
Tim ilmuwan dan pelestari lingkungan dari Australia telah mengumumkan penemuan lebah raksasa Wallace, lebah terbesar di dunia yang tidak pernah ditemukan lagi sejak tahun 1981 (38 tahun yang lalu) di hutan hujan salah satu pulau di Maluku Utara, Indonesia pada akhir Februari 2019 [1]. Karena tidak pernah ditemukan, sempat dikira bahwa lebah tersebut telah punah.
Lebah raksasa Wallace adalah salah satu dari 456 jenis lebah yang dapat ditemukan di Indonesia dan hanya ditemukan di sejumlah pulau di Maluku Utara. Lebah raksasa Wallace masuk dalam kategori rentan punah dalam daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN).
Lebah raksasa Wallace yang memiliki nama ilmiah (Megachile pluto) itu dinamai setelah Alfred Russel Wallace, ahli entomologi (ilmu yang mempelajari serangga) Inggris yang merupakan ilmuwan legendaris yang pernah menemukan teori evolusi bersama Charles Darwin.
Wallace menemukan lebah tersebut saat menjelajahi Pulau Bacan di Indonesia dan menjadikannya koleksi pada tahun 1859, lebah tersebut berjenis betina yang kira-kira ukurannya sebesar ibu jari manusia. Lebah itu terlihat seperti serangga besar mirip tawon hitam, dengan rahang yang sangat besar seperti kumbang rusa. Dua tahun setelah penemuannya, yaitu pada tahun 1861, lebah tersebut baru dideskripsikan oleh ahli serangga lainnya, Frederick Smith yang juga merupakan teman Wallace.

Namun, meski ukurannya besar dan mencolok. Lebah raksasa tersebut tercatat ditemukan terakhir kali pada tahun 1981, tapi setelah itu lebah raksasa Wallace tidak pernah ditemukan lagi dan dianggap sudah punah. Hingga kemudian tim peneliti Internasional yang memulai pencarian pada bulan Januari 2019 berhasil menemukannya.
Tim peneliti tersebut bertujuan untuk mencari dan mendokumentasikan spesies yang hilang dan mereka menemukan lebah raksasa Wallace tersebut yang memang merupakan salah satu spesies yang menjadi tujuan pencarian mereka. Penemuan tersebut menurut para peneliti dapat menjadi simbol konservasi di negara yang diapit dua benua tersebut.
Menurut para peneliti, penemuan tersebut membangkitkan harapan bahwa ada lebih banyak hutan di Indonesia yang masih menyimpan spesies sangat langka. Laporan dan deskripsi penemuan tersebut telah dipublikasikan pada 22 Februari 2019 di laman sydney.edu.au, situs resmi University of Sidney yang memimpin tim ilmuwan dan pelestari internasional tersebut. Penemuan tersebut merupakan upaya konservasi spesies yang hilang yang dulunya pernah ditemukan dan telah dideskripsikan serta mendapatkan publikasi ilmiah.
Seorang anggota tim, Profesor Kehormatan Simon Robson dari Fakultas Ilmu Kehidupan dan Lingkungan di Universitas Sydney mengatakan bahwa penemuan tersebut adalah penemuan luar biasa. Hal ini dikarenakan sangat sulit untuk bisa menemukan spesies ikonik seperti lebah raksasa Wallace yang masih bertahan di tengah pemanasan global saat ini. Bukan rahasia umum bahwa pemanasan global sangat mempengaruhi dan mengurangi keanekaragaman serangga.
Clay Bolt, seorang fotografer sejarah alam yang memiliki spesialisasi foto lebah yang merupakan bagian dari tim ilmuwan tersebut menilai penemuan tersebut sangat menakjubkan. “Sungguh menakjubkan melihat ‘bulldog terbang’ serangga yang kami tidak yakini sebelum tidak ada sekarang ada lagi,” katanya.

Dalam laporan tersebut, dideskripsikan bagaimana lebah raksasa betina membuat sarangnya di gundukan rayap arboreal aktif (kawasan pepohonan). Lebah Wallace memiliki perilaku sangat unik, lebah betinanya menggunakan resin dari tanaman seperti Anisoptera thurifera untuk membuat sarang di dalam sarang rayap Microcerotermes amboinensis menggunakan mandibula (tulang rahang bawah) besarnya untuk mengumpulkan resin pohon lengket untuk melapisi sarangnya dan melindunginya dari serangan rayap. Dalam kondisi panas dan lembab, dan kadang-kadang selama hujan deras, tim mengamati puluhan gundukan rayap selama pencarian.

Baru pada hari terakhir pemberhentian lima hari di area penelitian, tim menemukan seekor betina raksasa Wallace yang hidup di sarang rayap arboreal di pohon sekitar 2,5 meter dari tanah. Dengan penemuan tersebut, tim peneliti kemudian berkoordinasi dengan kolaborator Indonesia untuk mulai lagi mencari lebah raksasa Wallace di lokasi lain. Dalam menjalankan misinya, tim tersebut didanai oleh Global Wildlife Conservation dalam program “Pencarian Spesies yang Hilang” atau Search for Lost Species.
Sementara itu, Rosichon Ubaidillah, ahli entomologi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan bahwa penemuan tersebut sangat penting untuk dunia konservasi Indonesia dan ia mengusulkan kepada LIPI sebagai scientific authority dan Kementerian LHK untuk segera mengambil tindakan.
Menurutnya, lebah Wallace itu endemik, hanya dapat ditemukan di kawasan Maluku Utara. Karena sangat langka, lebah Wallace sering diburu untuk dijual dengan harga tinggi. Oleh karena itu, serangga langka itu harus dilindungi karena keberadaanya sangat sedikit, rentan dan terancam punah.
Disisi lain, seharusnya penemuan ini juga dapat menjadi contoh bagi para peneliti dan penggiat konservasi di tanah air untuk ikut berbuat, karena selama ini ada banyak penemuan spesies di Indonesia justru dilakukan oleh peneliti dari luar negeri.
Referensi
[1] The University of Sydney. 2019. World’s biggest bee found. Diakses dari https://sydney.edu.au/news-opinion/news/2019/02/22/world-s-biggest-bee-found.html pada 27 Februari 2019
[2] Tempo.co. 2019. Lebah Raksasa Wallace Ditemukan Lagi, Sempat Dikira Punah. Diakses dari https://tekno.tempo.co/read/1178949/lebah-raksasa-wallace-ditemukan-lagi-sempat-dikira-punah/full&view=ok pada 27 Februari 2019
[3] Kuhlmann, M. 2014. Megachile pluto. The IUCN Red List of Threatened Species 2014: e.T4410A21426160. DOI: dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2014-1.RLTS.T4410A21426160.en