Ditulis Oleh Rosa Rosdiani Sari
(Ilustrasi : gaya.tempo.co)
Beberapa bulan terakhir kasus bullying marak terjadi terutama dikalangan pelajar. Menurut Wicaksana (2008), bullying adalah kekerasan fisik dan psikologis jangka panjang yang dilakukan seseorang atau kelompok, terhadap seseorang yang tidak mampu mempertahankan dirinya dalam situasi di mana ada hasrat untuk melukai atau menakuti orang itu atau membuat dia tertekan.
Istilah bullying berasal dari bahasa Inggris, yaitu “bull” yang berarti banteng. Secara etimologi kata “bully” berarti penggertak, orang yang mengganggu yang lemah. Bullying dalam bahasa Indonesia disebut “menyakat” yang artinya mengganggu, mengusik, dan merintangi orang lain (Wiyani, 2012).
Dalam skala kecil bullying biasanya berbentuk lisan. Namun dalam skala besar bullying ini bisa sampai menimbulkan kekerasan. Mengapa hal ini bisa terjadi? Kebiasaan. Ya, faktor kebiasaan merupakan salah satu penyebabnya.
Kebiasaan menurut KBBI adalah antar pola untuk melakukan tanggapan terhadap situasi tertentu yang dipelajari oleh seorang individu dan yang dilakukan secara berulang untuk hal yang sama. Sederhananya, bullying merupakan hal yang lazim dalam masyarakat. Bullying bukan hal baru, ini sudah terjadi dalam kehidupan kita, bahkan mungkin pada orang terdahulu kita. Kebiasaan ini terbentuk dengan sendirinya bahkan tanpa disadari sebelumnya oleh pelaku. Suatu kegiatan bisa menjadi kebiasaan karena memberikan rasa nyaman bagi pelaku, sehingga cenderung memberikan efek kecanduan.
Bullying diturunkan dari satu generasi kegenerasi berikutnya. Biasanya bullying ini diawali oleh orang terdekat kita sendiri melalui indra. Semisal ada seorang anak yang bertubuh tinggi, keluarganya sudah biasa memanggil dia ‘tiang listrik’. Otomatis orang yang terbilang dekat dengannya memanggil dia begitu. Hal ini akan tersimpan dalam pola pikirnya (mindset) bahwa setiap kali ada orang yang menurutnya tidak sesuai, ia bisa menyebutnya dengan nama-nama panggilan khas. Misalnya, suatu hari  dia bertemu dengan orang bertubuh pendek dia memanggilnya ‘si boncel’ karena secara fisik berlawanan dengannya. Ia berpikir ‘toh ini fakta’. Namun tak selamanya begitu, seringkali ucapan merupakan pedang tak bertulang.
Pada kasus lain, kebiasaan bullying juga bisa dilatar belakangi oleh kurangnya perhatian orang tua. Sehingga pelaku menjadi lebih emosional dan egois. Menganggap orang lain lebih rendah, baik dari segi fisik, mental maupun sosial. Biasanya pelaku dengan jenis ini memang tidak memiliki hubungan baik dengan orang-orang. Sikapnya suka memerintah, kasar, tapi senang menjadi pusat perhatian. Dalam pergaulan kebanyakan menjadi ketua geng atau kelompok. Seakan-akan memiliki kuasa, bullying merupakan makanan sehari-hari yang biasa dilakukan. Bahkan jika kita mengintip kasus-kasus yang tengah terjadi, pelaku jenis ini sebenarnya lebih banyak ditemukan dengan kasus kekerasan atau bullying lingkup besar.
Dalam rentang waktu cukup lama, jika bullying dalam lingkup kecil ini terus dilakukan maka akan menjadi sebuah kebiasaan. Pelaku tak lagi ragu mengeluarkan bully-bully kecilnya. Kadang kala beberapa orang yang melakukan hal semacam ini berpikir bahwa perbuatannya tidak mengandung unsur-unsur bullying sama sekali. Walaupun begitu, sebenarnya dalam pola pikir (mindset) pelaku hal ini sudah terekam. Alam bawah sadarnya mempelajari bully, merekam bully melalui indra (mata dan telinga), kemudian saat melihat seseorang yang memiliki kekurangan pelaku mengeluarkan bully tersebut. Otaknya sudah terkontrol untuk mengeluarkan bully terhadap orang lain. Mungkin ini yang lebih tepat dikatakan sebuah kebiasaan yang tak disadari. Seperti tadi, perilaku bullying ini sudah menimbulkan rasa nyaman sehingga pelaku terus melakukannya (kecanduan).
Jika bullying dalam lingkup kecil sudah menjadi kebiasaan maka bisa jadi naik ketahap yang lebih lanjut yaitu bullying dalam lingkup besar. Seperti peribahasa ‘Sedikit demi sedikit  lama-lama menjadi bukit’. Seseorang yang terus melakukan bully kecil tak jauh beda dengan menabung bully yang lebih besar.
Pola pikir (mindset) pelaku tidak segan-segan mengecam orang yang menurutnya tidak sesuai. Apalagi jika si pelaku menganggap korban sebagai bahan candaan. Emosi yang tidak stabil membuat pelaku berbuat sesuka hati. Bahkan jika si korban melaporkan atau melakukan hal yang tidak disukai atau merugikan pelaku. Maka pelaku akan kembali membalasnya dengan bullying-bullying yang lebih dari biasanya. Hal itu dilakukan sebagai penunjuk dirinya mempunyai kekuasaan. Sebagian besar pelaku juga tidak merasa bersalah jika telah melakukan bullying terhadap seseorang. Hal itu dikarenakan bullying dijadikan kepuasan pribadi.
Purwakarta, 13 Juli 2019
Daftar Pustaka
- https://www.kajianpustaka.com/2018/01/pengertian-unsur-jenis-ciri-ciri-dan-skenario-bullying.html
- https://kbbiweb.id/biasa
- https://parenting.orami.co.id/magazine/5-dampak-kurang-perhatian-orang-tua-bagi-perkembangan-anak
- https://metro.tempo.co/read/1201495/kpai-3-bulan-12-anak-jadi-korban-kekerasan-psikis-dan-bullying
- https://cdn.tmpo.co/data/2015/12/01/id_459750/459750_650.jpg