Infeksi yang disebabkan oleh cacing parasit golongan Trematoda (Fasciolla sp), khususnya penyakit cacing hati. Infeksi ini tergolong penyakit zoonosis yang umumnya menyerang hewan ruminansia dan beberapa spesies hewan langka melalui berbagai jenis kontaminasi. sehingga menyebabkan bahaya serius terhadap mahluk hidup khususnya hewan dan manusia.
Hal ini disebabkan adanya kontaminasi metaserkaria, yaitu larva menular dari berbagai spesies Fasciolla, pada pakan ternak dan air minum (Purwaningsih et al., 2018). Fasciola yang beroperasi secara parasit pada manusia yaitu F.hepatica, F.gigantica (Kementerian Pertanian, 2014).
Kedua jenis trematoda yang menyerang organ hati yang dikenal sebagai liver fluke atau cacing hati. Jenis cacing hati ini memiliki habitat dan induk semang yang berbeda.
Fasciolosis dianggap menjadi kasus endemik di banyak negara Amerika Latin (McNulty et al., 2017). Fasciolla sp menjadi penyebab Infeksi Fasciolosis secara global yang sangat parah pada inang manusia dan hewan (Chetri et al., 2020).
Infeksi Fascioliasis pada manusia telah menjadi masalah kesehatan masyarakat dalam beberapa dekade terakhir, sehingga hal ini mendorong OrgaAnisasi Kesehatan Dunia (WHO) menobatkan infeksi ini sebagi penyakit tropis yang terabaikan.(Disease et al., 2012; Mas-coma et al., 2021)
Infeksi ini sangat membahayakan manusia, khususnya pada anak usia dini. Hal ini terkait dengan anemia dan penurunan berat badan pada anak yang sangat rentan terhadap komplikasi jangka panjang, seperti gangguan pertumbuhan serta perkembangan neurokognitif yang buruk.(Caravedo & Cabada, 2020; Webb & Cabada, 2018)
efek lain juga dapat menyebabkan 90.000 tahun kehidupan yang disesuaikan dengan kecacatan (disability-adjusted life years, DALYs) karena gejala-gejala perut yang terkait seperti mual, muntah, diare, dan rasa sakit.(Havelaar et al., 2015) Parasit ini tidak hanya berdampak pada kesehatan namun juga menimbulkan masalah sosial ekonomi di masyarakat (Khoramian et al., 2014).
Spesies Fasciola sp ini mempengaruhi hewan ternak (sapi, kambing, domba, kuda dan herbivora lainnya) menyebabkan masalah yang cukup serius bagi industri ternak dan petani baik itu di negara maju maupun berkembang.
Pada dasarnya Fasciolla sp memiliki siklus hidup yang kompleks, telur cacing akan keluar dari tubuh inangnya seperti hewan ternak bersama feses dan pada lingkungan yang lembab telur tersebut dapat bertahan 2-3 bulan.
Kemudian telur akan menetas dan mengeluarkan mirasidium yang mana penetasan umumnya terjadi pada siang hari. Telur cacing F.hepatica akan menetas dalam 12 hari, sedangkan F.gigantica akan menetas dalam 14-17.
Mirasidium tersebut memiliki cilia(rambut getar) dan sangat aktif berenang di dalam air untuk mencari induk semang antara yang sesuai, yakni siput jenis Lymnaea sp seperti L.Ovula dan siput Planorbis leucotoma yang dapat terinfeksi F.hepatica serta siput L.rubiginosa yang terinfeksi F.gigantica.
Setelah masuk ke dalam tubuh induk semangnya, maka ia akan berubah menjadi sporosis, dimana dalam waktu delapan hari kemudian sporosis ini berkembang menjadi sejumlah redia yang kemudian akan menghasilkan serkaria dan keluar dari tubuh siput.
Serkaria memiliki ekor sehingga ia akan berenang dan menempel pada benda apa saja dalam air yang dilaluinya termasuk rumput, jerami atau tumbuhan air lainnya (Widjayanti, 2004).
Setelah menempel, ia akan melepas ekornya dan membentuk kista yang disebut metaserkaria (Fasciolla sp) sehingga bila ada hewan ternak atau manusia yang memakan tumbuhan air yang terkontaminan maka akan tertular dan menderita Fasciolosis atau yang dikenal dengan (food borne diseases) (Toledo et al., 2012).
Kerugian yang dapat ditimbulkan dari kecacingan antara lain penurunan produktivitas ternak, penurunan daya kerja, penurunan berat badan 6-12 kg per tahun, penurunan kualitas daging, kulit, dan organ bagian dalam, terhambatnya pertumbuhan pada hewan muda dan bahaya penularan pada manusia atau zoonosis (Gasbarre et al., 2001).
Obat cacing albendazole efektif dan efisien untuk mengobati infestasi cacing. Meskipun belum ada data akurat tentang pemakaian albendazole, namun ditengarai obat ini telah digunakan sejak lama, secara terus menerus, dan meluas. Walaupun kecacingan tidak langsung menyebabkan kematian, akan tetapi kerugian dari segi ekonom sangat besar, maka perlu usaha pengendalian yang efektif dan efisien.
Untuk itu diperlukan informasi berupa jenis cacing yang menginfeksi, prevalensi dan tingkat keparahan serangan serta efektifitas obat cacing yang dapat dipakai sebagai dasar dalam pengambilan tindakan pencegahan dan pengobatan serta memutus rantai penyebaran.
Facioliasis (hepatik) atau penyakit cacing hati (PCH) merupakanpenyakit yang disebabkan oleh cacing Tremadoda genus Fasciola. Pada umumnya istilah Fasciolosis digunakan untuk menggambarkan atau untuk menentukan diagnosis penyakit cacingan yang menyerang ternak memamah biak seperti sapi, kerbau, kambing dan domba
Berat ringannya kasus Fasciolosis tergantung pada jumlah metaserkaria yang tertelan dan infektifitasnya. Studi ini menunjukkan bahwa faktor risiko infeksius cacing Fasciolla sp pada manusia diberbagai negara, dimana aspek karakteristik responden, makanan, lingkungan perumahan dan sanitasi air dan pemeliharaan hewan berkontribusi terhadap situasi tersebut.
Berdasarkan hasil kajian artikel penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari berbagai negara menunjukkan bahwa karakterisitik responden memungkinkan membawa pengaruh terhadap tingkat kerentanan infeksi Fasciolla sp pada manusia. Hal ini dapat dilihat dari salah satu penilaian variabel yakni usia, dimana perbedaan usia secara signifikan berpengaruh terhadap kejadian infeksi Fasciolosis (Angles et al., 2022), (Davoodi et al., 2022), (Cabada et al., 2018).
Seiring pertambahan usia dari masa kanak-kanak hingga dewasa tentunya mengalami perkembangan pola pikir dan pengetahuan terhadap kesehatan. Oleh karena itu, beberapa penelitian menemukan tingkat infeksi Fasciolosis banyak terjadi pada usia anak-anak.
Dimana pada usia ini pola pikir yang belum matang bagi anak- anak untuk menjaga kebersihan, memberikan mereka peluang untuk terinfeksi Fasciolla sp (Suniarti, 2022). Usia ini menjadi tantangan terhadap peningkatan kasus, mengingat masa ini menjadi kesempatan bagi anak-anak untuk aktif bermain dan mengeksplor lingkungan secara bebas.
Disamping itu, jenis kelamin perempuan juga menunjukkan hasil yang signifikan terhadap penyakit Fasciolosis(Afshan et al., 2020), (Davoodi et al., 2022). Perempuan memiliki peran andil yang besar dalam berinteraksi dengan bahan-bahan dapur seperti sayuran, buah dan daging saat memasak sehingga mudah sekali untuk terkontaminasi dengan bahan dapur yang dicurigai mengandung Fasciolla sp.
Selain itu berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan hasil bahwa perempuan memiliki tingkat konsumsi yang tinggi pada asupan sayuran (Ramadhani & Afifah, 2021).
Sehingga hal ini memungkinkan kasus Fasciolosis kerap terjadi pada perempuan yang mengkonsumsi sayuran tercemar. Hasil yang signifikan juga ditujukan pada kelompok masyarakat yang ekonomi dan pendidikan rendah(Afshan et al., 2020), (Caravedo et al., 2021), (Cabada et al., 2018) .
Status kemiskinan dan pendidikan rendah kerap menjadi lingkaran setan yang berdampak pada turunnya kualitas kesehatan masyarakat(Putriani et al., 2018). Khususnya untuk risiko terinfeksi Fasciolla sp, kelompok masyarakat miskin sering didapati memiliki tempat tinggal yang tidak layak dan cenderung memiliki lebih sedikit akses ke kebersihan air yang aman dan kemungkinan pencemaran lingkungan yang lebih tinggi di sekitar rumah mereka(Quihui et al., 2006).
Sedangkan pendidikan yang rendah membawa dampak pada praktik kesehatan di rumah yang meningkatkan risiko paparan infeksi. Beberapa pola pemukiman dan pekerjaan juga diketahui memiliki hubungan yang signifikan terhadap risiko infeksi Fasciolosis. Dalam temuan saat ini sebagian besar infeksi terjadi pada masyarakat pedesaan(Afshan et al., 2020), (Davoodi et al., 2022).
Memuat dari beberapa penelitian, penduduk pedesaan cenderung memiliki praktik sanitasi yang buruk, kebiasaan mengkonsumsi sayuran mentah dan minum air yang tidak diolah terkontaminasi oleh metaserkaria seperti Fasciolla sp.
Penyakit ini seringkali dinobatkan sebagai penyakit pedesaan yang dikarenakan risiko infeksi manusia dengan penularan penyakit melalui badan perairan yang dihuni oleh vektor siput dan berkorelasi dengan zona peternakan(Cwiklinski et al., 2016).
Sebaliknya di pemukiman perkotaan hanya sedikit berisiko akibat paparan lingkungan, yang biasanya hanya melalui pola konsumsi bahan yang terkontaminan. Disisi lain, jenis pekerjaan seperti petani juga memberi kesempatan bagi Fasciolla sp dalam menginfeksi manusia. Kehidupan bertani yang lebih banyak berinteraksi di lahan memungkinkan dirinya terinfeksi melalui vektor siput yang sudah terinfeksi parasit Fasciolla.
Di sisi lain dari kajian beberapa penelitian yang telah dilakukan bahwa ada dugaan pola makan tertentu pada manusia dapat mengakibatkan terjadinya fasciolosis pada manusia. Sumber utama penularan fasciolosis pada manusia adalah dari kebiasaan masyarakat yang gemar mengkonsumsi tanaman/tumbuhan air seperti selada air dalam keadaan mentah yang tercemar metaserkaria cacing Fasciola sp atau F. Buski (Widjayanti, 2004).
Informasi yang diperoleh dari hasil penelitian menunjukkan bahwa risiko fascioliasis terutama terkait dengan konsumsi selada air. Selada air secara umum dikonsumsi oleh anak-anak yang tinggal di daerah Atlixco secara mentah.
Hasil analisis menunjukkan bahwa, setelah selada air, risiko fascioliasis muncul terkait dengan beberapa sayuran yang biasa dimakan mentah, seperti lobak, selada, jagung dan bayam, sayuran lokal tersebut dapat meningkatkan risiko infeksi ketika dicuci dengan air yang terkontaminasi atau dibudidayakan menggunakan air alami untuk irigasi di tempat-tempat pengumpulan air yang yang telah tercemar metaserkaria.
Upaya pencegahan penularan penyakit fasciolosis pada manusia dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan mengubah kebiasaan pola makan pada masyarakat, seperti tidak mengkonsumsi hati mentah maupun sayuran mentah, serta selalu minum air yang telah direbus terlebih dulu.
Ada penurunan kasus fasciolosis di Spanyol karena masyarakatnya mengubah kebiasaan makan. Kalaupun tetap harus mengkonsumsi sayuran mentah, sebaiknya sayuran tersebut dicuci dahulu dengan larutan garam, larutan cuka atau larutan potassium permanganat sebelum dikonsumsi.
Trematoda adalah cacing yang secara morfologi berbentuk seperti daun, pipih, melebar ke anterior. Mempunyai batil isap mulut dan batil isap perut yang besarnya hampir sama. Fasciola sp terdiri dari pharinx yang letaknya di bawah oral. Cacing jenis ini tidak mempunyai anus dan alat eksresinya berupa sel api. Terdapat sebuah pharinx, namun pharinx tersebut tidak berotot. Terdapat arterium yang letaknya di bawah penis dan esofagus, uterus, vasikula seminalis, ovarium serta ovinduk (Kaiser 2012).
Fasciola gigantica berukuran 25-27 x 3-12 mm, mempunyai pundak sempit, ujung posterior tumpul, ovarium lebih panjang dengan banyak cabang, sedangkan Fasciola hepatica berukuran 35 x 10 mm, mempunyai pundak lebar dan ujung posterior lancip.
Telur Fasciola gigantica memiliki operkulum, dan berukuran 190 x 100 μ, sedangkan telur Fasciola hepatica juga memiliki operkulum, dan berukuran 150 x 90 μ (Baker, 2007). Daur hidup dari telur menjadi mirasidium kemudian keluar mencari keong air.
Dalam keong air menjadi sarkaria, sarkaria keluar dari keong air dan mencari hospes perantara tumbuh-tumbuhan air membentuk kista yang berisi metaserkaria, bila di telan metaserkaria menetas dalam usus halus lalu menembus dinding usus dan bermigrasi menembus hati. Larva masuk ke saluran empedu dan menjadi dewasa. Larva dan cacing dewasa hidup di jaringan parenkim hati (Djuardi dan Ismid 2008).
Klasifikasi Fasciola
Kingdom : Animalia
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Trematoda
Sub kelas : Digenea
Ordo : Echinostomida
Famili : Fasciolidae
Genus : Faciola
Spesies : Fasciola hepatica dan Fasciola giaentica
Cacing dewasa mempunyai bentuk pipih seperti daun, besarnya kurang lebih 30 X 13 mm. Bagian anterior berbentuk seperti kerucut terdapat batil isap mulut yang besarnya kurang lebih 1 mm, sedangkan pada bagian dasar kerucut terdapat batil isap perut yang besarnya kurang lebih 1,6 mm.
Saluran pencernaan bercabang-cabang sampai ke ujung distal sekum. Telur cacing ini berukuran 140 X 90 mikron, di keluarkan melalui saluran empedu ke dalam tinja dalam keadaan belum matang. Telur menjadi matang dalam air setelah 9-15 hari dan berisi mirasidium. Telur kemudian menetas dan mirasium keluar mencari keong air.
Dalam keong air terjadi perkembangan. Sarkia keluar dari keong air dan berenang mencari hospes perantara yaitu tumbuh-tumbuhan air dan pada permukaan tumbuhan air berbentuk kista berisi metasarkia. Bila di telan, metasarkia menetas dalam usus halus.
Binatang yang memakan tumbuhan air tersebut, menembus dinding usus dan bermigrasi dalam ruang peritoneum hingga menembus hati. Larva masuk ke saluran empedu dan menjadi dewasa. Baik larva maupun cacing dewasa hidup dari jaringan parenkim hati dan lapisan sel epitel saluran empedu. Infeksi terjadi dengan memakan tumbuhan air (Djuardi dan Ismid 2008).
Siklus hidup berbagai spesies Fasciola sp umumnya memiliki pola yang sama dengan variasi pada ukuran telur, jenis siput berbagai hospes perantaranya dan panjang waktu yang diperlukan untuk berkembang di dalam hospes tersebut maupun pertumbuhannya dalam hospes definitif (Subronto, 2007). Secara umum siklus hidup Fasciola sp seperti ditunjukkan pada gambar dibawah ini
Telur Fasciola masuk kedalam duodenum bersama empedu dan keluar bersama tinja hospes definitif. Diluar tubuh ternak telur berkembang menjadi mirasidium. Mirasidium kemudian masuk ketubuh siput muda genus lymnaearubiginosa. Didalam tubuh siput mirasidium berkembang menjadi sporokista, redia dan serkaria.
Serkaria akan keluar dari tubuh siput dan bisa berenang pada tempat yang cocok, serkaria akan berubah menjadi metaserkaria yang berbentuk kista. Ternak akan terinfeksi apabila minum air atau makan tanaman yang mengandung kista (Imbang, 2010).
Diagnosis dan pencegahan
Diagnosis di tegakkan dengan menemukan telur dalam tinja (Djuardi dan ismid 2008). Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan memutuskan siklus hidup cacing, yaitu dengan membrantas siklus siput yang hidup di air persawahan dengan cara :
a. Mengeringkan tempat-tempat berair yang tidak diperlukan sehingga siput-siput mati kekeringan
b. Dengan memelihara itik (bebek) di lahan sawah, karena bebek akan memakan siputsiput ditempat.
Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan obat cacing yang diberikan setiap 2 bulan sekali (BPPTP Kalbar, 2006). Pengobatan penyakit ini yaitu Obat yang dapat digunakan untuk mengobati fasciolasis yaitu menggunakan Albendazol, praziquentel (Djuardi dan Ismid, 2012) dan Nitroxinil dengan dosis 10mg, pengobatan ini perlu diulang 8-12 minggu setelah pengobatan pertama.
Pemberian obat cacing berkala minimal 2 kali dalam 1 tahun, pengobatan pertama dilakukan pada akhir musim hujan, sehinga selama musim kemarau ternak dalam kondisi yang baik. Pengobatan kedua dilakukan pada akhir musim kemarau dengan tujuan untuk mengeliminasi cacing muda yang bermigrasi ke dalam parenkim hati (Ditjennak,2012).
Obat cacing yang banyak digunakan pada saat ini yaitu albendazole. Obat cacing albendazole efektif dan efisien untuk mengobati infestasi cacing. Albendazole mempunyai khasiat membunuh cacing, menghancurkan telur dan larva cacing. Efek antelmintik albendazol dengan jalan menghambat pengambilan glukosa oleh cacing sehingga produksi ATP sebagai sumber energi untuk mempertahankan hidup cacing berkurang, hal ini mengakibatkan kematian cacing karena kurangnya energi untuk mempertahankan hidup (P. Junquera, 2014).
Albendazole merupakan salah satu jenis obat cacing yang sering digunakan pada hewan. Setelah pemberian secara oral, lebih dari 45% dari dosis yang diberikan, albendazole akan segera diserap dalam aliran darah. Pada ruminansia penyerapan akan lebih lama karena harus melewati lambung ganda pada ruminansia yang dapat memperlambat absorsi.
Puncak konsentrasi dalam plasma dapat dicapai dalam waktu 15-24 jam. Dalam hati albendazole akan di metabolisme secara cepat menjadi derivat sulfoxide yang bersifat an-thelmintik. Setelah beberapa waktu dalam hati sulfoxide akan dimetabolisme menjadi metabolit sulfon yang tidak mempunyai efek anthelmintik (P. Junquera, 2014).
Albendazole baik digunakan untuk pengobatan fasciolosis dan cacing lain pada sapi, kuda, kambing, babi, rusa dan anjing. Dosis yang dianjurkan untuk sapi 7,5-10 mg/kg berat badan (Rossoff,1994). Meskipun albendazole sampai saat ini masih efektif terhadap Fasciola sp. sehingga masih dapat digunakan di lokasi penelitian, namun penggunaan anthelmintik yang sama secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama patut diwaspadai terhadap potensi terjadinya Resistensi Anthelmintik (RA).
Beberapa faktor yang berperan terhadap terjadinya resistensi obat telah diidentifikasi dan diteliti. Faktor-faktor yang berperan terhadap perkembangan resistensi obat antelmintik yaitu: a) Frekuensi pengobatan yang tinggi. Penelitian Barton (1985) dan Martin et al. (1989) menunjukkan bahwa frekuensi pengobatan yang tinggi menseleksi resistensi lebih kuat dibandingkan dengan frekuensi pengobatan yang kurang.
Dari penelitian tersebut juga terdapat bukti kuat bahwa resistensi obat berkembang lebih cepat pada daerah dimana hewan-hewan diberikan antelmintik secara reguler. Geerts et al., (1990); Burger dan Bauer, (1994) menyatakan bahwa resistensi obat dapat juga terjadi pada frekuensi pengobatan lebih rendah, khususnya ketika obat yang sama diberikan selama bertahun-tahun.
Beberapa peneliti telah melaporkan perkembangan resistensi obat terjadi ketika hanya dua atau tiga kali pengobatan diberikan per tahun. B) Regimen obat tunggal. Seringkali obat tunggal, yang biasanya sangat efektif pada tahun-tahun pertama pengobatan, digunakan secara terus- menerus sampai obat tersebut menjadi kurang efektif.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Geerts et al. (1987) mendapatkan bahwa penggunaan levamisol dalam waktu yang lama pada ternak juga telah memicu perkembangan resistensi, walaupun frekuensi pemberian pengobatan pertahunnya rendah. C) Dosis yang tidak adekuat. Dosis yang tidak adekuat diduga sebagai faktor penting perkembangan resistensi obat, karena dosis dibawah dosis terapi memungkinkan cacing resisten heterozigot tetap bertahan hidup (Smith, 1990).
Daftar Pustaka
1.Endrakasih, Endang. “Efektifitas Albendazole Terhadap Fasciola Sp Pada Peternakan Sapi Potong Rakyat Di Kecamatan Gegerbitung Kabupaten Sukabumi.” Jurnal Agroekoteknologi Dan Agribisnis 2.1Â (2018):Â 1-8.
2.Fitriani, e,, 2015. Prevalensi Fasciolosis Pada Sapi Potong Di Kacamatan Malusetasi Kabupaten Barru. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makasar.
3.Purwono, Edi. “Gambaran Kasus Fasciolosis (Cacing Hati) Pada Sapi Bali Berdasarkan Data Hasil Pemeriksaan Hewan Qurban Di Kabupaten Manokwari Tahun 2018.” Jurnal Triton 10.1Â (2019):Â 69-74.
4.Samarang, s., Widjaja, j., Primasari, p., & Syahnuddin, m. (2022). Fasciolosis Dan Cryptosporidiosis Pada Ternak Sapi Di Desa Maranatha, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Jurnal Vektor Penyakit, 16(2), 145-152.
5.Simarmata, Yohanes Trmr, Lidya Aprilia Tjandring, And Yovita Florida Bria Seran. “Laporan Kasus Faschiolosis Pada Sapi Bali Di Desa Noelbaki, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang.” Jurnal Kajian Veteriner (2019):Â 132-140.
6.Yuskawati, d., Tanjung, l. A., Damayanti, d., Nasution, h., Tanjung, h. Y., Aziza, l., & Simatupang, m. I. (2023). Determinan Infeksius Fasciolosis Pada Manusia. Jurnal Kesehatan Tambusai, 4(3), 2968-2976.
Credit By YSK/Ryn