Artikel ini ditulis berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Arli Aditya Parikesit.
Di episode pertama bertajuk “Mutiara dari Indonesia” telah dikisahkan tentang prestasi, mahakarya, pencapaian, serta visi besar sesosok Arli belia. Intuisinya yang tajam membuatnya menekuni IT sehingga ia sukses menjadi pakar bioinformatika sekaligus perintis NiBTM (Nano-neuroimmunobiotechnomedicine) bersama rekannya, Dito Anurogo (penulis) dan Taruna Ikrar.
Di episode kedua berjudul ”Lain Dulu, Lain Sekarang” telah diceritakan tentang proses penemuan jatidiri sekaligus pendewasaan karakter, berbagai hobi dan kebiasaan unik yang dimiliki oleh sosok Arli Aditya Parikesit.
Episode Ketiga “Menjulang Tinggi, Menjunjung Tradisi”
Mengidolakan BJ Habibie
Anak pertama dari tiga bersaudara ini mengakui kalau tokoh idolanya adalah tokoh lokal. Dalam artian, masih putra bangsa Indonesia. Arli sangat mengagumi BJ Habibie. Sebabnya sederhana. BJ Habibie secara konsisten mempromosikan betapa penting peranan sains-teknologi kepada publik. Saat menjabat Menristek, hingga menjadi Presiden, sains-teknologi selalu menjadi agenda utama pembangunan di Indonesia.
Memang tak dapat dipungkiri, banyak sekali pengamat yang mengkritisi, bahkan mencela sepak-terjang politik BJ Habibie. Namun para pengamat tersebut kurang berhasil memahami, bahwa tanpa penguasaan sains-teknologi yang tangguh, Indonesia tidak akan dapat berbuat apa-apa di era global seperti saat ini. BJ Habibie adalah salah satu tokoh, yang bahkan sampai sekarang, selalu konsisten di setiap kesempatan mendorong generasi muda untuk mendalami sains-teknologi, demi membangun bangsa Indonesia. Seakan-akan, suara pidatonya beliau yang sangat ekspresif itu, selalu mendorong hati nurani Arli untuk berdedikasi mengembangkan sains-teknologi demi kepentingan bangsa Indonesia. Selain BJ Habibie, Ayah dari Soraya Libby Indiane ini juga mengatakan kalau Ir. Soekarno dan John F. Kennedy juga tokoh idolanya. Untuk tokoh ilmuwan, Arli menganggap Albert Einstein sebagai ilmuwan idolanya.
Baca juga: Apa Sih yang Dilakukan Einstein? Bagian 1: Teori Relativitas Khusus
Suami dari Merry Magdalena ini berpendapat bahwa penguasaan sains dan teknologi bermula dari tradisi literasi, yakni hobi membaca, menulis, berdiskusi, berdialektika, bereksperimen, melakukan observasi serta inovasi di berbagai bidang. Tradisi literasi ini perlu ditumbuhkembangkan sejak dini. Salah satu caranya yakni dimulai dari orangtua. Orangtua yang suka mendongeng atau membacakan cerita anak atau kisah bernuansa religi sebelum anaknya tidur, dipercaya mampu menumbuhkembangkan imajinasi sang Anak. Ini contoh sederhana dari tradisi literasi.
Berotak Jerman, Berhati Indonesia
Sifat asli Arli adalah introvert, sehingga cenderung sangat selektif di dalam bergaul. Salah satu sifat orang Jerman adalah zuruckhalten. Ini bisa diterjemahkan sebagai introvert dan selektif dalam bergaul. Jangankan dengan orang asing, dengan bangsa sendiri pun orang Jerman sangat selektif di dalam bergaul. Zuruckhalten memang tidak bisa dipisahkan dari kultur mereka. Nah, di masyarakat dengan budaya seperti itu, Arli dapat dengan mudah beradaptasi dan berintegrasi.
Tidak ada orang yang melecehkan atau meremehkan kalau Arli sibuk dengan dirinya sendiri. Kondisi ini amat berbeda dengan suasana pergaulan di Indonesia. Di Jerman, masyarakatnya cenderung sangat cuek dengan orang lain. Hal itu dapat Arli terima, karena ia juga tidak jauh berbeda dengan mereka. Mereka juga tidak peduli dengan privasi orang lain. Berbeda dengan di Indonesia, yang cenderung suka bertanya hal-hal privasi.
Ini bukan berarti karena tinggal di Jerman, Arli menjadi ‘terkontaminasi’ kultur mereka, sehingga tidak dapat menjadi orang Indonesia yang ‘baik’. Bukan begitu. Namun, jauh sekali sebelum dirinya menginjakkan kaki di Jerman, bahkan jauh sekali sebelum tahu Jerman itu dimana, Arli sudah menjiwai zuruckhalten. Orangtua, adik-adik, serta istri Arli telah mengetahui hal ini. Memang dari awalnya Arli berkarakter zuruckhalten. Ini juga bukan berarti Arli dididik ala barat, atau Jerman, karena faktanya kedua adik Arli memiliki sifat yang sangat berbeda dengan dirinya. Kedua adiknya cenderung ekstrovert. Walaupun sifat aslinya tidak jauh berbeda dengan orang Jerman, Arli tetap mencintai Indonesia.
Pria bergolongan darah AB ini lahir dan besar di Indonesia. Arli selalu berharap dapat memberikan kontribusi yang terbaik bagi tanah airnya. Pernyataan ini bukan klise, karena dirinya percaya Indonesia masih lebih banyak hal positifnya, daripada negatifnya.
Arli pribadi sangat kagum dengan BJ Habibie dan almarhumah istri BJ Habibie (Ainun), yang walaupun sudah berpuluh-puluh tahun tinggal di Jerman, namun tetap mencintai Indonesia sepenuh hati.
Baca juga: Sebuah Kontemplasi Ilmiah dari Keluarga Kekaisaran Jepang
Penulis Idealis
Selain sebagai kimiawan dan peneliti, penyuka musik pop ini ternyata juga berbakat menjadi penulis. Terbukti dengan diraihnya juara pertama pada lomba penulisan pemanfaatan perangkat lunak sistem terbuka/Open Source Software (OSS) tahun 2009, yang diselenggarakan oleh kementrian Ristek. Mau tahu rahasia atau kiat suksesnya di dalam merangkai kata dan meramu ide?
Tulisan yang mendapat penghargaan ristek itu dibuat Arli karena kebosanannya akan pembahasan teknis an sich yang tanpa akhir di dunia IT kita. Arli melihat, bahwa kebanyakan pakar IT hanya semata-mata membahas teknis IT, misalnya membahas soal network, hacking, programming, dan sebagainya. Mereka tidak mengkaitkan dan mengembangkan hal itu dengan ilmu-ilmu lain. Hal itu menyebabkan kita akan mudah terperangkap inside the box dan berjalan di tempat.
Penyuka warna biru ini telah mengusulkan ke para praktisi Open Source, bagaimana agar Open Source itu bisa dibuat lebih ‘gaul’. Arli juga berharap, supaya perusahaan IT juga menjual ‘lifestyle’ dan desain. IT juga seyogianya memiliki produk yang identik dengan gaya hidup dan pergaulan eksekutif muda dinamis. Menurut Arli, IT bukan sekadar urusan teknis, atau ‘science for science’, namun juga menyangkut gaya hidup dan pergaulan sehari-hari.
Penyuka nasi goreng dan es teler ini senang dapat mengkaitkan aspek sosial dengan IT. Semangat multidisplin dan multidimensi inilah yang selalu menjadi ‘panglima’ di dalam setiap tulisannya. Walaupun sering dikritik dan dicerca, karena dianggap ‘mengkontaminasi kemurnian sains’, namun Arli tetap jalan terus, karena dirinya percaya, bahwa sains haruslah bersifat sosial. Arli selalu menolak dan menentang anggapan, bahwa sains-teknologi itu ‘asosial’ atau anti-sosial, yang berkonsekuensi bahwa seorang ilmuwan tidak usah peduli dengan urusan sosial-budaya-kemasyarakatan.
Baca juga: Analisis: Menuju Arah Teknologi yang Berbudaya
Uniknya, Arli tidak percaya, bahwa sains itu ‘bebas nilai’. Ilmu alam, teknik dan matematika sekalipun, tidaklah bebas nilai, dan perkembangannya merupakan pencerminan dari dinamika masyarakat di saat itu. Hal ini bisa dilihat pada Amerika Serikat di era perang dingin. Mereka melakukan investasi besar-besaran di bidang sains dan teknologi ruang angkasa (NASA), karena memiliki misi ideologis untuk membendung komunisme Uni Soviet, yang berhasil mengorbitkan wahana ruang angkasanya terlebih dahulu. Jadi persaingan sains-teknologi luar angkasa kedua negara tersebut sangat kental aspek ideologisnya. Percaya bahwa sains itu ‘bebas nilai’ adalah sangat naif. (Bersambung – dr. Dito Anurogo, M.Sc.)
Disclaimer
Tidak ada conflict of interest di dalam kepenulisan kisah inspiratif ini.
Dosen FK Unismuh Makassar, dokter digital/online, penulis 20 buku, alumnus UGM dan UNISSULA, pegiat literasi-riset.