Eksperimen untuk Mengetahui Penyebab Kantuk Saat Mengemudi Mobil

Salah satu penyebab utama kecelakaan lalu lintas adalah rasa kantuk yang dialami oleh pengemudi. Mengendarai kendaraan bermotor membutuhkan beban kerja […]

Salah satu penyebab utama kecelakaan lalu lintas adalah rasa kantuk yang dialami oleh pengemudi. Mengendarai kendaraan bermotor membutuhkan beban kerja mental dan perhatian yang konstan. Sebuah paper yang terbit di jurnal Ergonomic pada 17 Juli 2018 menyatakan bahwa penyebab penting dari pengendara yang mengantuk adalah getaran di seluruh tubuh.

Getaran di seluruh tubuh dengan frekuensi sekitar 5 Hz telah terbukti memengaruhi denyut jantung, tekanan darah, dan pernapasan untuk meningkatkan tingkat kelelahan dan kurangnya perhatian. Ketika berkendara, tingkat beban kerja mental yang dibutuhkan akan bergantung pada keterampilan, perilaku, dan persepsi pengendara. Penelitian ini dilakukan menggunakan simulator dengan pertimbangan experimental control, efisiensi, biaya yang rendah, keamanan, dan kemudahan data dengan metode Heart Rate Variability (HRV) sebagai ukuran kuantitatif yang obyektif dan Karolinska Sleepiness Scale (KSS) sebagai ukuran subyektif kantuk.

Peserta yang mengikuti penelitian ini berjumlah 15 mahasiswa. Rata-rata usia mereka 24,74 ± 3,77 tahun untuk 4 mahasiswi dan 22,91 ± 2,17 tahun untuk 4 mahasiswa. Lima beras orang tersebut berada dalam kondisi sehat, tidur teratur (minimal 7 jam per malam selama 5 malam sebelum uji coba), dan bebas dari alkohol, kafein, dan obat penenang selama 24 jam sebelum penelitian dimulai.

Gambar 2. Diagram skematis dari pengaturan eksperimen di laboratorium.

Perangkat lunak simulasi menampilkan pemandangan jalan raya lurus dua arah dengan dua jalur di setiap arah untuk menciptakan kondisi mengemudi di jalan raya yang monoton pada monitor. Kondisi eksperimen diciptakan sedekat mungkin dengan kondisi mengemudi asli. Eksperimen dilakukan pada malam hari (antara jam 10:00 malam dan 2:00 pagi) untuk meningkatkan kemungkinan rasa kantuk pengemudi dan dilakukan pada ruangan dengan suhu 24°C dengan pencahayaan rendah. Peserta diminta mengatur postur tubuh yang nyaman saat mengemudi dan memakai sarung telinga untuk menghilangkan kebisingan lingkungan.

Tugas mengemudi di jalan raya dengan lingkungan monoton dan kecepatan konstan dirancang untuk:

  1. Mempertahankan posisi tetap di jalur kiri selama seluruh tes.
  2. Kecepatan konstan (160 km/jam) ditetapkan selama seluruh tes.

Ada dua alasan utama dalam pemilihan kecepatan tinggi ini untuk eksperimen. Pertama, dalam uji awal, peningkatan kecepatan dari 100 km/jam menjadi 160 km/jam meningkatkan beban kerja pengemudi dan memungkinkan untuk menginduksi rasa kantuk dalam berkendara di bawah kondisi laboratorium dalam jangka waktu yang wajar. Kedua, tugas mengemudi berkecepatan tinggi ini meningkatkan konsentrasi peserta saat mengemudi dan memungkinkan untuk memaksimalkan konsentrasi pengemudi yang diketahui terganggu di bawah kondisi jalan monoton. Data HRV direkam melalui aplikasi Smartphone menggunakan Bluetooth. Kondisi ‘getaran’ dan ‘kontrol’ dilakukan pada dua hari terpisah dan diacak antara peserta dalam lingkungan yang sama.

Gambar 3. Nilai KSS untuk 15 peserta sebelum dan sesudah uji mengemudi.

Perbandingan nilai rata-rata KSS antara uji getaran dan kontrol menunjukkan bahwa getaran memiliki pengaruh signifikan pada rasa kantuk. Untuk kondisi getaran, nilai rata-rata KSS sebelum uji coba adalah 5,06 ± 0,27 (mean ± SEM). Setelah 60 menit, nilai rata-rata KSS meningkat  secara signifikan (p < 0,0001) menjadi 7,67 ± 0,29 (mean ± SEM). Untuk uji kontrol, nilai rata-rata KSS meningkat dari 5,13 ± 0,26 (mean ± SEM) menjadi 5,87 ± 0,32 (mean ± SEM).

Standard Error of Mean (SEM) dihitung untuk kesalahan yang dimasukkan. Two-tailed paired t-test digunakan untuk menilai signifikansi statistik (p < 0,05). Fitur frekuensi-domain dari data HRV dihitung dari Power Spectral Density (PSD) yang didapat dengan menggunakan periodogram Welch, dimana:

  1. LF=Rentang frekuensi rendah (0,04-0,15 Hz) dalam PSD mencerminkan aktivitas simpatik dan parasimpatik dari sistem saraf otonom.
  2. HF=Rentang frekuensi tinggi (0,15-0,4 Hz) dalam PSD hanya mencerminkan aktivitas parasimpatik.
  3. LF/HF=Rasio LF ke HF menunjukkan keseimbangan antara aktivitas simpatik dan parasimpatik.
Gambar 4. Perbandingan rasio LF/HF kondisi getaran dengan kondisi kontrol.
Gambar 4.1. Perbandingan rasio LF/HF kondisi getaran dengan kondisi kontrol.
Gambar 4.2. Perbandingan rasio LF/HF kondisi getaran dengan kondisi kontrol.

Grafik LF/HF kondisi getaran memiliki kenaikan tajam dan poin lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi kontrol. Kenaikan rasio LF/HF menunjukkan pergeseran keseimbangan aktivitas simpatetik dan parasimpatik. Tahap pertama menggunakan frekuensi 4-7 Hz untuk menilai dampak getaran terhadap kantuk. Selain itu, frekuensi tersebut sesuai dengan frekuensi gelombang otak theta yang berhubungan dengan rasa kantuk.

Penelitian ini menemukan perubahan karakteristik dalam domain HRV yang mengindikasikan semakin meningkatnya upaya neurologis dalam menjaga kewaspadaan sebagai respons terhadap getaran. Perubahan ini dapat dideteksi dalam 30 menit di bawah kondisi eksperimental ini yang melibatkan mengemudi dengan kecepatan tinggi yang konstan. Temuan HRV dikuatkan oleh perubahan KSS yang menunjukkan peningkatan kantuk subyektif dalam menanggapi paparan getaran frekuensi rendah seluruh tubuh. Temuan-temuan ini cenderung memiliki implikasi yang signifikan untuk keselamatan jalan dan desain kendaraan.

HRV merupakan indikator kantuk yang ditunjukkan tubuh dengan mengubah sistem saraf pusat karena rasa lelah. Monitor HRV menunjukkan, rasa kantuk sudah mulai muncul saat menit ke-15 sejak getaran halus muncul, dan puncaknya ada di menit ke-30. Setelah itu semua peserta terus merasa mengantuk sampai tes selesai. Para ahli menduga, hal ini terjadi karena otak tersinkronisasi dengan getaran dan memasuki tahap tidur awal. Sayangnya, studi ini masih memiliki keterbatasan karena hanya melibatkan 15 peserta dan frekuansi getarannya masih sangat terbatas.

“Kami juga ingin meneliti apakah getaran mobil yang membuat kantuk juga dipengaruhi sejumlah faktor, misalnya usia dan masalah kesehatan seperti apnea tidur,” imbuh rekan peneliti Mohammad Fard dari sekolah teknik di RMIT dilansir dari Medical Daily, Senin (9/7/2018).

Meski getaran lembut membuat mengantuk dan sangat mungkin menimbulkan kecelakaan, namun tidak selamanya getaran saat berkendara buruk. Robinson berkata, getaran pada frekuensi tertentu justru membuat seseorang lebih waspada dan tetap terjaga. “Penelitian kami menunjukkan getaran pada beberapa frekuensi justru memiliki efek berlawanan dan membantu membuat orang tetap terjaga,” kata Robinson. Robinson menilai, dengan mengubah desain kursi mobil mungkin bisa jadi solusi untuk mencegah kecelakaan akibat rasa lelah atau mengantuk. “Jadi kami akan menguji rentang frekuensi yang lebih luas untuk membantu menciptakan desain kursi mobil yang berpotensi memberi “getaran baik” itu,” ungkapnya. Tim ini juga berharap ada studi lebih lanjut dengan peserta dan rentang frekuensi yang lebih banyak untuk menguatkan temuannya.

Referensi:

  • Zhang, et al. 2018. The effects of physical vibration on heart rate variability as a measure of drowsiness, Ergonomics. Diakses pada Rabu, 1 Agustus 2018 melalui https://tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00140139.2018.1482373
  • Tarvainen, Mika P., et al. Januari 2014. “Kubios HRV – Heart Rate Variability Analysis Software.” Computer Methods and Programs in Biomedicine Volume 113 (hlm. 210-220). https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0169260713002599?via%3Dihub
  • Mudah Mengantuk Saat Naik Mobil? Begini Penjelasan Sains. https://sains.kompas.com/read/2018/07/09/183200123/mudah-mengantuk-saat-naik-mobil-begini-penjelasan-sains?page=all.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *