Oleh: Hanifah Nur
Ketombe merupakan masalah rambut yang umum dikeluhkan masyarakat. Berbagai brand kosmetik menawarkan produknya untuk menghilangkan ataupun mencegah datangnya ketombe. Umumnya yang ditawarkan berupa shampoo yang mengandung zinc, pyrithione, asam salisilat, derivate imidazole asam glikolat, steroid, sulfur dan derivate tar. Bahan-bahan sintesis ini berfungsi sebagai agen antifungi pengendali pertumbuhan Malassezia Furfur selaku penyebab ketombe. Namun, penggunaan yang berlebihan dan terus menerus dapat menimbulkan efek samping, salah satunya toksisitas mata dan, rambut menjadi kering.
Alternative lain pengganti bahan sintesis diatas dapat digunakan tumbuhan obat sebagai pencegah ketombe. Beberapa tumbuhan secara empiris telah digunakan, antara lain inggu (Ruta angustifolia), bambu tali (Gigantochloa apus), johar (Senna siamea), jintan hitam (Nigella sativa), apukat (Persea americana), dadap serep (Erythrina subumbrans), nagasari (Palaquium rostratum), pisang (Musa paradisiaca), sidaguri (Sida rhombifolia), tomat (Solanum lycopersicum), kethuk (Alocasia macrorrhiza) dan komak (Dolichos lablab).
1. Ekstraksi Tumbuhan Uji
Untuk mengetahui apakah tumbuhan obat tersebut dapat digunakan sebagai pencegah ketombe, Diperlukan beberapa tahap pengujian. Pada awalnya masing-masing simplisia perlu melalui tahap filtrat dievaporasi untuk memperoleh ekstrak etanol.
2. Skrining Fitokimia
Tahap selanjutnya, ialah skrining fitokimia. Skrining fitokimia merupakan tahapan untuk mengidentifikasikan kandungan kimia yang terkandung dalam tumbuhan yang akan diuji. Dalam tahapan ini berbagai zat kimia akan dicampurkan, diantaranya Ammonia, CHCL3, HCL1N,dsb. Maka akan diperoleh hasil akhir berupa kandungan Alkaloid, Flavonoid, Kuinon, Tanin dan Polifenol, serta Saponin.
Di tempat lain, Biakan Malassezia Furfur yang telah disiapkan pada cawan petri, kemudian dituangkan media Saboraud’s dextrose diatasnya dibiarkan hingga memadat. Media selanjutnya dilubangi dan dimasukkan ekstrak etanol yang sebelumnya telah melalui Skrining Fitokimia. Inkubasi berlangsung selama 24-28 jam pada suhu 37⁰ C, selanjutnya diamati dan diukur zona hambat yang terbentuk. Hal ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas antifungi masing-masing simplisia.
3. Uji Aktivitas Antifungi
Pada tahapan terakhir, ekstrak etanol yang memiliki aktivitas antifungi akan diencerkan hingga konsentrasi tertentu (100% sampai 0%). Malassezia furfur yang telah diinokulasikan pada media Saboraud’s dextrose broth, kemudian ditambah ekstrak tumbuhan uji dengan kadar yang berbeda. Inkubasi dilakukan pada suhu 30˚C selama 24 jam, selanjutnya diamati kekeruhan pada masing-masing tabung uji. Nilai Kadar Hambat Minimum ditunjukkan oleh berkurangnya kekeruhan pada tabung uji. Tabung dengan kekeruhan yang rendah atau tampak jernih, diinokulasikan pada media Sabouraud’s dextrose agar diinkubasi pada 30˚C selama 3 hari, selanjutnya diamati ada tidaknya koloni Malassezia furfur yang tumbuh. Tidak adanya koloni pada media menunjukkan nilai kadar bunuh minimum.
Tabel 1. Hasil Uji Skriming Fitokimia
No | Sampel | Alkaloid | Flavonoid | Kuinon | Saponin | Tanin |
1. | Daun Apukat | + | + | + | – | + |
2. | Daun Bambu tali | – | + | – | + | – |
3. | Daun dadap serep | + | + | – | + | + |
4. | Daun Inggu | + | + | + | + | + |
5. | Biji Jintan Hitam | + | – | + | + | + |
6. | Daun Johar | + | + | + | + | + |
7. | Daun Komak | – | + | + | + | + |
8. | Daun Nagasari | + | + | + | + | + |
9. | Kulit buah pisang | + | + | + | – | + |
10. | Daun sidaguri | – | + | + | – | + |
11. | Daun kethuk | – | + | + | – | – |
12. | Daun tomat | + | – | + | + | – |
Dari hasil uji diatas, semua tumbuhan yang diuji mengandung senyawa yang berkasiat sebagai antifungi. Hasil pengujian aktivitas antifungi menunjukkan bahwa semua ekstrak etanol tumbuhan yang diuji memiliki aktivitas antifungi terhadap Malassezia furfur.
Sedangkan, Diameter zona bening yang dihasilkan bervariasi, beberapa menunjukkan diameter zona bening yang besar dan beberapa menunjukkan diameter zona bening yang kecil. Diameter zona bening terbesar ditunjukkan oleh ekstrak etanol kulit buah pisang dengan nilai rata-rata 65,6 mm, sedangkan zona bening terkecil ditunjukkan oleh ekstrak etanol daun kethuk dengan nilai rata-rata 2,3 mm.
Aktivitas antifungi dari ekstrak etanol tumbuhan uji dapat dikategorikan menjadi kuat, sedang dan lemah. Upadhyay (2014) menyatakan bahwa, antimikroba tergolong lemah apabila diameter zona hambat kurang dari 7 mm, tergolong sedang apabila lebih dari 12 mm dan tergolong kuat apabila lebih dari 18 mm.
Tabel 2. Hasil Pengujian Aktivitas Antifungi
No | Ekstrak Etanol | Rerata Diameter Zona Bening (mm) | KHM (%) | KBM (%) |
1. | Daun apukat | 9,5 | 70 | – |
2. | Daun bambu tali | 64,3 | 10 | – |
3. | Daun dadap serep | 18 | 50 | – |
4. | Daun inggu | 21 | 30 | – |
5. | Biji jintan hitam | 60 | 20 | – |
6. | Daun johar | 18 | 50 | – |
7. | Daun komak | 65 | 10 | – |
8. | Daun nagasari | 7,5 | 70 | – |
9. | Kulit buah pisang | 65,6 | 10 | – |
10. | Daun sidaguri | 3,3 | – | – |
11. | Daun kethuk | 2,3 | – | – |
12. | Daun tomat | 11,2 | 60 | – |
Berdasarkan Hasil tabel 2. Nilai KHM menunjukkan konsentrasi ekstrak etanol terendah yang mampu menghambat pertumbuhan Malassezia furfur, sedangkan nilai KBM menunjukkan kadar terendah yang mampu membunuh fungi uji.
KHM/MIC didefinisikan sebagai konsentrasi minimal suatu bahan yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme. KHM pada umumnya ditentukan melalui metode makrodilusi maupun mikrodilusi. Metode mikrodilusi paling banyak digunakan melalui teknik pengenceran 2 kali yang standar. Penentuan KBM/MFC juga diperlukan untuk mengetahui aktivitas fungisidal.
Pada dasarnya semua tumbuhan uji yang digunakan mengandung senyawa bioaktif yang berpotensi sebagai antifungi dan dapat digunakan sebagai antiketombe.
Dalam tumbuhan yang diuji, senyawa-senyawa yang terkandung masing-masing memiliki mekanisme antifungi yang berbeda. Senyawa flavonoid misalnya memiliki mekanisme aksi antifungi melalui gangguan pada membran sel. Sedangkan, senyawa polifenol mampu menghambat pembelahan sel fungi. Senyawa Saponin beraksi sebagai antifungi melalui mekanisme penggangguan membran sel. Saponin beraksi langsung pada biomembran dan beraksi seperti deterjen. Saponin bergabung dengan bagian lipofilik pada membran bilayer setelah membentuk kompleks dengan kolesterol dan bagian hidrofilik di luar sel, dan masih banyak lagi.
Dari tahapan-tahapan pengujian tadi. Meskipun semua tumbuhan uji mengandung senyawa antifungi, namun hasil yang diperoleh bervariasi mulai dari aktivitas antifungi yang kuat, sedang maupun lemah. Aktivitas antifungi yang kuat ditunjukkan oleh ekstrak etanol kulit buah pisang, daun bambu tali, daun komak, biji jintan hitam dan daun inggu. Semakin tinggi kadar senyawa antifungi maka, aktivitas antifunginya akan semakin besar. begitu pula sebaliknya, semakin rendah kadar senyawa antifungi maka, aktivitas antifunginya akan semakin kecil.
Daftar Pustaka
- Ernanin Dyah Wijayanti, dan Endang Susilowati, “Eksplorasi Ekstrak Etanol Beberapa Tumbuhan Berpotensi Sebagai Antiketombe”, JRST: Jurnal Riset Sains dan Teknologi, Vol.1 (2), 2017.
Warung Sains Teknologi (Warstek) adalah media SAINS POPULER yang dibuat untuk seluruh masyarakat Indonesia baik kalangan akademisi, masyarakat sipil, atau industri.