Ditulis Oleh Jumardin Rua
Ilustrasi (https://www.genome.gov)
“Wahai manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti” (terjemahan Q.S. Al-Hujurat: 13).
Cuaca siang itu cukup membuat gerah. Seakan tak peduli anak muda itu sibuk memarkirkan kendaraan orang-orang yang datang. Keringat bercucuran diwajahnya, tapi ia masih tampak kuat. Orang-orang hilir mudik membeli dan menjajakan barang. “Udah biarin aja !”. Kata pemuda itu dengan tegas. Rupanya tak jauh dari pemuda itu sedang ada keributan antara seorang ibu paruh baya dan seorang lelaki. Saya dengan seksama menyaksikan kejadian itu. Dari keributan itu pun saya jadi tahu jika sang lelaki berasal dari suku bugis sedang ibu paruh baya tersebut dari suku madura.
Sepenggal cerita diatas adalah kejadian nyata yang penulis alami di Pasar Rahmat kota Samarinda. Tidak jelas apa penyebab pertikaian mereka. Yang bisa saya ceritakan adalah masing membanggakan diri dari suku mana ia berasal. Keributan semakin menjadi-jadi manakala diantara mereka saling merendahkan antara satu dan yang lainnya. Prof. Syarif Ibrahim Alqadri dalam salah satu kajiannya tentang penyebab konflik etnis di Kalimantan mencoba menguraikan tentang hal ini.
Gambar 1. Pasar Rahmat kota Samarinda (https://foursquare.com)
Kelompok etnis tidak dapat dipisahkan dari identitas fisik dan bukan fisik atau karakteristik biologisnya sendiri yang berbeda dengan kelompok etnis lain. Anggota masyarakat dayak di Kalimantan Barat misalnya mengidentifikasikan diri mereka sebagai kelompok etnis dan pada satu agama tertentu, kristen (christenity). Sebaliknya masyarakat dayak di tiga provinsi lainnya mengidentifikasikan diri mereka sebagai sub kelompok etnis dan tidak pada agama tertentu. Selanjutnya sejak awal tahun 2000-an Kalimantan Tengah mengalami pula perubahan identifikasi etnis yang lebih mengarah pada etnisitas atau kedaerahan (provincialism). Perasaan dan anggapan seperti itu merupakan faktor psikokultural dan sosiologis dari beberapa faktor yang menyebabkan pertikaian antar komunitas di Kalimantan Barat. Tutur guru besar sosiologi Universitas Tanjungpura tersebut[1].
Perasaan bangga dengan identitas kesukuan disertai perilaku merendahkan suku yang lainnya bukanlah hal yang patut. Hal itu pun menimbulkan banyak pertanyaan di benak kita. Mengapa bisa seperti itu?, Apakah benar mereka 100 % suku madura, bugis, dayak ataupun suku-suku yang lainnya? Nyatanya dari studi genetika mengungkapkan bahwa masyarakat Indonesia berasal dari campuran berbagai macam moyang. Ucap peneliti Eijkman Institute for Molecular Biology Prof. Herawati Sudoyo. Peneliti yang pernah diganjar Habibie Award tersebut menambahkan populasi yang hidup di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi penutur austronesia dan non-austronesia (Papua). Mereka, penutur austronesia, melakukan kontak dan kawin campur dengan populasi leluhur Papua yang sudah mendiami lebih dahulu kawasan Nusantara. Sehingga meskipun kecil porsinya gen Papua ada pada hampir seluruh wilayah Indonesia bagian barat [2].
Gambar 2. Prof. Herawati Sudoyo ketika memaparkan asal-usul manusia Indonesia pada Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) 2018 (http://kongres.kebudayaan.id)
Salah satu temuan beliau telah dipublikasikan di jurnal Quaternary International dengan judul “Western Eurasian Genetic Influences in the Indonesian Archipelago” tahun 2016. Penelitian tersebut mencoba mengungkap pengaruh gen eurasia barat terhadap manusia Indonesia. Sebanyak 2841 dan 2095 individu menjadi subjek dalam penelitian ini untuk mengetahui silsilah keturunan dari jalur ibu (maternal) dan ayah (paternal). Silsilah keturunan dari jalur ibu dan ayah dapat diketahui dengan analisis DNA mitokondria (mtDNA) dan kromosom Y. Sampel didapatkan dari 7 pulau utama Indonesia (Sumatra, Borneo, Jawa, Bali, Sulawesi, Kep. Sunda Kecil dan Maluku) sebagai representasi dari 22 dan 17 suku. Sukuens (urutan) mtDNA sampel dibandingkan dengan revised Cambridge Reference Sequence (rCRS) menggunakan MAFFT aligner v.7. Kelompok gen (haplogroup) mitokondria diuji menggunakan program Haplogrep berdasarkan Phylotree v.16. Sedangkan haplogroup kromosom Y diuji berdasarkan database Single Nucleotida Polimorphism (SNP) yang telah tersedia di International Society of Genetic Genealogy (ISOGG) dan Y-Phylotree[3].
Gambar 3. Struktur sel manusia yang memperlihatkan bagian mitokondria. kromosom terdapat dalam inti sel (nukleus) (https://www.healthhype.com)
Selanjutnya dilakukan analisis statistik mtDNA dan kromosom Y untuk memperoleh plot secara geografis sebaran haplogroup eurasia barat di wilayah Indonesia. Analisis dilakukan dengan Surfer v.12.0 menggunakan metode kriging sedangkan keragaman haplogroup mtDNA dan kromosom Y dihitung menggunakan metode Nei[3].
Gambar 4. Frekuensi haplogroup eurasia barat di Indonesia (a) kromosom Y (b) mtDNA[3]
Hasil penelitian yang ditunjukkan dengan distribusi frekuensi menunjukkan bahwa garis keturunan eurasia barat lebih dominan pada jalur ayah daripada ibu. Hasil tersebut ditunjukkan dengan frekuensi dan keragaman kromosom Y sebesar 4,49 % dan 0,0222-439 sedangkan pada mtDNA hanya 1,55 % dan 0.00320-0,242. Frekuensi tertinggi gen penanda eurasia barat oleh kromosom Y ditemukan pada suku Bajo (25,9,%), Jawa (14,7%) dan Bali (11%). Sedangkan dominasi mtDNA eurasia barat ditemukan pada suku Gayo (12,9%), diikuti Pantar dan Jawa sebesar 10,3% dan 7,8%. Asal mula garis keturunan ayah tersebut lebih beragam daripada garis keturunan ibu jika ditelusuri lebih jauh ke barat daya dan selatan asia serta anak benua India. Suku indiana kemungkinan memainkan peran utama dalam menyebarkan garis keturunan eurasia barat. Peneliti menambahkan migran eurasia barat telah berkontribusi pada kompleksitas keragaman gen di seluruh kepulauan Indonesia saat ini[3].
Hasil temuan tersebut seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai upaya pengembangan ilmu pengetahuan semata. Secara tersirat sebenarnya seolah ingin memberikan pesan kepada kita semua agar jangan lagi ada kata si madura, si dayak, si bugis, si jawa dan si yang lain-lainnya. Yang ada adalah kita Indonesia. Lebih lanjut, perbedaan (keragaman) sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Hujurat ayat 13 merupakan sarana untuk kemajuan peradaban[4]
Referensi
- Alqadri, S., I., 2004, Potret Retak Nusantara, Studi Kasus Konflik di Indonesia (Pola Pertikaian di Kalimantan dan Faktor-Faktor Sosial, Budaya, Ekonomi dan Politik Yang Mempengaruhinya), CSPS-UGM: Yogyakarta
- Thamrin, M., Y., 2019, Tapak Jejak Genetika: Kita Adalah Campuran Berbagai Macam Moyang, https://nationalgeographic.grid.id, diakses pada 30 Juli 2019 pukul 14.56 WITA
- Kusuma, P., Cox, M., P., Brucato, N., Sudoyo, H., 2016, Western Eurasian Genetic Influences in the Indonesian Archipelago, Quaternary International, 416, 243-248
- Hosen, N., 2017, Tafsir al-Hujurat ayat 13:Tak Kenal Maka Tak Sayang, https://nadirhosen.net, diakses pada 31 Juli 2019 pukul 06.08 WITA