Biodegradable Packaging berbasis Protein sebagai Upaya dalam Mengurangi Penumpukan Sampah di Indonesia

Oleh: Marcellus Arnold Berbicara mengenai pangan dan lingkungan di Indonesia, terdapat dua isu yang perlu menjadi perhatian. Pertama, pada tahun […]

blank

blank

Oleh: Marcellus Arnold

Berbicara mengenai pangan dan lingkungan di Indonesia, terdapat dua isu yang perlu menjadi perhatian. Pertama, pada tahun 2019 mendatang, Indonesia diperkirakan menjadi kontributor plastik sampah kedua terbesar di dunia setelah China dengan 9,52 juta ton sampah plastik (14% dari total keseluruhan sampah Indonesia) [1]. Hal ini dapat disebabkan karena penggunaan plastik yang berlebih oleh masyarakat Indonesia, contohnya adalah sebagai bungkus makanan, botol air mineral, dll. Kemasan produk komersial umumnya terbuat dari bahan polimer berbasis petroleum non-biodegradable yang tidak ramah lingkungan dan menjadi kontributor pemanasan global [2]. Sejauh ini, Luhut Binsar Pandjaitan selaku Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Indonesia, menyatakan bahwa pemerintah telah mengalokasikan setidaknya 1 juta USD per tahunnya untuk mengurangi 70% jumlah sampah plastik di Indonesia pada tahun 2025. Pemerintah Indonesia juga sudah mengenakan pajak senilai Rp 200,00 untuk setiap kantong plastik yang digunakan di supermarket atau toko-toko sejak bulan Februari 2016 lalu [3]. Akan tetapi, kebijakan ini masih menimbulkan pro dan kontra mengingat kepedulian masyarakat terhadap lingkungan masih belum berubah secara signifikan. Isu kedua adalah kecemasan masyarakat akan penambahan pengawet atau zat aditif pada pangan untuk memperpanjang umur simpannya. Saat ini masyarakat cenderung mengurangi penggunaan zat-zat aditif atau pengawet yang ditambahkan langsung pada produk pangan. Mereka khawatir akan adanya efek samping konsumsi zat aditif berlebih seperti timbulnya alergi atau kanker [4].

Berdasarkan kedua isu tersebut, pengembangan biodegradable packaging/film dapat menjadi alternatif dalam mengatasi kedua isu tersebut. Film yang dimaksud adalah lapisan tipis yang dibentuk atau dicetak secara terpisah dari produk dengan cara casting, dan dapat digunakan untuk membungkus produk; dengan kata lain film ini berbentuk layaknya plastik. Dalam dekade terakhir, pengembangan biodegradable film berbasis biopolimer sudah sangat meningkat. Biopolimer seperti polisakarida, protein, dan lipid dapat dikembangkan menjadi plastik atau film dan dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari karena mereka dapat dihancurkan (biodegradable) di alam. Dengan demikian, hal ini dapat mengurangi jumlah sampah plastik yang menumpuk. Selain itu, banyak sekali riset yang sudah mempelajari penambahan zat aditif seperti zat antimikroba, antioksidan, dan lainnya untuk memperkuat properti dari plastik dan selanjutnya mampu mempertahankan kualitas produk pangan yang dibungkus dengan plastik biopolimer tersebut secara efektif dibandingkan penambahan zat aditif langsung pada pangan.

Biodegradable film berbasis protein

Jika dibandingkan dengan polisakarida dan lipid, protein lebih diunggulkan dalam proses pembuatan biodegradable packaging (biodegradable film), khususnya karena memiliki mechanical properties (kekuatan mekanis dari film/plastik) dan barrier properties (kemampuan untuk menghambat keluar masuknya zat tertentu melewati film/plastik) yang sangat baik. Hal ini disebabkan protein memiliki struktur yang unik, yaitu terdapat 20 macam asam amino yang dapat memberikan berbagai jenis bentuk ikatan antar-molekul sehingga memperluas sifat-sifat fungsional dari plastik yang dibentuk [2]. Selain itu, protein juga pada dasarnya memiliki barrier properties yang baik terhadap sinar UV karena adanya asam amino aromatik (strukturnya menyerupai cincin) yang mampu menyerap sinar UV, sehingga dapat mencegah terjadinya oksidasi pada produk pangan yang dibungkus dengan plastik dari protein ini. Dari beberapa riset yang sudah dikembangkan akhir-akhir ini, pengembangan biodegradable packaging dari gelatin dan myofibrillar protein bisa dijadikan contoh.

Gelatin film

Gelatin merupakan protein larut air yang merupakan turunan dari kolagen melalui denaturasi termal atau hidrolisis parsial [5]. Gelatin ini dapat diperoleh contohnya dari tulang, kulit ikan, kulit babi, dll. Selain memiliki mechanical properties yang baik, gelatin film (lihat Gambar 1) memiliki barrier properties yang baik terhadap oksigen, bahkan lebih baik dari nylon/linear low-density polyethylene (nylon/LLDPE), yaitu dengan cara mengubah kelarutan oksigen dalam jaringan film [6]. Oksigen merupakan salah satu inisiator terjadinya oksidasi lemak pada produk pangan (membuat pangan jadi tengik), khususnya makanan yang berminyak. Dengan barrier properties yang baik terhadap oksigen, oksidasi ini dapat dihambat dengan baik.

Ikatan antar-protein pada gelatin film ini didominasi oleh ikatan hidrogen yang merupakan ikatan yang lemah [5]. Meskipun lemah, mechanical properties dari film ini sangat baik dan stabil. Film yang dihasilkan memiliki tensile strength (kekuatan tarik) yang baik dan juga bersifat elastis. Selain ikatan hidrogen, ikatan hidrofobik juga terbentuk pada gelatin film ini. Dengan ikatan-ikatan yang lemah ini, gelatin film dapat dibentuk menjadi kemasan sachet atau pouch karena dapat disegel dengan panas, atau dengan kata lain memiliki heat-sealing ability yang baik. Penelitian dari Nilsuwan, dkk. [7] menunjukkan bahwa gelatin film memiliki seal strength yang sangat tinggi, yaitu 998,33 ± 15,28 N/m.

blank

Gambar 1. Gelatin film untuk membungkus powdery product dan minyak (Sumber: [8])

Myofibrillar protein film

Myofibrillar protein tergolong dalam muscle protein (protein otot/daging). Film jenis ini dapat diproduksi dari daging ikan, sapi, ayam, atau seafood. Perlu diperhatikan bahwa pemanfaatan otot atau daging pada pembuatan film ini tidak bersaing dengan asupan protein dari konsumsi daging masyarakat karena protein yang digunakan dapat berasal dari daging yang sudah lama tidak dimanfaatkan atau yang kualitasnya kurang segar [9]. Dalam proses pembentukan film, myofibrillar protein tidak larut dalam air, akan tetapi dapat dilarutkan apabila pH larutan diatur menjadi sangat asam atau basa. Dalam keadaan asam atau basa, protein akan terprotonasi atau deprotonasi yang dapat meningkatkan kelarutan protein tersebut dalam air. Derajat keasaman atau pH yang digunakan untuk melarutkan muscle protein antara lain pada rentang pH 2-3 (untuk kondisi asam) dan pH 7-12 (untuk kondisi basa). Pada rentang pH 4-7, protein tidak akan larut air karena telah mencapai titik isoelektrik (protein akan menggumpal dan mengendap karena muatan positif dan negatifnya sama) [9].

Myofibrillar protein mampu membentuk film dengan tensile strength yang kuat karena memiliki ikatan kovalen disulfida (S-S) yang sangat kuat (lihat Gambar 2). Myofibrillar protein memiliki asam amino sistein yang memiliki gugus -SH, yang dapat berikatan dengan asam amino sistein lainnya dalam matriks film, sehingga film yang dibentuk akan sangat kuat. Akan tetapi, karena ikatan kovalen yang kuat, myofibrillar film menjadi sangat rapuh (brittle) dan tidak lebih elastis dari gelatin film. Di samping ikatan disulfida, myofibrillar protein film juga distabilkan oleh ikatan-ikatan lemah seperti ikatan hidrogen, elektrostatik, dan ikatan hidrofobik [9].

Efek penambahan senyawa fenolik pada film

Senyawa fenolik dapat ditambahkan pada film sebagai zat aditif pada matriks film. Senyawa fenolik yang memiliki gugus hidroksil (-OH) ini dapat diperoleh dari berbagai macam minyak esensial, atau dapat ditambahkan langsung berupa bahan kimia, misalnya asam tanat (dapat ditemukan pada teh), asam galat, asam laurat, dll. Penambahan senyawa fenolik ini dapat meningkatkan mechanical properties dari film dengan berlaku sebagai cross-linker. Cross-linker yang dimaksud di sini adalah sebagai penguhubung tambahan (protein-fenolik-protein) antara protein dengan protein pada matriks. Dengan demikian, ikatan antar-protein menjadi semakin kuat dan stabil, alhasil mechanical properties meningkat. Senyawa fenolik dapat menghubungkan antara protein yang satu dengan lainnya dengan ikatan hidrogen, hidrofobik, maupun kovalen, tergantung daripada jenis senyawa fenolik yang digunakan (lihat Gambar 2). Namun, perlu diperhatikan juga jumlah fenolik yang akan ditambahkan, karena dapat berpengaruh pada elastisitas dari film. Apabila terlalu banyak, maka film yang terbentuk dapat menjadi sangat rapuh dan tidak elastis, meskipun tensile strength-nya meningkat [5].

blank

Gambar 2. Interaksi antar-protein pada gelatin film dengan penambahan senyawa fenolik dan biopolimer yang mengandung sistein (myofibrillar protein) (Sumber: [5], dengan modifikasi)

Selain sebagai cross-linker, penambahan fenolik juga dapat berperan sebagai antioksidan. Senyawa fenolik yang memiliki gugus hidroksil (-OH) dapat mendonorkan elektron atau hidrogen pada radikal bebas sehingga menjadi molekul yang stabil dan tidak menyebabkan oksidasi. Selain sinar UV dan oksigen, radikal bebas ini juga dapat menjadi pemicu terjadi oksidasi lipid pada pangan.

Dengan pengembangan biodegradable packaging yang terus berkembang, diharapkan ke depannya, baik Indonesia maupun dunia, dapat mengurangi penumpukan sampah yang terjadi. Biodegradable packaging yang berhasil dikembangkan juga dapat bersaing dengan plastik-plastik berbasis petroleum pada umumnya, atau bahkan lebih baik karena memiliki kemampuan tambahan seperti dapat ditambahkan antioksidan dan sebagainya sehingga mampu mempertahankan kualitas produk pangan.

Referensi:

[1] Adebayo, Z. 2018. New Road Material Reducing Plastic Pollution in Indonesia. Diakses dari: https://borgenproject.org/plastic-pollution-in-indonesia/ pada tanggal 22 Mei 2018.

[2] Kaewprachu, P., Osako, K., Benjakul, S., Tongdeesoontorn, W., Rawdkuen, S. 2016. Biodegradable Protein-based Films and Their Properties: A Comparative Study. Packag. Technol. Sci. 29: 77-90. DOI: 10.1002/pts.2183.

[3] Rachman, A., Schonhardt, S. 2016. Indonesia Eyes Tax to Reduce Plastic Waste. Diakses dari: https://www.wsj.com/articles/indonesia-eyes-tax-to-cut-plastic-trash-1464673633 pada tanggal 22 Mei 2018.

[4] Amir, H. 2017. Pengenalan tentang Bahan Aditif Berbahaya pada Jajanan Anak Sekolah. Bengkulu: Jurusan Pendidikan MIPA, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Bengkulu.

[5] Benjakul, S., Nagarajan, M., Prodpran, T. 2017. Films and Coatings from Collagen and Gelatin. Dalam M. P. Garcia, M. C. Gomez-Guillen, M. E. Lopez-Caballero, & G. V. Barbosa-Canovas (Eds.), Edible films and coatings: fundamentals and applications (pp. 103-124). Boca Raton: CRC Press.

[6] Nilsuwan, K., Benjakul, S., Prodpan, T. 2016. Quality Changes of Shrimp Cracker Covered with Fish Gelatin Film without and with Palm Oil Incorporated during Storage. International Aquatic Research 8: 227-238. DOI: 10.1007/s40071-016-0138-x.

[7] Nilsuwan, K., Benjakul, S., & Prodpran, T. 2017. Properties, microstructure and heat seal ability of bilayer films based on fish gelatin and emulsified gelatin films. Food Biophysics 12(2), 234-243. DOI: 10.1007/s11483-017-9479-2.

 [8] Benjakul, S., Tongnuanchan, P., Prodpran, T. 2017. Use of Fish Gelatin Based-Films as Edible Pouch to Extend the Shelf-Life of Dried Chicken Powder and Chicken Oil. International Journal of Industrial and Manufacturing Engineering 11(4).

[9] Gomez-Estaca, J., Gomez-Guillen, M. C., Garcia, M. P. 2017. Films and Coatings from Animal Protein. Dalam M. P. Garcia, M. C. Gomez-Guillen, M. E. Lopez-Caballero, & G. V. Barboza-Canovas (Eds.), Edible Films and Coatings: Fundamental and Applications (pp. 89-102). Boca Raton: CRC Press.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Yuk Gabung di Komunitas Warung Sains Teknologi!

Ingin terus meningkatkan wawasan Anda terkait perkembangan dunia Sains dan Teknologi? Gabung dengan saluran WhatsApp Warung Sains Teknologi!

Yuk Gabung!

Di saluran tersebut, Anda akan mendapatkan update terkini Sains dan Teknologi, webinar bermanfaat terkait Sains dan Teknologi, dan berbagai informasi menarik lainnya.