Oleh: Abraham Kevin Prasetyo Sasongko
Steve Jobs, seorang tokoh visioner dalam bidang teknologi infomasi sekaligus founder perusahaan teknologi raksasa Apple pernah memprediksi beberapa fenomena yang akan terjadi di masa depan. Seperti yang dilansir dari techno.okezone.com, tiga puluh tahun yang lalu ia memprediksi bahwa komputer yang ada di masa depan mampu digunakan untuk melakukan komunikasi nasional. Ia juga dalam salah satu pidatonya tahun 1983 pernah menyampaikan bahwa nantinya manusia tidak perlu bertatap secara langsung untuk melakukan komunikasi. Kedua prediksi Steve Jobs tersebut telah dan sedang terjadi saat ini dengan kehadiran teknologi internet pada komputer, yang tidak hanya mampu melakukan komunikasi nasional, namun juga internasional. Selain itu, dengan berkembangnya internet, platform-platform komunikasi yang berbasis jaringan internet banyak bermunculan, baik yang bersifat komunikasi personal (WhatssApp, LINE, Telegram, dsb) maupun komunikasi sosial yang lebih luas atau biasa disebut media sosial (medsos) seperti Instagram, Facebook, Twitter, LinkedIn, yang memungkinkan orang untuk berinteraksi dan berkomunikasi tanpa bertemu secara langsung dengan orang lain.
Dunia saat ini benar-benar telah memasuki era baru, yakni era teknologi informasi digital. Sebuah era dimana sumber-sumber informasi marak bermunculan terutama dalam dunia media sosial. Menurut Shu Kai, et al. (2017)[1] ada dua alasan utama mengapa manusia gemar mencari informasi melalui media sosial: (1) media sosial cenderung memakan waktu, biaya, dan tenaga lebih sedikit bagi seseorang untuk mencari informasi, (2) lebih mudah bagi seseorang untuk memberi komentar, kritik, dan menyebarkan berita yang ia baca kepada pembaca lainnya.
Kemudahan manusia dalam menjangkau arus informasi dalam media sosial seharusnya memberi dampak positif seperti peningkatan intelektualitas, efisiensi dan efektifitas kerja, serta peningktan sisi humanistik manusia. Namun sayangnya, arus informasi yang sangat deras belum diimbangi dengan adanya teknologi dalam media sosial yang secara efektif mampu menyaring segala bentuk berita yang tidak sahih, yang berpotensi menyebabkan terjadinya disinformasi ditengah masyarakat yang bisa berujung pada munculnya gejolak sosial.
Keberadaan berita-berita yang tidak sahih yang kita kenal dengan hoaks (hoaxes) bukanlah hal baru. Menurut Lynda Walsh penulis dari buku Sins Against Science, mengungkapkan bahwa istilah hoax diperkirakan sudah muncul sejak zaman revolusi industri di Inggris tahun 1808. Sejarah juga mencatat ada banyak hoaks yang terjadi dari masa ke masa. Salah satunya tentang berita seorang astronom bernama Sir John Herschel. Seperti yang dilansir dari businessinsider.com Sir John Herschel menganggap bahwa ia telah menemukan “kehidupan” di bulan pada tahun 1853 melalui percobaan astronomis matematis (mathematical astronomy) yang ia lakukan. Namun keyataanya, teori kehidupan tersebut tidak bisa dibuktikan secara penuh olehnya dan akhirnya terpatahkan.
Media sosial dan hoaks saat ini telah menjadi seperti dua sisi mata koin, yang tidak bisa dipisahkan. Secara logika, semakin banyak pengguna media sosial dalam suatu negara, maka berpotensi pula mempermudah penyebaran hoaks dalam negara tersebut.
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII)[2] merilis data tahun 2017, sebanyak 143,26 juta dari 262 juta atau 54,68 % dari total penduduk Indonesia, merupakan pengguna internet. Persentase penggunaan internet terbesar oleh masyarakat Indonesia adalah untuk melakukan chatting (89,35%) dan diikuti kegiatan bermedia sosial (87,13%). Durasi penggunaan internet di Indonesia juga tergolong tinggi. Sebanyak 43,89% menggunakan internet 1-3 jam per hari, setiap hari. Melalui data-data tersebut bisa kita simpulkan bahwa penggunaan internet di Indonesia tergolong cukup tinggi, dan semakin menandaskan betapa internet sudah melekat dalam kehidupan sehari-hari manusia Indonesia.
Keadaan ini sangat berpotensi mempermudah penyebaran hoaks melalui internet secara spesifik media sosial, dan terbukti melalui data Kominfo yang rilis tahun 2017, diperkirakan ada 800.000 situs di Indonesia yang terindikasi menyebarkan hoaks. Apabila kita berasumsi tiap situs tersebut memproduksi satu berita hoaks setiap hari, maka ada 800.000 berita hoaks tiap hari di tengah media sosial masyarakat Indonesia, yang siap disebar diantara 143 juta pengguna internet Indonesia. Hasilnya dalam satu minggu akan ada 5.600.000 berita hoaks yang tersebar diantara 143 juta pengguna internet di Indonesia.
Sains sebenarnya memiliki penjelasan mengapa fenomena hoaks bisa terjadi di tengah masyarakat meskipun hoaks sendiri belum memiliki definisi yang tetap. Menurut Shu Kai, et al. (2017) [1], hoaks atau false news memiliki arti sebagai berita yang sengaja dibuat salah dan terbukti memang salah. Menurut kamus Meriam-Webster dalam Rahadi (2017)[3] mendefinisikan hoaks sebagai usaha untuk menipu atau mengakali pembaca/pendengarnya untuk mempercayai sesuatu dimana sang pencipta berita tersebut tahu bahwa berita yang ia sampaikan palsu. Terdapat benang merah yang dapat ditarik dari kedua definisi di atas yakni berita hoaks memang sengaja untuk diproduksi dan disebarkan dengan tujuan tertentu. Menurut Rahadi (2017)[3] ada beberapa tujuan diproduksinya hoaks:
- Bahan bercanda/lelucon
- Membentuk/menggiring opini publik terhadap kasus atau peristiwa tertentu
- Menjatuhkan lawan seperti melalui ujaran kebencian
- Mengajak publik untuk melakukan tindakan tertentu yang belum jelas dalilnya
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, keberadaan media sosial selain mempermudah komunikasi juga diikuti dengan mudahnya penyebaran hoaks. Ilmu sosiologi memandang fenomena hoaks melalui media sosial sebagai kemunduran moral yang dapat membahayakan peradaban khususnya bagi masa depan generasi muda (Juliswara,2017)[4]. Sedangkan ilmu psikologi menganggap fenomena hoaks lebih pada konsekuensi logis akibat terlalu banyaknya informasi yang beredar namun tidak diimbangi dengan kemampuan kognitif si penerima informasi seperti yang ditulis oleh Laura Lauzen Collins dalam presentasinya bertajuk The Psychology of Fake News. Laura menjelaskan dalam kondisi ketidakseimbangan tersebut mengakibatkan manusia cenderung memproses informasi dengan mengikuti alur Peripheral processing dimana manusia akan berpikir seacara automatis, mendasarkan pada intusisi dan pola – pola yang ia ketahui (pattern-based).
Pernytaan Lauren tersebut didukung oleh Baum et al (2017)[5] yang menyatakan bahawa sebenarnya sensitivitas kita dalam penerimaan kurang bergantung pada rasionalitas pribadi, melainkan pada narasi-narasi heuristik yang timbul dan tersebar dalam kelompok kita. Shu Kai, et al. (2017)[1] menambahkan bahwa memang pada dasarnya manusia susah untuk membedakan berita palsu dengan berita benar. Hal tersebut telah dituangkan dalam beberapa teori psikologi, yakni teori (1) Naiive realism dan (2) Confirmation Bias. Teori pertama yakni teori Naiive realism menjelaskan bahwa manusia cenderung hanya mempercayai keyakinan yang dianutnya, dan menganggap keyakinan orang lain sebagai suatu Bias. Teori kedua yakni teori Confirmation Bias menjelaskan bahwa manusia cenderung hanya menerima informasi yang sesuai dengan pandangannya. Kesimpulannya, memang ditinjau dari segi ilmu psikologi, manusia memiliki apa yang disebut individual vulnerability atau kerentanan individu.
Kondisi ini bukan berarti bahwa tidak ada langkah untuk membendung hoaks bagi kita manusia. Teknologi juga senantiasa berkembang untuk membendung berita-berita palsu. Salah satu teknologi yang sudah dikembangkan oleh putra-putri Indonesia adalah Hoax Analyzer. Software ini dibuat oleh sekelompok putra-putri Indonesia terdiri atas Adinda Putra (Adi), Feryandi Nurdiantoro (Fery), dan Tifani Warnita (Tifa). Ketiganya merupakan mahasiswa ITB yang telah mengharumkan nama Indonesia di ajang Imagine Cup yang diselenggarakan oleh Microsoft di Manila tahun 2017. Dalam kejuaraan tersebut mereka bertiga berhasil menyabet juara pertama.
Gagasan pembuatan software ini berangkat dari peristiwa Pilkada Jakarta tahun 2016 dimana pada saat tersebut banyak sekali berita hoaks yang tersebar melalui media sosial. Cara kerja dari software ini secara sederhana yakni dengan mengkonfirmasi pernyataan yang berupa kalimat melaui mesin pencari. Mesin pencari kemudian akan mencari kesesuaian kalimat yang diunggah pengguna dengan kalimat yang ada di website-website yang menjadi rujukan Kominfo, untuk memastikan kebenaran konten acuan, sehingga akurasi kebenaran beritanya bisa meningkat.
Adapun diagram cara kerja nya adalah sebagai berikut:
Meskipun saat ini software tersebut masih dalam tahap pengembangan sehingga memiliki banyak kekurangan, namun menurut mereka proyek ini akan digarap secara serius karena sudah didukung oleh Kominfo dan pihak Kepolisian Indonesia seperti yang dikutip dari laman cnnindonesia[6]. Salah satu kelemahan yang paling fundamental dari software ini adalah perannya yang belum sebagai pengecek fakta yang independen dan masih sangat bergantung pada media lain yang menjadi rujukan. Oleh sebab itu meskipun teknologi ini sangat potensial, namun sangat dianjurkan bagi kita untuk tetap memiliki pemikiran yang kritis terhadap berita-berita yang ada di media sosial.
Kesimpulannya, teknologi ini sangat berpotensi untuk disebarluaskan di kalangan pengguna media sosial di Indonesia, karena teknologi ini sangat sederhana dan mudah diedukasi kepada masyarakat. Selain itu, teknologi ini merupakan karya anak bangsa yang wajib kita dukung.
DAFTAR REFERENSI
- Shu K., A. Silva, S. Wang, J. Tang, H. Liu. Fake News Detection on Social Media: A Data Mining Perspective. ACM SIGKDD Exploration Newsletter, 2017 19 (1), 22-36
- Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia. Infografis Penetrasi & Perilaku Pengguna Internet Indonesia 2017.
- Rahadi, D.R. 2017. Perilaku Pengguna dan Informasi Hoax di Media Sosial. J. Manajemen dan Kewirausahaan. 5 (1): 58-70
- Juliaswara, Vibriza. 2017. Mengembangkan Model Literasi Media yang Berkebhinnekaan dalam Menganalisis Informasi Berita Palsu (Hoax) di Media Sosial. J. Pemikiran Sosiologi. 4 (2): 142-164
- Baum, M., D. Lazer, N. Mele. 2017. Combating Fake News: An Agenda for Research and Action. Conference on Fake News on Feb 17-18 2017 Harvard University
- Bintoro, A. 2017. Kegelisahan Mahasiswa Bandung Berbuah Aplikasi Anti-Hoax. https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20170426111022-185-210180/kegelisahan-mahasiswa-bandung-berbuah-aplikasi-anti-hoax diakses pada tanggal 17 Mei 2018.
Warung Sains Teknologi (Warstek) adalah media SAINS POPULER yang dibuat untuk seluruh masyarakat Indonesia baik kalangan akademisi, masyarakat sipil, atau industri.