Perubahan iklim menjadi salah satu isu lingkungan yang paling disorot di abad 21. Pembakaran energi fosil secara besar-besaran sejak dimulainya Revolusi Industri telah menyebabkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer semakin bertambah. Alih-alih berkurang, pembakaran energi fosil semakin lama semakin bertambah seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk, yang meniscayakan peningkatan kebutuhan energi. Tercatat, pada tahun 2017, lebih dari 33 milyar ton CO2 dilepaskan ke atmosfer sebagai imbas konsumsi energi fosil [1]. Untuk menambah kabar buruk, tren selama sembilan tahun terakhir cenderung terus meningkat!

Untuk mencegah dampak katastropik yang dapat disebabkan perubahan iklim, seruan revolusi energi menuju energi bersih pun banyak didengungkan. Namun, ada hal yang menggelikan dalam seruan revolusi ini: energi nuklir, sebagai energi yang tidak melepaskan emisi GRK, dikriminalisasi nyaris sama buruknya dengan energi fosil. Bahkan, laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) terbaru secara mengerikan melemparkan penyesatan-penyesatan terhadap energi nuklir [2]!
Baca juga Seberapa Besar Radiasi PLTN Yang Dilepaskan Ke Lingkungan?
Bias anti-nuklir ini sebenarnya mengherankan, karena justru berdasarkan analisis IPCC sendiri [3], energi nuklir adalah energi paling bersih, hanya melepaskan 12 g CO2 ekivalen/kWh listrik, setara dengan energi bayu. Lalu, kontras dengan pemahaman publik, energi nuklir adalah energi paling selamat sejauh ini. Hal ini disebabkan angka kematian per TWh energi nuklir paling rendah, yakni 0,04 kematian per TWh [4].
Kecenderungan irasional anti-nuklir telah menyebabkan sebagian negara memilih untuk phase-out energi nuklir dan berniat menggantinya dengan so-called “energi terbarukan”, yakni energi bayu dan energi surya. Mengganti PLTN dengan turbin angin dan panel surya. Walau sekilas ide ini terkesan menarik dan populer, tapi tidak meyakinkan berdasarkan matematika. Setidaknya, sebagaimana studi yang dilakukan di Inggris dan Swedia.
Tim Yeo, Ketua New Nuclear Watch Institute (NNWI), lembaga think-tank nuklir yang berbasis di Inggris, menyoroti ide untuk mempensiunkan PLTN-PLTN yang ada di Inggris Raya dan menggantinya dengan turbin angin plus gas alam [5]. Kenapa harus ada gas alam? Karena sifat alami turbin angin yang intermiten—angin tidak berembus 24 jam dalam sehari, sehingga waktu kosong itu harus diisi dengan pembangkit lain. Pembangkit apa? Ya gas alam itu, karena kemampuannya untuk ramp-up dan ramp-down yang cepat.
Tapi apakah itu pilihan yang tepat? NNWI menganalisis skenario emisi CO2 di Inggris pada tahun 2030 dalam dua skenario. Pertama, ketika energi nuklir dipensiunkan total dari jaringan listrik pada tahun 2030. Hal ini memungkinkan terjadi, karena setengah dari kapasitas PLTN di Inggris akan memasuki masa pension pada tahun 2025. Jadi, listrik di Inggris hanya berasal dari energi bayu dan gas alam saja. Pada skenario ini, energi bayu diasumsikan memiliki daya terpasang 30 GWe [5].
Baca juga Benarkah Nuklir Mahal? Tanggapan Untuk Arcandra Tahar
Skenario kedua, energi nuklir tidak dipensiunkan melainkan diganti dengan yang baru, baik itu Hinkley Point C, Wylfa Newydd dan lainnya. Sehingga, nuklir akan menjadi bauran listrik bersama-sama energi bayu dan gas alam. Namun, pada skenario ini, energi bayu hanya akan berkontribusi sebesar 25 GWe [5].
Dalam studi ini, NNWI menganalisis skenario mana yang paling murah harga listriknya dan emisi CO2 yang dihasilkan paling rendah. Hasil studi terkait emisi CO2 adalah sebagai berikut.

Jelas sekali bahwa emisi CO2 jauh lebih banyak dihasilkan jika nuklir dipensiunkan. Apa pasal? Energi bayu tidak bisa berdiri sendiri, butuh backup pembangkit lain. Semakin tinggi bauran energi bayu, semakin tinggi pula bauran gas alam. Artinya, semakin besar polusi yang dihasilkan. Studi yang dilakukan Yeo menunjukkan bahwa emisi CO2 akan naik dai 51 g CO2/kWh pada skenario bauran nuklir menjadi 186 g CO2/kWh pada skenario nuklir pensiun. Emisinya naik 265% dari kondisi awal! [5]
Tidak hanya membuat emisi naik, tapi opsi pensiun nuklir juga menyebabkan harga listrik naik. Jika masih menggunakan nuklir, nilai levelised cost of electricity (LCOE) hanya sebesar GBP 82/MWh atau GBP 8,2 pence/kWh. Dirupiahkan, sekitar Rp 1.660/kWh, termasuk murah untuk Eropa Barat. Sementara, menggunakan opsi pensiun nuklir, LCOE naik menjadi GBP 95/MWh atau GBP 9,5 pence/kWh. Dirupiahkan, sekitar Rp 1.921/kWh [5].

Kenaikan tarif listrik ini mudah dipahami. Pertama, energi nuklir masih lebih murah daripada energi bayu, terlepas dari propaganda kalangan pro-“energi terbarukan”. Pasalnya, energi bayu tidak beroperasi setiap saat, sementara nuklir bisa beroperasi 24×7. Sehingga, load factor nuklir lebih tinggi.
Kedua, pada skenario pensiun nuklir, gas mengambil alih setengah dari kapasitas pembangkitan di Inggris. Harga gas alam yang mahal ketika dikonversi menjadi biaya bahan bakar akhirnya menjadi beban utama bagi jaringan listrik Inggris, seandainya skenario seperti ini terjadi.
Jadi jelas, mempensiunkan nuklir demi “energi terbarukan” bukan ide bagus di Inggris. Karena realitanya, energi bayu tetap membutuhkan energi fosil berupa gas alam sebagai backup.
Bagaimana di Swedia?
Pada tahun 2015 lalu, muncul wacana untuk menutup empat PLTN tertua di Swedia pada tahun 2020, termasuk pelarangan untuk membangun PLTN baru. Walau akhirnya wacana ini berubah pada tahun 2016, dengan diizinkannya dibangun hingga 10 PLTN baru untuk menggantikan PLTN yang ditutup, sebuah studi yang dilakukan F. Wagner dan E. Rachlew telah dipublikasikan pada tahun yang sama, untuk menilai skenario apabila energi nuklir di Swedia diganti dengan energi bayu [6].
Studi ini mengasumsikan energi nuklir diganti sebagian dan sepenuhnya oleh energi bayu, sembari menganalisis apakah energi hidro bisa menyesuaikan pembangkitan listrik dari energi bayu yang bersifat intermiten. Basisnya adalah data beban kelistrikan pada tahun 2013, yang didominasi oleh energi nuklir dan hidro. Pembangkitan energi hidro diasumsikan tetap, sehingga yang dinaikkan adalah bauran energi bayu terhadap nuklir [6].

Hasilnya, ketika energi nuklir dipangkas setengahnya, kapasitas energi bayu harus dinaikkan lebih dari dua kali lipat, dari 4,47 GWe pada saat itu menjadi 11,2 GWe [6]. Pada kondisi ini, dibutuhkan sedikit backup energi karena keterbatasan pembangkitan hidro. Backup ini kemungkinan besar adalah gas alam, yang seperti dinyatakan sebelumnya, dapat ramp up dan ramp down dengan cepat menyesuaikan kebutuhan jaringan listrik.

Ketika nuklir dipangkas habis, kapasitas energi bayu harus ditingkatkan menjadi 22,3 GWe. Kondisi ini membutuhkan backup daya sebesar 8,6 GWe yang memiliki faktor kapasitas dan keekonomisan rendah [6]. Lagi-lagi yang digunakan pasti gas alam. Backup daya juga harus ada demi ‘menghaluskan’ gradien daya yang tajam, akibat sifat intermiten energi bayu.

Backup daya menggunakan gas alam bersifat kontraproduktif dengan usaha memitigasi perubahan iklim. Pasalnya, emisi spesifik listrik Swedia naik dari 23 g CO2/kWh menjadi 34 g CO2/kWh, naik 50% [6]. Tidak sebesar kenaikan di Inggris, tapi cukup signifikan dibandingkan emisi pada awalnya.
Baca juga Mengenal Reaktor Daya Eksperimental, Reaktor Nuklir Desain Anak Negeri
Untuk mengganti energi nuklir berkapasitas 9 GWe di Swedia, dibutuhkan 22,3 GWe energi bayu dan 8,6 GWe pembangkit gas alam. Ditambah lagi, instalasi energi bayu sebesar itu lebih besar dua kali lipat daripada kapasitas terpasang energi bayu dan surya per kapita di Jerman pada tahun 2016. Mengingat Jerman mengalami kenaikan tarif listrik karena penggunaan energi bayu dan surya, bisa dibayangkan kenaikan tarif listrik di Swedia dengan kapasitas spesifik dua kali lipatnya.
Jadi, di Swedia pun bukan ide bagus untuk mengganti energi nuklir dengan energi bayu.
Kedua studi ini menyoroti hal yang sama, bahwa so-called “energi terbarukan” tidak bisa berdiri sendiri untuk menggantikan energi fosil. Pasti harus dibarengi dengan penggunaan energi fosil. Padahal, penggunaan energi fosil justru bertentangan dengan usaha untuk mitigasi perubahan iklim. Alih-alih mereduksi emisi karbon, yang ada justru membuatnya meningkat!
Mengganti energi nuklir dengan so-called “energi terbarukan” tidak pernah berimbas baik dan bertentangan dengan fundamental mitigasi perubahan iklim, yakni memangkas emisi karbon. Justru, energi nuklir telah terbukti secara historis berdampak positif pada mitigasi perubahan iklim dan mencegah kematian jutaan manusia akibat polusi energi fosil [7]. Bias anti-nuklir yang melandasi tindakan irasional ini harus segera dihentikan. Kebijakan energi harus dibuat berdasarkan sains, bukan bias irasional.
Referensi
- British Petroleum. BP Statistical Review of World Energy June 2018. London: BP.
- Michael Shellenberger. Anti-Nuclear Bias of UN and IPCC Is Rooted In Cold War Fears of Atomic and Population Bombs. (https://www.forbes.com/sites/michaelshellenberger/2018/10/09/anti-nuclear-bias-of-u-n-ipcc-is-rooted-in-cold-war-fears-of-atomic-and-population-bombs/#60efd4f65dd6). Diakses 10 Oktober 2018.
- Intergovernmental Panel on Climate Change Working Group III. 2014. Mitigation of Climate Change, Annex III: Technology – specific cost and performance parameter. Cambridge: Cambridge University Press.
- Brian Wang. Update of Death per Terawatt hour by Energy Source. (https://www.nextbigfuture.com/2016/06/update-of-death-per-terawatt-hour-by.html). Diakses 10 Oktober 2018.
- The New Nuclear Watch Institute. 2018. The False Economy of Abandoning Nuclear Power: Techno-Zealotry and the Transition Fuel Narrative. London: NNWI.
- F. Wagner dan E. Rachlew. 2016. Study on a hypothetical replacement of nuclear electricity by wind power in Sweden. European Physical Journal Plus 131: 173.
- R Andika Putra Dwijayanto. Mengukur Dampak Iklim Dari Pemanfaatan Energi Nuklir. (https://warstek.com/2018/06/11/nukliriklim). Diakses 11 Oktober 2018.