Ditulis oleh: Said Naufal Hibaturrahman*
Buah tomat adalah salah satu buah tropis yang banyak dimafaatkan sebagai bahan pangan dalam masakan Indonesia. Buah tomat pasca panen rentang terhadap kerusakan seperti membusuk, mengkerut, dan melembek akibat penyimpanan yang tidak sesuai. Pada umumnya penyimpanan buah tomat dapat dilakukan dengan menggunakan metode pendinginan seperti refregrasi. Namun sistem pendinginan tersebut membutuhkan energi dan biaya yang tinggi sehingga dapat memberatkan para petani kecil dalam penanganan buah tomat. Selain itu, buah tomat yang disimpan pada suhu penyimpanan di bawah 10℃ dapat menyebabkan chill injury (Nkolisa et al. 2019). Berdasarkan alasan-alasan di atas maka perlu sistem pendinginan alternatif. Salah satu alternatif metode pendinginannya adalah evaporative cooling (EC).
Sistem EC dapat meningkatkan kelembapan udara serta menurunkan suhu pada penyimpanan sehingga dapat menurunkan resiko kerusakan buah tomat. Sistem EC diawali dengan menghisap udara luar dengan suction fun, lalu udara tersebut melewati cooling pad (bantalan) yang mengandung air. Udara tersebut menguapkan air pada cooling pad sehingga udara menjadi lebih lembab. Kemudian, udara tesebut memasuki chamber (tempat penyimpanan tomat) pada sistem dan meningkatkan RH serta menurunkan suhu lingkungannya (Lal Basediya et al. 2013).
Berbeda dengan sistem refregrasi yang menggunakan refrigerant sebagai bahan pendingin, pada EC menggunakan udara lingkungan dan air dalam proses pendinginannya. Selain itu, penggunaan sistem EC dapat menekan 85% penggunaan energi dibandingkan dengan sistem refregrasi (Lal Basediya et al. 2013). Biaya atau harga sistem EC pun lebih murah dibandingkan dengan sistem refrigrasi. Berdasarkan Nkolisa (2018), pembuatan EC menggunakan biaya sekitar 4304 dollar, sedangkan harga dari sistem refrigrasi dengan ukuran sama adalah 6626 dollar.
Buah tomat yang disimpan pada EC dapat menurunkan resiko kerusakan buah tomat dibandingkan penyimpanan pada suhu ruang dari segi kualitas dan nutrisi. Tomat yang disimpan pada sistem EC dengan kisaran suhu 17.24–19.84℃ dan RH 79.84-83.91%, diketahui dapat menjaga parameter kualitas seperti warna, kekerasan, bobot, dan total padatan terlarut buah tomat lebih baik dibandingkan dengan penyimpanan suhu ruang (Nkolisa et al. 2018). Selain itu, dari segi komponen nutrisi, tomat yang disimpan pada sistem EC dengan kondisi yang sama dapat melindungi kandungan likopen, vitamin C, dan total fenolik serta kemamuan antioksidan buah tomat lebih baik dibandingkan dengan penyimpanan suhu ruang (Nkolisa et al. 2019).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sistem pendingin EC dapat digunakan sebagai alternatf untuk penyimpnan buah tomat pasca panen. Hal ini dikarenakan, sistem EC mampu menjaga kualitas dan kandungan nutrisi lebih baik dibandingkan dengan penyimpanan suhu ruang. Namun dalam penggunnanya perlu memerhatikan suhu dan kondisi udara lingkungan, karena efesiensi pendinginan pada sistem EC dipengaruhi oleh suhu dan RH lingkungan sekitar.
Daftar pustaka
- Lal Basediya A, Samuel DVK, Beera V. 2013. Evaporative cooling system for storage of fruits and vegetables – A review. J Food Sci Technol. 50(3):429–442. doi:10.1007/s13197-011-0311-6.
- Nkolisa N, Magwaza LS, Workneh TS, Chimpango A. 2018. Evaluating evaporative cooling system as an energy- free and cost- effective method for postharvest storage of tomatoes (Solanum lycopersicum L.) for smallholder farmers. Sci Hortic (Amsterdam). 241(July):131–143. doi:10.1016/j.scienta.2018.06.079.
- Nkolisa N, Magwaza LS, Workneh TS, Chimphango A, Sithole NJ. 2019. Postharvest quality and bioactive properties of tomatoes (Solanum lycopersicum) stored in a low-cost and energy-free evaporative cooling system. Heliyon. 5(8):e02266. doi:10.1016/j.heliyon.2019.e02266.
*Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Pangan di Institut Pertanian Bogor. Email: naufaruusaid@apps.ipb.ac.id
Warung Sains Teknologi (Warstek) adalah media SAINS POPULER yang dibuat untuk seluruh masyarakat Indonesia baik kalangan akademisi, masyarakat sipil, atau industri.