Teknologi reaktor nuklir telah berkembang pesat sejak pertama kali beroperasi pada tahun 1940-an. Reaktor daya nuklir yang digunakan di seluruh dunia saat ini adalah reaktor nuklir Generasi II dan III. Tidak lama lagi, pada dekade 2020-an, era reaktor nuklir Generasi IV (reaktor maju) akan menyambut kita.
Baca juga: Benarkah Radiasi Nuklir Dapat Menyebabkan Kemandulan?
Pada Bagian 1 (silahkan baca Perkembangan Teknologi Reaktor Nuklir Maju, Bagian 1), telah dibahas tiga dari enam teknologi reaktor maju, yakni Molten Salt Reactor (MSR), Very High Temperature Reactor (VHTR) dan Supercritical Water Reactor (SCWR).
Bagaimana dengan tiga teknologi lainnya? Berikut penjabarannya.
- Sodium-Cooled Fast Reactor (SCFR)
SCFR adalah desain reaktor maju yang paling banyak mendapat dukungan riset di berbagai negara. SCFR menggunakan bahan bakar padat dan pendingin berupa logam natrium cair. Karena didesain untuk beroperasi pada spektrum netron cepat, SCFR tidak membutuhkan moderator seperti MSR, VHTR maupun SCWR. SCFR difokuskan untuk menggunakan bahan bakar uranium dan plutonium[1].
Penggunaan berupa natrium cair pada suhu operasi nominal 510oC meniscayakan SCFR beroperasi dengan tekanan atmosfer, sehingga tidak butuh bejana bertekanan tinggi[2]. Dampaknya, risiko kecelakaan karena kehilangan tekanan tidak dapat terjadi. Sedikit isu pada SCFR adalah dari penggunaan pendingin natrium, yang menyebabkan reaktor memiliki reaktivitas void positif. Reaktivitas positif tersebut menyebabkan reaksi fisi berantai justru meningkat ketika terjadi kondisi reaktor kehilangan pendingin (loss of coolant), alih-alih berkurang. Jika tidak segera dikendalikan, dampaknya dapat menyebabkan meltdown. Namun, hal ini dapat diantisipasi dengan penggunaan reflektor thorium.
Natrium bersifat reaktif. Kebocoran natrium dari pipa pendingin primer dapat berimbas pada terpantiknya api di gedung reaktor. Namun pengalaman operasional SCFR di Rusia menunjukkan bahwa hal itu sangat jarang terjadi dan sudah teratasi sejak tahun 1990-an[4]. Hingga tahun 2018, teknologi reaktor maju SCFR hanya ada 1 di Rusia dan reaktor tersebut masih menggunakan desain SCFR yang lama.
Kombinasi spektrum netron cepat dan siklus uranium meniscayakan SCFR memiliki kemampuan pembiakan[2]. Kemampuan pembiakan ini menyebabkan SCFR mampu memproduksi bahan bakar dalam reaktor lebih banyak daripada yang dikonsumsi. Efeknya, penggunaan bahan bakar SCFR sangat hemat.
Dua unit SCFR, yakni BN-600 dan BN-800, telah beroperasi di Rusia. Sementara satu unit purwarupa SCFR di India hampir selesai dibangun. Travelling Wave Reactor (TWR), salah satu varian SCFR yang didesain oleh TerraPower, diproyeksikan untuk dibangun purwarupanya di Cina pada tahun 2020[3].
- Lead-Cooled Fast Reactor (LCFR)
LCFR mirip dengan SCFR, yaitu sama-sama beroperasi dengan spektrum netron cepat. Bedanya, LCFR menggunakan pendingin timbal atau timbal-bismuth cair alih-alih natrium[2]. Karena menggunakan timbal, maka secara teoretis LCFR mampu beroperasi dengan suhu lebih tinggi dari SCFR, hingga mencapai 800oC. Efeknya, LCFR berpotensi untuk digunakan dalam pembangkitan hidrogen. Akan tetapi masalah korosi pada suhu tinggi masih menjadi ganjalan yang memperlambat pengembangan LCFR. Sementara ini purwarupa LCFR masih akan dioperasikan pada suhu konservatif, yakni 550oC1].
LCFR dapat menggunakan uranium maupun thorium sebagai bahan bakar. Sebagaimana SCFR, LCFR juga memiliki kemampuan pembiakan. Karena timbal cair tidak mendidih pada suhu tinggi, LCFR beroperasi pada tekanan ambien. Implikasinya, LCFR tidak membutuhkan pressure vessel yang mahal[1].
Riset LCFR telah dilakukan di Amerika Serikat, Jepang, Rusia dan Eropa, dengan rencana operasional mulai 2025 untuk LCFR dengan suhu operasi lebih rendah dan 2040 untuk LCFR suhu tinggi[1].
Karena sama-sama menggunakan pendingin logam cair, SCFR dan LCFR dapat dimasukkan dalam kategori lebih tinggi yaitu Liquid Metal Fast Breeder Reactor (LMFBR).
- Gas-Cooled Fast Reactor (GCFR)
Yang terakhir adalah GCFR. Prinsip GCFR hampir mirip dengan Advanced Gas-cooled Reactor (AGR), yaitu menggunakan bahan bakar padat dan pendingin gas. Hanya saja, GCFR tidak menggunakan moderator[2]. Jadi, GCFR beroperasi dengan spektrum netron cepat. Dengan demikian, GCFR lebih cocok untuk siklus bahan bakar uranium. Suhu operasi GCFR mampu mencapai 850oC sehingga dapat digunakan untuk memproduksi hidrogen[1].
Karena menggunakan pendingin gas, maka GCFR tidak terpengaruh reaktivitas void. Efeknya, kehilangan aliran pendingin tidak akan menyebabkan kenaikan reaksi fisi berantai yang dapat menyebabkan meltdown. GCFR merupakan reaktor nuklir dengan densitas daya rendah. Imbasnya adalah lebih mudah dilakukan pendinginan reaktor ketika terjadi shutdown. Bahkan dimungkinkan bahwa pendinginan GCFR tidak memerlukan pendingin air, melainkan hanya menggunakan sirkulasi udara (pendinginan pasif).
Dibandingkan kelima desain lain, GCFR adalah satu-satunya desain reaktor maju yang belum pernah dibangun purwarupanya. Diperkirakan, purwarupa GCFR baru akan beroperasi setelah tahun 2022. Euratom berencana untuk membangun purwarupa GCFR dimulai pada tahun 2018. Prancis, Euratom, Jepang dan Swiss bekerjasama dalam riset GCFR[2].
Tentu saja tiap-tiap desain ini masih memiliki tantangan tersendiri untuk diatasi sebelum bisa dioperasikan secara komersial. Karena itulah, hingga medio 2020-an, reaktor nuklir kontemporer masih akan mendominasi dalam pembangunan PLTN. Walau demikian, perbaikan fitur yang ditawarkan oleh reaktor maju tentu sangat menarik untuk menjadi pilihan.
Ketika negeri ini memutuskan untuk go nuclear, maka reaktor maju sudah seharusnya menjadi prioritas utama pilihan teknologinya. Indonesia sendiri melalui BATAN tengah mengembangkan reaktor maju berjenis VHTR. Sementara, Martingale Inc. sedang mengajukan lisensi pengujian MSR mereka, ThorCon, untuk dibangun purwarupanya di Indonesia.
Baca juga: Mengenal Teknologi Reaktor Nuklir Kontemporer
Referensi
- World Nuclear Association. Generation IV Nuclear Reactors. Diperbarui Desember 2017. (http://www.world-nuclear.org/information-library/nuclear-fuel-cycle/nuclear-power-reactors/generation-iv-nuclear-reactors.aspx), diakses 17 Januari 2018.
- Andang Widi Harto, Kusnanto. 2013. Advanced Reactor Technology. Yogyakarta: Program Studi Teknik Nuklir Universitas Gadjah Mada.
- Robert Hargraves. 2012. Thorium Energy Cheaper Than Coal. Hanover: CreateSpace Independent Publishing Platform.
- A. Potapov. 2013. Operating experience from the BN600 sodium fast reactor.
Alumni S1 Teknik Nuklir Universitas Gadjah Mada, mahasiswa S2 Teknik Fisika Universitas Gadjah Mada. Peneliti Fisika Reaktor, Keselamatan Reaktor, dan Sistem Energi. Kadang menjadi diseminator teknologi energi nuklir.