Meletusnya gunung berapi atau erupsi vulkanik merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi variabilitas dan perubahan iklim jangka pendek. Gunung meletus memberi dampak kepada perubahan dan keseimbangan atmosfer karena masuknya gas dan partikel-partikel vulkanik ke dalam atmosfer.
Besarnya dampak dari erupsi vulkanik terhadap perubahan iklim bergantung pada besarnya daya ledak gunung berapi dan tingginya partikel vulkanik yang mencapai atmosfer. Partikel ini menyebabkan pengurangan radiasi Matahari (atenuasi) melalui proses penyerapan, penghamburan, dan pemantulan. Sehingga suhu udara permukaan Bumi turun dan berubah menjadi lebih dingin.
Hanya Erupsi Gunung Berapi dengan Daya Ledak Kuat yang Dapat Menyebabkan Perubahan Iklim
Peristiwa alam yang secara aktif dapat menambah jumlah aerosol di alam, terutama di atmosfer atas adalah erupsi gunung berapi. Beberapa erupsi gunung berapi yang membawa aerosol memasuki lapisan stratosfer di antaranya adalah letusan Gunung Tambora (1815), El Chichόn (1982), Pinatubo (1991), dan Kelud (1919).
Tidak semua erupsi vulkanik menyebabkan perubahan iklim. Tetapi, hanya erupsi vulkanik yang banyak mengandung sulfur oksida dan mempunyai daya ledak kuat. Erupsinya dapat mengubah komposisi dan stabilitas Atmosfer. Sehingga letusannya dapat membawa partikel vulkanik ke lapisan stratosfer yang dapat memengaruhi komposisi dan stabilitas iklim global.
Mekanisme Perubahan Iklim Akibat Erupsi Vulkanik
Erupsi yang kuat dan kaya akan sulfur oksida dapat menyebabkan perubahan iklim global, tetapi sifatnya jangka pendek (short-term climate change). Erupsi kuat adalah erupsi dengan daya ledak yang dapat membawa partikel vulkanik dalam jumlah besar ke dalam stratosfer. Besar kecilnya dampak, tergantung kepada banyak sedikitnya volume gas sulfur oksida yang terbawa ke stratosfer oleh erupsi vulkanik tersebut.
Aerosol adalah kumpulan partikel padat atau cair yang tersuspensi dalam medium gas. Ukurannya 0,001-100 μm. Distribusi aerosol (sulfur oksida) terhadap ketinggian sangat bergantung pada musim dan lokasi. Secara umum, kandungan aerosol di atmosfer akan berkurang mengikuti bertambahnya ketinggian dan menjadi nol pada ketinggian 35 km.
Setelah gas sulfur oksida sampai di stratosfer, gas ini kemudian bergabung dengan uap jenuh menjadi asam sulfurik (H2SO4) dan partikel sulfat (aerosol sulfurous). Saat stratosfer stabil dan tanpa presipitasi, aerosol sulfurous tetap mengapung di dalam stratosfer dalam jangka waktu lama sampai beberapa tahun.
Aerosol-aerosol yang menetap pada stratosfer kemudian berinteraksi dengan radiasi Matahari. Interaksinya menyerap radiasi Matahari, sehingga menyebabkan pemanasan stratosfer dan mengurangi jumlah radiasi pada lapisan troposfer. Aerosol juga menghamburkan sebagian radiasi Matahari kembali ke angkasa. Hal ini dapat menambah kontribusi dalam pendinginan permukaan Bumi.
Rangkaian erupsi vulkanik menyebabkan lapisan aerosol sulfurous menetap permanen di stratosfer dan emisi sulfur oksida terkadang mempertebal lapisan sulfurous stratosferik. Jadi, erupsi vulkanik kuat yang kaya sulfur oksida menyebabkan perubahan dan variabilitas iklim global jangka pendek.
Pemantauan Distribusi Aerosol di Stratosfer
Pemantauan dan penelitian aerosol stratosfer dapat dilakukan dengan beberapa cara baik secara in-situ maupun jarak jauh (remote). Kali ini akan dibahas 2 cara pemantauan distribusi aerosol. Yaitu pengukuran distribusi vertikal aerosol menggunakan Optical Particle Counter (OPC) dan Light Detect and Ranging (Lidar). Keduanya merupakan perangkat yang dapat diandalkan dalam pemantauan aerosol jangka panjang.
Semakin jauh penyebaran aerosolnya, maka semakin berkurang juga konsentrasinya. Aerosol di stratosfer memiliki waktu hidup lebih lama dibandingkan dengan aerosol di troposfer. Hal ini dikaitkan dengan dampaknya terhadap proses perubahan iklim.
Beberapa Erupsi Vulkanik di Dunia yang Menyebabkan Perubahan Iklim
Erupsi Vulkanik di Indonesia
Dalam catatan sejarah dunia, ada 2 gunung berapi di Indonesia yang pernah memuntahkan aerosol vulkanis dalam jumlah besar yaitu Gunung Kelud dan Gunung Tambora. Salah satu erupsinya yaitu erupsi Gunung Tambora menyebabkan fenomena “Year without Summer”.
Yang pertama, erupsi Gunung Kelud pada 1919 menyemburkan debu aerosol dengan jumlah besar, hingga ketinggian lebih dari 10.000 meter. Pada ketinggian yang rendah debu aerosol menyebar ke arah timur dan meluas hingga ke Bali, sedangkan pada ketinggian yang lebih tinggi debu aerosol menyebar ke arah Barat.
Pada 14 Februari 2014, Gunung Kelud kembali meletus dan menyebabkan hujan kerikil, dirasakan hingga radius 10 km dari pusat erupsi. Teramati hampir di seluruh wilayah Yogyakarta tertutup oleh abu vulkanis yang cukup pekat dan diperkirakan mencapai ketebalan 2 cm, melebihi ketebalan yang dihasilkan oleh letusan gunung Merapi 2010. Pencitraan visual yang dilakukan enam jam setelah letusan menunjukkan bahwa awan debu Kelud telah memasuki ketinggian 18-20 km dalam jumlah yang sangat banyak, bahkan puncak awan debu Kelud mencapai ketinggian 26 km.
Kedua, letusan Gunung Tambora pada 1815 merupakan letusan yang dahsyat dengan kekuatan 7 VEI atau setara dengan 27 megaton TNT dengan memuntahkan magma hingga ketinggian 43.000 meter. Sejumlah 30-32 km3 magma dilepaskan jauh ke lapisan stratosfer dan 53-58 juta ton SO2 pada 24 jam pertama, dan ini cukup untuk menghasilkan 93-118 Tg aerosol sulfat stratosfer. Abu halusnya yang menembus stratosfer telah menyebabkan penurunan temperatur belahan bumi bagian utara.
Akibat banyaknya aerosol yang berkonsentrasi di stratosfer. Maka, musim semi dan musim panas negara yang berada di belahan bumi utara pada 1816, mengalami musim dingin berkepanjangan. Dan nyaris tidak mengalami musim panas sama sekali. Keadaan yang berlangsung selama lebih dari 3 bulan tersebut menyebabkan kegagalan panen yang luas di negara-negara belahan bumi utara dan menyebabkan kenaikan harga bahan-bahan pangan secara drastis .
Erupsi Vulkanik di Luar Indonesia
Gunung Pinatubo dan El Chichόn merupakan 2 gunung berapi yang letusannya membuat penasaran peneliti di seluruh dunia. Erupsinyapun memberikan kemajuan ilmu pengetahuan yang cukup berarti di dunia sains. Erupsinya juga meningkatkan kandungan aerosol lebih dari 100 kali lipat secara tiba-tiba dari kandungan background reratanya sebesar 5×10-5 sr-1.
Pertama, Erupsi Gunung Pinatubo pada tahun 1991, gunung ini terletak di Filipina. Jumlah aerosol yang tersebar di atmosfer diperkirakan sebanyak 30 Tg, namun jumlahnya masih jauh lebih sedikit, jika dibandingkan dengan perkiraan aerosol yang dilepaskan akibat erupsi Gunung Tambora pada tahun 1815 yaitu >100 Tg, ataupun Gunung Krakatau pada 1883, yaitu ~ 50 Tg.
Pemantauan aerosol menggunakan Lidar (Light Detect and Ranging) oleh NOAA menunjukkan peningkatan Integrated Backscattering Coefficient yang sangat tinggi ketika terjadinya letusan. Peningkatannya hampir sebesar 80 kali lipat terjadi pada saat letusan dan menurun secara perlahan dalam 5 tahun, bahkan efeknya masih terasa hingga 10 tahun kemudian.
Efek erupsinya juga mempengaruhi pembentukan awan cirrus. Pembentukannya disebabkan homogeneous freezing dari aerosol H2SO4 dalam jangka waktu 2 tahun pertama setelah erupsi. Kandungan aerosol kembali ke keadaan normalnya secara berangsur-angsur dalam 4-5 tahun setelah letusan. Tidak hanya itu, setelah 6 bulan terjadinya letusan, efeknya juga berdampak pada kolom rerata ozon global yang mulai menunjukkan penurunan dibandingkan dengan siklus tahunan rata-rata tahun 1979-1990.
Kedua, Gunung El Chichόn terletak di Mexico, mengalami erupsi pada Maret-April 1982 dengan skala erupsinya sebesar 5 VEI (Volcanic Explosivity Indeks) . Efek dari erupsinya terhadap iklim antara lain, mengakibatkan terjadinya musim dingin yang lebih hangat di belahan bumi utara pada tahun 1982-1983 dan menyebabkan suhu udara di Amerika Utara, Eropa, dan Siberia lebih hangat dari pada keadaan normalnya. Pengamatan Insolasi (incoming solar radiation) pada bulan ke-9 setelah terjadinya letusan di 2 tempat yang berbeda yaitu Mexico City dan Vancouver, menghasilkan kesimpulan bahwa telah terjadi penurunan intensitas radiasi matahari langsung di tingkat permukaan sebagai dampak dari peningkatan kandungan aerosol stratosfer.
Referensi:
- Bayong TjHK. (2019). 555 Tanya Jawab Cuaca Iklim Lingkungan dan Bioklimatologi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
- Hamdi, S. (2014). Kajian Peningkatan Kandungan Aerosol Stratosfer Akibat Letusan Gunung Berapi. Berita Dirgantara, 15(2).
- Wirakusumah, A. D., & Rachmat, H. (2017, June). Impact of the 1815 Tambora Eruption to global climate change. In IOP Conference Series: Earth and Environmental Science (Vol. 71, No. 1, p. 012007). IOP Publishing.
- NASA. (2013). The 1991 Mt. Pinatubo Eruption Provides a Natural Test for The Influence of Arctic Circulation on Climate. Dilihat 1 Januari 2021.