Oleh: Alfa Juan Afila
Seberapa penting sebuah riset untuk dikomunikasikan kepada khalayak umum?
Dengan merebaknya isu pemanasan global, krisis pangan, dan setumpuk permasalahan lain yang menyangkut kehidupan seluruh penduduk di muka bumi, membuat publik teredukasi dengan baik perihal riset dan penelitian terbaru akan membantu para peneliti untuk bisa mewujudkan hasil riset mereka menjadi tindakan nyata.
Sebuah riset hanya akan menjadi riset jika peneliti tidak mempublikasikannya kepada khalayak umum. Selain melalui penerbitan jurnal, ada beberapa cara penyampaian hasil riset kepada publik. Umumnya, hasil riset ini dipaparkan dalam sebuah lokakarya, atau sebuah kuliah yang dihadiri oleh kalangan akademisi tertentu. Lalu bagaimana dengan masyarakat awam? Apakah mereka berkesempatan untuk mendapatkan pemaparan hasil riset tersebut?
Tentu saja jawabannya iya. Namun, dengan beberapa catatan. Karena pemahaman masyarakat umum terhadap sains berbeda dengan para peneliti, kita tidak bisa mengatakan “ Bapak harus memulai Agrisilvikultur” untuk membujuk seorang warga desa untuk bertani di daerah hutan. Disini dibutuhkan pemaparan yang Down to Earth, untuk bisa memastikan bahwa masyarakat awam memahami apa hasil riset yang telah dilakukan. Jenis pemaparan ini menuntut para peneliti untuk bisa mentransformasikan istilah dan detail detail rumit menjadi sebuah pola pikir yang sederhana.
Salah satu isu yang kerap melibatkan masyarakat awam adalah masalah pangan. Meskipun telah menempati posisi keduabelas sebagai Negara dengan produktivitas padi tertinggi , Indonesia masih memiliki angka GHI (Global Hunger Index) sebesar 21,9 , sehingga masih dikategorikan sebagai Negara dengan tingkat kelaparan yang serius. Penyebabnya beragam, dari mulai kemiskinan hingga ketidakmampuan untuk berswadaya pangan.
Berbagai riset dan penelitian telah dilakukan untuk bisa menyelesaikan permasalahan tersebut. Pemerintah, swasta, akademisi, dan pihak pihak lain saling bekerjasama, mengkaji dan menelaah pertanyaan “bagaimana caranya?” . Diversifikasi dan rekayasa pangan adalah beberapa contoh hasil riset yang telah mampu diaplikasikan.
Namun, pada praktiknya, tidak semuanya dapat berjalan lancar. Beras analog, misalnya. Salah satu rekayasa pangan dari IPB ini tidak cukup sukses di pasaran, sehingga pendistribusian beras jenis ini sangat terbatas. Begitu juga dengan beberapa program diversifikasi pangan yang digagas Kementrian, masih belum bisa mempersuasi masyarakat untuk beralih sumber pangan utama.
Alasan paling umum yang menyebabkan program-program tersebut kurang berhasil adalah tidak terjadi kesamaan paham antara peneliti dan masyarakat umum. Masyarakat Indonesia sangat terbiasa untuk mengkonsumsi nasi yang berasal dari padi, sangat sulit untuk mengubah pola pikir “Belum makan jika belum mengkonsumsi nasi” . Disisi lain, peneliti masih kesulitan menemukan cara yang tepat untuk bisa mengubah, atau setidaknya menggeser, paradigma tersebut.
Lalu, bagaimana jalan keluarnya?
Salah satunya adalah dengan melibatkan masyarakat umum lebih jauh dalam penelitian. Konsep mengkomunikasikan hasil riset dengan bahasa yang Down to Earth bukan sekedar menjelaskan hasil riset dengan bahasa yang mereka pahami, namun juga dengan membuat mereka memahami dan akrab dengan riset yang dilakukan.
Di dalam ilmu Sosial-Ekonomi, terdapat sebuah metode pengembangan masyarakat yang bernama PRA (Participatory Rural Appraisal), atau penilaian pedesaan secara partisipatif. Metode ini, sesuai namanya, menitikberatkan pembangunan kepada partisipasi aktif masyarakat yang dibina. Masyarakat dilibatkan secara aktif dalam setiap proses pemberdayaan, dari mulai identifikasi masalah, pemilihan metode kerja, hingga proses penyelesaian masalah.
Singkatnya, PRA adalah teknik yang memungkinkan masyarakat untuk turut serta dalam membuat tindakan nyata rencana, pengawasan, dan evaluasi kebijakan yang berpengaruh pada kehidupan mereka. PRA bukan hanya terdiri dari riset, melainkan juga perencanaan (partisipatif), monitoring, dan evaluasi. Dengan dilibatkannya masyarakat dalam proses program, program itu akan lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan tingkat kepedulian masyarakat dalam menjalankan program atau kebijkan akan lebih tinggi.
Salah satu teknik PRA yang dapat dipergunakan dalam menyelesaikan isu pangan adalah teknik Focus Group Discussion, atau akrab disebut FGD. Teknik ini dilakukan dengan cara membentuk grup diskusi yang terdiri dari pihak-pihak yang mewakili, seperti tokoh masyarakat, petani, akademisi pangan, dan berbagai pihak lain. Setiap pihak dapat memaparkan ide dan permasalahan masing-masing, sehingga terjadi kesamaan paham antara peneliti dengan masyarakat yang menjadi sasaran penelitian. Hal ini akan berdampak pada tingkat kepercayaan dan kepedulian masyarakat umum terhadap penelitian tersebut.
FGD sendiri bertujuan untuk memperoleh gambaran terhadap suatu masalah dari program tertentu dengan lebih rinci serta melakukan evaluasi terhadap program, sehingga memungkinkan peneliti mampu memetakan dan mencegah resiko kegagalan yang bisa terjadi. Keterlibatan langsung masyarakat dalam riset membuat hasil penelitian lebih bisa diterima dan diaplikasikan oleh khalayak umum.
Optimalisasi FGD dalam riset dan penelitian sangat membantu dalam pemaparan hasil riset dan penelitian. Rasa akrab dengan proses penelitian membuat masyarakat tidak segan untuk berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan kegiatan riset. Sehingga, tidak hanya sekedar penyampaian Down to Earth yang tercapai, peneliti juga telah membuat masyarakat memahami betul tujuan serta benefit yang mereka dapatkan jika mengaplikasikan hasil penelitian dalam kehidupan mereka masing-masing.
Referensi:
[1] Adimihardja, K. &. H. H., 2016. Participatory Research Appraisal : Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Penerbit Humaniora.
[2] Julianto, Pramdia Arhando. 2017. Program Diversifikasi Pangan Masih Banyak Kendala. Diakses dari : https://ekonomi.kompas.com/read/2017/10/25/080000126/program-diversifikasi-pangan-masih-banyak-kendala. Pada 20 Mei 2018
[3] Julianto, Ino. 2017. Dari Padi ke Beras Analog. Diakses dari https://klasika.kompas.id/dari-padi-ke-beras-analog/ . Pada 19 Mei 2018