Temuan Kandungan Babi di Viostin DS dan Enzyplex: Penjelasan Ilmiah Mengapa Kasus Obat Mengandung Babi Berulang

Pada bulan Januari 2018 masyarakat khususnya warganet kembali diresahkan oleh informasi mengenai beredar bebasnya dua macam obat yang mengandung DNA […]

Pada bulan Januari 2018 masyarakat khususnya warganet kembali diresahkan oleh informasi mengenai beredar bebasnya dua macam obat yang mengandung DNA babi. Tidak lama kemudian, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia memastikan melalui siaran pers bahwa kedua obat tersebut, Viostin DS dan Enzyplex, positif mengandung DNA babi. Viostin DS merupakan produksi PT. Pharos Indonesia dengan nomor izin edar POM SD.051523771 nomor bets BN C6K994H, sedangkan Enzyplex diproduksi oleh PT Medifarma Laboratories dengan nomor izin edar DBL7214704016A1 nomor bets 16185101. Saat ini kedua produk tersebut sudah dicabut nomor izin edarnya sehingga semua proses produksi dihentikan dan produknya ditarik dari peredaran[1],[2].

Temuan ini didapatkan setelah adanya temuan ketidakkonsistenan informasi data yang diserahkan oleh perusahaan kepada BPOM sebelum dan setelah proses pemasaran produk (pre-market dan post-market). Pada data pengujian pre-market, bahan yang digunakan berasal dari sapi, sedangkan data post-market terbukti positif DNA babi. Ternyata temuan seperti ini bukanlah yang pertama di Indonesia. Salah satu yang kita belum lupa pada tahun 2017 BPOM menarik sejumlah produk mi instan asal Korea Selatan.

Hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan, mengapa kasus seperti ini selalu terulang?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu kita pahami bahwa seringnya temuan DNA babi bukanlah monopoli industri farmasi, namun juga di industri lain seperti makanan dan kosmetik. Babi merupakan hewan ternak yang sangat efisien karena biaya pemeliharaannya yang cukup kecil namun dari setiap bagian organnya dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk berbagai tujuan.

Christien Meindertsma pada tahun 2007 menulis buku yang berjudul PIG 05049 yang isinya merupakan katalog tidak kurang dari 185 produk yang berasal dari seekor babi. Untuk menulis buku tersebut dia menghabiskan waktu selama tiga tahun untuk menelusuri produk yang dibuat dari seekor babi seberat 104 kilogram. Produk yang dapat dibuat antara lain sabun mandi, shampoo, detergen, conditioner, krim anti keriput, body lotion, pasta gigi, pelembut pakaian, filter rokok, cat, sampai dengan peluru.

Collagen dari babi digunakan untuk penyembuhan jerawat, dapat disuntikkan untuk mengencangkan kulit muka, serta sebagai bahan dasar pembuatan gelatin yang bermanfaat pada pembuatan ice cream, yoghurt, keju, whipped cream, permen, tiramisu, puding, kasul obat, dan lainnya. Nilai ekonomis yang cukup tinggi inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab produsen lebih memilih bahan baku produk yang berasal dari babi, sehingga berujung pada terulangnya berbagai temuan yang ada di Indonesia[3],[4],[5].

Deteksi kandungan gelatin babi dapat dilakukan dengan banyak metode mulai dari metode Polymerase Chain Reaction yang sudah banyak digunakan termasuk oleh BPOM, sampai dengan metode yang lebih cepat dan mudah seperti Fourier Transform Infra Red ataupun Western Blot. Bahkan seorang peneliti dari Institut Teknologi Sepuluh November telah membuat alat  berbasis sensor Quartz Crystal Microbalance untuk mendeteksi gelatin babi. Alat tersebut diklaim 10 kali lebih murah daripada yang digunakan di industri farmasi[6],[7],[8],[9].

Sebenarnya untuk apakah penggunaan babi dalam pebuatan obat?

Penggunaan organ babi di dalam proses produksi obat oleh industri farmasi sebagian besar bukanlah secara langsung dicampurkan di dalam substansi obat itu sendiri, namun untuk pembuatan gelatin sebagai bahan dasar kapsul/pembungkus obat karena lebih efisien dan murah seperti yang telah disebutkan di atas. Sedangkan produksi kapsul menggunakan bahan dasar kulit sapi membutuhkan biaya yg lebih banyak. Walaupun demikian saat ini sebenarnya sudah banyak alternatif bahan pembuatan gelatin baik yg nabati maupun hewani. Sumber nabati dapat berasal dari tumbuhan seperti pati jagung modifikasi. Sumber hewani yang telah diteliti antara lain dari kulit dan tulang domba, kambing, ikan, bahkan ceker ayam[10],[11],[12],[13],[14].

Pembuatan gelatin untuk kapsul obat menggunakan bahan dasar babi memang cukup menguntungkan dan efisien bagi produsen. Bahkan, peredaran dan penjualan produk yang mengandung babi tidak dilarang di Indonesia. Namun perlu adanya kesadaran bahwa konsumen berhak untuk mendapatkan informasi produk mana saja yg menggunakan babi dan dan mana halal. Dengan demikian dapat terjadi timbal balik antara produsen yang tetap mendapatkan profit tanpa harus mengorbankan hak konsumen, sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

 

Referensi:

[1] Siaran Pers Tindak Lanjut Terhadap Temuan Produk Viostin DS Dan Enzyplex. 2018. http://www.pom.go.id/mobile/index.php/view/pers/397/SIARAN-PERS—–TINDAK-LANJUT-TERHADAP–TEMUAN-PRODUK-VIOSTIN-DS-DAN-ENZYPLEX.html (Diakses 10 Februari 2018)

[2] Penjelasan Badan POM RI Tentang Viralnya Surat Internal Hasil Pengujian Sampel Suplemen Makanan. 2018. https://www.pom.go.id/mobile/index.php/view/klarifikasi/78/PENJELASAN-BADAN-POM-RI-Tentang-VIRALNYA-SURAT-INTERNAL-HASIL-PENGUJIAN-SAMPEL-SUPLEMEN-MAKANAN.html (Diakses 10 Februari 2018)

[3] Meindertsma C. 2010. How pig parts make the world turn. 2014. http://www.ted.com/talks/christien_meindertsma_on_Pig_05049.html (Diakses 10 Februari 2018)

[4] CNN. From one pig – bacon and 184 other things. 2010. http://edition.cnn.com/2010/OPINION/10/24/meindertsma.tracing.pig/index.html (Diakses 10 Februari 2018)

[5] Dunk, M. Bullets, bread and beer, tambourines and toothpaste… and the 180 other things you can to do with a Pig. 2009. http://www.dailymail.co.uk/sciencetech/article-1217794/From-bullets-bread-beer-tambourines-toothpaste–plus-180-things-pig.html (Diakses 10 Februari 2018)

[6] Fadlurrahman, A. K. Wardani, dan E. Widyastuti. 2016. Deteksi Gelatin Babi pada Soft Candy Menggunakan Metode PCR-RFLP Sebagai Salah Satu Pembuktian Kehalalan Pangan. Jurnal Teknologi Pertanian. 16(2):81-88

[7] Rahmawati, A., B. Kuswandi, B., Y. Retnaningtyas. 2015. Deteksi Gelatin Babi pada Sampel Permen Lunak Jelly Menggunakan Metode Fourier Transform Infra Red (FTIR) dan Kemometrik. Pustaka Kesehatan, 3(2):278-283.

[8] Nöckler, K., S. Reckinger, A. Broglia, A. Mayer-Scholl, and P. Bahn. 2009. Evaluation of a Western Blot and ELISA for the detection of anti-Trichinella-IgG in pig sera. Veterinary parasitology, 163(4):341-347.

[9] Sadanoer, D. 2018. Ini Alat Pendeteksi Gelatin Babi Bikinan ITS. https://halallifestyle.id/halal-news/ini-alat-pendeteksi-gelatin-babi-bikinan-its (Diakses 12 Februari 2018)

[10] Detik Food. 2014. Pati Jagung Modifikasi Bisa Jadi Alternatif Gelatin dalam Pembuatan Permen Jeli. https://food.detik.com/info-halal/d-2486105/pati-jagung-modifikasi-bisa-jadi-alternatif-gelatin-dalam-pembuatan-permen-jeli (Diakses 10 Februari 2018)

[11] Abdurrahman, Z, H., A. M. P. Nuhriawangsa, dan Pudjomartatmo. 2013. Pemanfaatan Shank Ayam Broiler Sebagai Bahan Edible Film Berbasis Gelatin Yang Disuplementasi Ekstrak Jahe Pada Coating Sosis Daging Sapi. Tropical Animal Husbandry. 2(1):8-14.

[12] Said, M. I., S. Triatmojo, Y. Erwanto, dan A. Fudholi. 2014. Pengaruh Perendaman Kulit dalam Larutan Asam Asetat Terhadap Sifat-Sifat Gelatin Berbahan Baku Kulit Kambing Bligon. Jurnal Ilmu dan Teknologi Peternakan 3(2):119-128.

[13] Julianto, G. E., U. Ustadi, and A. Husni. 2011. Karakterisasi Edible Film dari Gelatin Kulit Nila Merah dengan Penambahan Plasticizer Sorbitol dan Asam Palmitat. Jurnal Perikanan.13(1):27-34.

[14] Hasdar, M. dan Y. D. Rahmawati. 2017. Kajian potensi kulit domba asal Brebes sebagai bahan dasar produksi gelatin halal. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan (6)1:1-6.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *