Pemanfaatan Karagenan Rumput Laut dan Kitosan Sebagai Bahan Pengemas Pangan Aktif Untuk Mengawetkan Tahu

Indonesia merupakan negara penghasil rumput laut nomor 1 di dunia. Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang dikeluarkan […]

blank

Indonesia merupakan negara penghasil rumput laut nomor 1 di dunia. Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang dikeluarkan Maret 2016, mencatat pada tahun 2015 produksi rumput laut jenis E. Cottoni  di Indonesia mencapai 10.335.000 ton basah atau jika dikonversi menjadi 1.033.500 ton kering(menyumbang 43% kebutuhan rumput laut dunia) (Rayanti, 2016). Meskipun demikian, ketua asosiasi rumput laut Indonesia (ARLI) safari aziz meyebutkan bahwa penanganan pasca panen rumput laut di Indonesia belum di imbangi dengan aplikasi teknologi yang memadai (Aprillatu, 2016). Hal ini terlihat dari meningkatnya ekspor rumput laut kering setiap tahunnya. Kementrian perdagangan mencatat nilai ekspor rumput laut pada 2014 mencapai US$135,939 juta, naik sebesar 41% menjadi US$191,674 juta pada periode 2015 (Selvanda, 2016) yang mengakibatkan nilai tambah dari komoditi tersebut belum diperoleh dengan optimal. Rumput laut dapat diekstrak menjadi karagenan.

Salah satu cara untuk meningkatkan nilai tambah suatu produk ialah dengan melakukan pengolahan. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor PER.27/MEN/2012 menginstruksikan perlunya pengolahan dan industrialisasi rumput laut untuk meningkatkan volume dan nilai produksi (Hikmah, 2016). Dengan adanya pengolahan diharapkan diversifikasi dari produk rumput laut dapat terjadi. Salah satu bentuk olahan rumput laut ialah karagenan yang dapat digunakan sebagai bahan baku produk pangan, farmasi, obat-obatan, dan bioteknologi. Karagenan termasuk polimer alami yang bersifat thermoreversible dan mempunyai kemampuan untuk membentuk gel, dan meningkatkan kekentalan larutan, sehingga banyak dimanfaatkan sebagai stabilizer, dan emulsifying agent pada berbagai produk pangan (Webber et.al.,2016). Komponen ini cocok dikombinasikan dengan kitosan.

Kitosan adalah biopolimer D-glukosamin yang dihasilkan dari proses deasetilasi kitin yang bersifat antimikroba (Victor, 2016). Sifat antimikroba dari kitosan (Mollah et.,al, 2016) berpotensi untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan kemasan aktif. Kemasan aktif merupakan kemasan interaktif, karena ada interaksi aktif dari bahan kemasan dengan bahan pangan yang dikemas (Brody et al. 1997; Vermeiren et al. 1999) sehingga dapat meningkatkan masa simpan produk. Kemasan aktif dibuat dari kombinasi bahan yang mengandung karbohidrat tinggi dengan bahan yang mempunyai sifat antimikroba yang cukup baik, salah satunya adalah karagenan dan kitosan. Karagenan dan kitosan berpotensi untuk dikembangkan sebagai pengemas aktif, selain tinggi karbohidrat juga persediaannya yang melimpah di alam (Pratiwi, 2016). Permasalahan yang timbul ialah belum diketahui kondisi optimum pembuatan kemasan aktif dari karagenan dan kitosan yang dapat memperpanjang masa simpan produk pangan salah satunya tahu.

Produk pangan tradisional yang cukup populer di Indonesia ialah tahu. Menurut SNI 01-3142-1998, tahu merupakan produk makanan yang berupa padatan lunak yang dibuat melalui pengolahan kedelai (Glycine sp.) dengan cara pengendapkan protein baik menggunakan penambahan bahan pengendap organik maupun anorganik yang diizinkan (Rahayu, 2015). Tahu banyak digemari oleh semua kalangan masyarakat, selain harganya yang murah juga tinggi kandungan protein. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian (2016), mengeluarkan data konsumsi berbagai produk olahan kedelai diantaranya tahu pada tahun 2014-2016 dengan pertumbuhan rata-rata 0,09 per tahun. Dengan permintaan tahu yang cukup besar, berkorelasi pada peningkatan produksinya. Akan tetapi, karakteristik tahu yang mudah rusak menyebabkan banyaknya penggunaan pengawet non-pangan untuk memperpanjang masa simpannya.

Bahan pengawet yang digunakan oleh industri tahu di Indonesia pada umumnya tidak terbatas pada jenis bahan pengawet yang dizinkan, tetapi beberapa diantaranya menambahkan formalin dan Methanyl yellow (Veronica, 2015). Menurut peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1168/Menkes/PER/1999, formalin dan methanyl yellow merupakan jenis bahan pengawet yang dilarang penggunaanya untuk makanan. Penelitian Tresniani (2015) di Tangerang menunjukkan terdapat 20 industri tahu yang menggunakan formalin dan Methanyl yellow dengan konsentrasi 666 ppm dan 10,25 ppm. Menteri Kesehatan (2016) menyatakan bahwa kandungan formalin tidak dapat ditoleransi dalam tubuh, dikarenakan dapat mengakibatkan penyakit degeneratif seperti kanker. Berdasarkan permasalahan tersebut, diperlukan suatu pengawet alami (kitosan) yang dapat memperpanjang masa simpan tahu tanpa menyebabkan gangguan terhadap tubuh. Solusi yang paling rasional ialah menggunakan pengemas pangan aktif yang berasal dari kombinasi karagenan rumput laut dengan kitosan.

Ditulis Oleh: Wahyu Andika

Editor: Nur Abdillah Siddiq

Daftar Pustaka

  1. Aprillatu, P. D. 2016. Indonesia dinilai jadi penghasil rumput laut terbesar di dunia. https://www.merdeka.com/uang/indonesia-dinilai-jadi-penghasil-rumput-laut-terbesar-di-dunia.html. Diakses pada 20 Mei 2018.
  2. Brody Al, Strupinsky EK, Kline LR. 1997. Active Packaging for Food Application. London (GB): CRC Press, hlm. 1-
  3. Hikmah dan S. Rukmana. 2016. Peningkatan sifat organoleptik produk tahu dengan penambahan senyawa antimikroba (teh). Jurnal teknologi pertanian 2016, 2(2):12-18.
  4. Kementrian Kelautan Dan Perikanan. Mewujudkan kedaulatan rumput laut nasional . http:// www.djpb.kkp.go.id/index.php/arsip/c/272/MEWUJUDKAN-KEDAULATAN-RUMPUT-LAUT-NASIONAL/?category_id=13. Diakses pada 20 Mei 2018.
  5. M.Z.I Dan S. Sultana. 2016. Biodegradable Coloir Polymeric Film (Starch-Chitosan) Development: Characterization For Packaging Materials. Open Journal Of Organic Polymer Materials, 2016 6, 11-24.
  6. Pavlah A.T., Orts W. 2009. Edible film & coating: why, what & how?. Di dalam: Embuscado ME, Huber KC (ed). Edible Film and Coating for Food Application. London (GB): Springer hlm. 25.
  7. 2015. Pengembangan kemasan antimiroba berbahan alami untuk memperpanjang umur simpan produk. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
  8. Rayanti, D. 2016. NTT Produsen Rumput Laut Terbesar RI, Paling Banyak Diekspor ke China. http://finance.detik.com/industri/d-3144702/ntt-produsen-rumput-laut-terbesar-ri-paling-banyak-diekspor-ke-china. Diakses pada 20 Mei 2018.
  9. 2016. Peningkatan ekspor rumput laut Indonesia. http://Republika.com/10.1155/2014/248935. Diakses pada 20 Mei 2018.
  10. Vermeiren L, Devlieghere F, van Beest M, de Kruijf N, Debevere J. 1999. Development in the active packaging of foods. Trend in Food Science & Tenchonogy. 10(1): 77-
  11. Victor, S, M. 2016. Pemanfaatan Kitosan Dari Limbah Cangkang Bekicot (Achatinafulica) Sebagai Adsorben Logam Berat Seng (Zn). Konversi Vol 5. No 1. April 2016.
  12. Webber and zolsky. 2016. Active packaging based chitosan material. Open journal of polymeric 2016, 1, 11-24.

1 komentar untuk “Pemanfaatan Karagenan Rumput Laut dan Kitosan Sebagai Bahan Pengemas Pangan Aktif Untuk Mengawetkan Tahu”

  1. blank
    Desi Aditia Mahardika

    Format penulisan sudah cukup baik, akan tetapi lebih memperhatikan bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan kaidah ejaan yang disempurnakan. Kata hubung pada daftar pustaka sebaiknya menggunakan huruf kecil seperti kata “dan”.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Yuk Gabung di Komunitas Warung Sains Teknologi!

Ingin terus meningkatkan wawasan Anda terkait perkembangan dunia Sains dan Teknologi? Gabung dengan saluran WhatsApp Warung Sains Teknologi!

Yuk Gabung!

Di saluran tersebut, Anda akan mendapatkan update terkini Sains dan Teknologi, webinar bermanfaat terkait Sains dan Teknologi, dan berbagai informasi menarik lainnya.