi, walau mungkin membutuhkan waktu. Terlepas dari itu, thorium memang menawarkan keunggulan-keunggulan menarik sebagai bahan bakar nuklir masa depan, sebagai pendamping uranium.

 

Referensi

  1. Thorium. (https://en.wikipedia.org/wiki/Thorium). Diakses pada 13 Februari 2018.
  2. Nuclear Energy Agency, International Atomic Energy Agency. 2016. Uranium 2016: Resources, Production and Demand. Paris-Vienna: OECD-IAEA.
  3. Robert Hargraves. 2012. Thorium Energy Cheaper Than Coal. Hanover: CreateSpace Independent Publishing Platform.
  4. Batan: Ada Energi Alternatif Di Indonesia, Thorium. Dipublikasikan 4 Januari 2017. (https://www.viva.co.id/digital/866769-batan-ada-energi-alternatif-lain-di-indonesia-thorium). Diakses pada 13 Februari 2018.
  5. Bernard L. Cohen. 1990. The Nuclear Energy Option. Pittsburgh: Plenum Press.
  6. Robert Hargraves, Ralph Moir. 2010. Liquid Fluoride Thorium Reactors, an old idea in nuclear power gets revisited. American Scientist vol. 98, pp. 304-313. Juli-Agustus 2010.
  7. World Nuclear Association. Plutonium. (http://www.world-nuclear.org/information-library/nuclear-fuel-cycle/fuel-recycling/plutonium.aspx). Diakses pada 13 Februari 2018.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Yuk Gabung di Komunitas Warung Sains Teknologi!

Ingin terus meningkatkan wawasan Anda terkait perkembangan dunia Sains dan Teknologi? Gabung dengan saluran WhatsApp Warung Sains Teknologi!

Yuk Gabung!

Di saluran tersebut, Anda akan mendapatkan update terkini Sains dan Teknologi, webinar bermanfaat terkait Sains dan Teknologi, dan berbagai informasi menarik lainnya.