Oleh: Toha Tulus Dharmawan
Plastik saat ini sudah menjadi ancaman terbesar untuk segala sumber daya yang ada ketimbang menjadi potensi sumber daya sintetik yang pernah diciptakan manusia modern. Hal ini dapat diketahui dari salah satu keunggulan material plastik yang justru membuatnya menjadi bahan pencemar abadi. Plastik sendiri definisikan sebagai bahan polimer sintetik (yang melewati proses polimerisasi); yang memiliki karakteristik mirip dengan resin alami yang sering dijumpai pada pohon atau tanaman lain.
Macamnya pun beragam tergantung kegunaan dan penyusunnya. Mulai dari PETE (Polyethylene Terephthalate), HDPE (High Density Polyethylene), LDPE (Low Density Polyethylene), PVC (Polyvinyl Chloride), PP (Polyprophylene), PS (Polystyrene), Nylon, dll. Produksi plastik global pun sudah mencapai 280 juta ton, menjadikannya meterial sekali pakai dengan produksi tertinggi, dan sektor industri dalam hal ini penggunaan kemasan dan konstruksi pada peralatan rumah tangga menjadi penyumbang terbesar.
Tingginya produksi, ketahanan, serta masih rendahnya pengolahan kembali sampah dari bahan plastik membuat plastik menjadi serpihan-serpihan kecil dalam jumlah tak terkontrol di lingkungan. Perubahan ini terjadi seiring terkena erosi, upaya pengolahan dengan penguraian menjadi bagian yang lebih kecil, atau karena daya hancur plastik itu sendiri. Nantinya plastik-plastik dengan massa besar akan menjadi partikel-partikel yang lebih kecil yang lebih dikenal dengan mikroplastik.
NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) sendiri mendefinisikan mikroplastik memiliki ukuran partikel kurang dari 5mm. Mikroplastik ini menjadi sangat mudah untuk terdistribusi lewat aliran-aliran badan air di permukaan tanah maupun laut dan mengendap dalam sedimen atau ikut masuk dalam rantai makanan karena sifatnya yang tidak larut dalam air (hidrofobik)[1]. Hal ini tentunya menjadi sangat berbahaya apabila kita berbicara tentang keamanan pangan dimana seharusnya tidak terdapat sama sekali kontaminasi dan toksik dalam bahan maupun makanan yang akan dimakan.
Mikroplastik ini bisa berasal dari beragam sumber yang bersinggungan langsung dengan sumber. Mulai dari dalam penggunaan belanja, pembungkus (packaging), penggunaan dalam material perangkat, dll. Bahkan sebelum terurai menjadi mikroplastik, racun-racun yang terkandung dalam plastik selama proses pembuatannya akan terlepas dan mencemari apapun, termasuk apabila termakan oleh makhluk hidup[4]. Dalam satu penelitian dikatakan bahwa, bisa jadi mikroplastik yang terdapat pada makanan yang kita konsumsi masuk dan beredar dalam pembuluh darah melalui pencernaan. Tentunya hal tersebut dapat menyebabkan gangguan-gangguan penyakit kronis dan degeneratif dalam tubuh[2].
Sumber: http://www.oneworldoneocean.com/blog/entry/plastics-breakdown-an-infographic
Di sisi lain, penegakan untuk mewujudkan kedaulatan pangan dengan manjadi terpenuhinya jumlah serta kualitas pangan untuk setiap orang agar dapat mengentaskan kelaparan ramai digalakkan. Hal ini tentu saja menjadi ancaman dalam upaya tersebut karena beberapa sumber pangan bisa jadi tercemar dan menjadi tidak aman karena kontaminasi mikroplastik. Dalam hal ini, Indonesia sebagai negara dengan luas lautan yang cukup besar telah mengupayakan dan ikut bergabung dalam kampanye #CleanSeas bersama UN for Environment. Indonesia berusaha untuk mengurangi dampak akibat sampah plastik di 25 kota pesisir dan mengurangi pembuangan limbah ke laut sampai 70% dalam kurun waktu 8 tahun terakhir (terhitung sejak Februari 2017).
Mulai diluncurkan pada Economist World Ocean Summit di Bali, kampanye #CleanSeas merupakan bentuk urgensi dari pemerintah untuk merumuskan kebijakan yang mendukung pengurangan plastik; memfokuskan pada industri untuk mengurangi penggunaan plastik kemasan; serta mengajak masyarakat untuk mengubah kebiasaan buruk mereka sebelum dampak yang benar-benar buruk terjadi pada laut kita. Seperti yang sudah diketahui sebelumnya, toksisitas plastik sangat tinggi sebagai kontaminan, tak hanya secara fisik, namun juga kimiawi. Akumulasi yang terjadi apabila terkonsumsi akan semakin meningkat seiring tingkatan pada rantai makanan. Dan sayangnya manusia menempati puncak rantai makanan untuk kebanyakan lingkungan.
Maka dari itu perlu disadari bahwa bahaya plastik sejak awal penggunaannya. Apalagi ketika sudah mengalami beberapa deformasi dan menjadi berukuran lebih kecil hingga sulit dideteksi. Karena sampai saat ini belum ada kajian yang cukup komprehensif tentang metode standar yang tepat dalam hal sampling dan pemisahan (karakterisasi) mikroplastik[3]. Pun demikian dalam hal keamanan pangan, yang perlu diketahui adalah bahkan organisme lautan dalam dimana sangat mustahil terdapat kontaminasi, sudah terdapat sedimen yang mengandung mikroplastik. Hal ini membuktikan bahwa, penanggulanan untuk permasalahan mikroplastik mutlak dibutuhkan segera untuk menjaga keamanan pangan yang berkelanjutan.
Daftar Pustaka
- Auta, H.S., et al. 2017. Distribution and importance of microplastics in the marione environment: A review of the sources, fate, effects, and potential solutions. Elsevier Ltd: http://dx.doi.org/10.1016/j.envint.2017.02.013.
- Kramm, Johanna & Volker, Carolin. 2018. Understanding the Risks of Microplastics: A Social-Ecological Risk Perspective. ISOE – Institute for Social-Ecological Research, Hamburger Allee 45, 60486 Frankfurt, Germany. DOI: 10.1007/978-3-319-61615-5_11.
- Roch, Samuel & Brinker, Alexander. 2017. Rapid and Efficient Method for the Detection of Microplastic in the Gastrointestinal Tract of Fishes, Journal of Environmental Science & Technology. American Chemical Society.
- Wagner, Martin & Lambert Scott. 2018. Freshwater Microplastics, Emerging Environmental Contaminants?. Springer Nature. DOI 10.1007/978-3-319-61615-5