Jembatan darat Bering, yang pernah menghubungkan Siberia dan Alaska selama Zaman Es, ternyata lebih menyerupai kawasan rawa dibandingkan jalur kering yang datar, menurut penelitian terbaru. Temuan ini memberikan wawasan baru yang menjelaskan mengapa beberapa jenis hewan, seperti burung, mampu melintasi jembatan tersebut dengan mudah, sementara spesies lain seperti badak berbulu (Coelodonta antiquitatis) tidak berhasil bermigrasi melaluinya.
Jembatan darat ini, yang saat ini terendam di bawah Selat Bering antara Alaska dan Rusia, muncul di atas permukaan air selama periode antara sekitar 36.000 hingga 11.000 tahun yang lalu. Sebelumnya, para ilmuwan menduga jembatan tersebut adalah hamparan padang rumput gersang seperti lanskap Siberia dan Alaska pada masa itu. Namun, belum ada yang benar-benar menyelidiki langsung kondisi dasar laut tempat jembatan tersebut dulu berada.
Dengan menyebutnya sebagai “rawa daratan Bering,” penelitian ini memberikan pandangan yang berbeda tentang bagaimana lanskap jembatan itu memengaruhi pola migrasi manusia dan hewan purba. Lanskap yang lembab dan penuh genangan air mungkin menjadi penghalang bagi beberapa spesies, namun menawarkan keuntungan bagi spesies lain yang lebih beradaptasi dengan lingkungan basah ini. Penemuan ini menambah pemahaman kita tentang bagaimana manusia dan hewan menggunakan jalur ini untuk bermigrasi dari Asia ke Amerika Utara selama zaman es terakhir.
Tahun lalu, sekelompok peneliti yang dipimpin oleh ahli geologi dari Alaska Fairbanks University, Sarah Fowell, memulai ekspedisi menggunakan kapal penelitian Sikuliaq untuk meneliti dasar Laut Bering. Mereka mengekstraksi inti sedimen dari wilayah yang pernah menjadi jembatan darat Bering dengan tujuan merekonstruksi lanskap dan iklim kuno area tersebut. Upaya ini menjadi yang pertama dalam menggali lebih dalam tentang karakteristik geologi jembatan darat yang menghubungkan Siberia dan Alaska selama Zaman Es.
Hasil penelitian tersebut dipresentasikan pada 10 Desember di pertemuan tahunan American Geophysical Union (AGU) di Washington, DC, Amerika Serikat. Alih-alih menemukan lanskap padang rumput gersang yang luas seperti yang selama ini diasumsikan, tim peneliti menemukan bahwa jembatan darat Bering lebih menyerupai lingkungan rawa dengan banyak sungai dan danau kecil. “Kami mencari jejak danau besar, tetapi ternyata kami menemukan bukti adanya jaringan danau kecil dan saluran sungai,” kata Fowell dalam keterangannya.
Penemuan ini didukung oleh keberadaan sedimen danau di dasar laut, serbuk sari, fosil kecil, DNA purba, dan bahan organik lainnya yang ditemukan dalam inti sedimen. Fosil dan serbuk sari menunjukkan bahwa lanskap tersebut pernah dihuni oleh pepohonan dan lumut. Para peneliti bahkan menemukan telur kutu air (Daphnia), sejenis krustasea air tawar, yang memperkuat bukti adanya ekosistem basah.
Lingkungan yang Ramah untuk Beberapa Spesies
Lingkungan rawa ini tampaknya mendukung kehidupan beberapa spesies, terutama burung yang mungkin memanfaatkan wilayah ini untuk bermigrasi. Namun, jembatan darat Bering juga menjadi jalur penting bagi beberapa mamalia besar. Di salah satu lokasi penelitian, tim menemukan jejak DNA purba dari mamut dan bison, menunjukkan bahwa kedua spesies ini pernah menyeberang dari Eurasia ke Amerika Utara. Selain itu, ada bukti bahwa kuda purba juga melakukan perjalanan sebaliknya, dari Amerika Utara ke Eurasia.
“Meskipun sebagian besar wilayahnya terdiri dari dataran banjir dan kolam-kolam kecil, hewan penggembala seperti bison dan mamut tetap dapat bertahan dengan mencari daerah yang lebih tinggi dan lebih kering,” jelas Fowell. Kondisi ini cocok bagi hewan-hewan yang dapat beradaptasi dengan variasi lingkungan.
Tantangan bagi Spesies Tertentu
Namun, lanskap rawa ini tampaknya kurang bersahabat bagi spesies yang tidak memiliki kemampuan untuk bermigrasi antar benua. Contohnya adalah badak berbulu, yang berasal dari Eurasia, unta Amerika yang berasal dari Amerika Utara, serta beruang berwajah pendek yang juga asli Amerika Utara. Lingkungan basah dan rawa ini mungkin tidak menyediakan habitat yang cocok bagi spesies-spesies tersebut untuk berkembang atau bermigrasi.
Penelitian ini memberikan wawasan baru tentang peran jembatan darat Bering sebagai jalur migrasi kuno bagi manusia dan hewan selama Zaman Es, sekaligus menunjukkan bagaimana lanskap ini memiliki keanekaragaman lingkungan yang mendukung kehidupan spesies tertentu, namun menjadi penghalang bagi yang lain.
“Lanskap yang didominasi oleh area basah dan penuh air kemungkinan besar menjadi hambatan bagi beberapa spesies, tetapi bisa juga menjadi jalur ideal bagi spesies yang mampu atau terbiasa bergerak melalui air,” ungkap Jenna Hill, seorang ahli geologi dari US Geological Survey, saat memaparkan temuannya di pertemuan American Geophysical Union (AGU).
Hill menjelaskan bahwa keberadaan rawa-rawa, sungai, dan danau kecil di sepanjang jembatan darat Bering mungkin menciptakan tantangan unik bagi spesies darat yang tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan basah. Namun, bagi spesies tertentu seperti burung yang bisa terbang atau hewan air yang dapat memanfaatkan sumber daya di habitat tersebut, lanskap ini menjadi jalur yang memungkinkan migrasi antar benua.
Ia menekankan bahwa penelitian lebih lanjut sangat diperlukan untuk benar-benar memahami bagaimana kondisi lingkungan ini memengaruhi pola migrasi spesies yang melintasi jembatan darat. Penelitian mendalam dapat membantu mengungkap sejauh mana ekosistem berair tersebut memengaruhi pilihan rute, keberhasilan migrasi, dan diversifikasi hewan di masa lalu. Hal ini menjadi langkah penting untuk melengkapi gambaran besar tentang bagaimana jembatan darat Bering berperan dalam sejarah evolusi dan persebaran spesies di planet ini.
REFERENSI:
Hughes, Hunter P dkk. 2024. Synthetic and practical reconstructions of SST and seawater pH using the novel multiproxy SMITE method. Research Article https://doi.org/10.1371/journal.pone.0305607
Reuther, Joshua D. & Potter, Ben A. 2024. Beringia, Geoarchaeology. Springer: Encyclopedia of Geoarchaeology