Dalam setiap pengukuran atau percobaan, ketidakpastian dan ketidaktelitian selalu ada. Banyak penyebab ketidakpastian dalam pengukuran ini. Hal ini karena si pengukur (manusia) maupun alat ukur memiliki kelemahan. Penyebab dari ketidakpastian ini terbagi menjadi tiga golongan, yaitu karena lingkungan, alat ukur, dan si pengukur.
Kesalahan faktor lingkungan yaitu saat kita melakukan pengukuran, yakni saat keadaan lingkungan tidak mendukung (kondusif). Misalnya angin yang bertiup saat mengayunkan bandul, adanya gesekan saat kita mengukur kecepatan benda jatuh, gangguan getaran dari alat-alat berat dan kendaran bermotor saat mengukur gelombang seismik di tanah, dan temperatur yang terlalu panas saat kita mengukur hambatan, dan lain-lain.
Penyebab kesalahan alat ukur dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain sebagai berikut:
- Alat ukur yang sudah tidak bekerja dengan baik. Penyebabnya mungkin karena ada beberapa pegas yang sudah rusak dalam alat ukur, atau memuai karena pengaruh cuaca dan lingkungan.
- Alat ukur yang tidak mampu mengukur dengan ketelitian tinggi. Misalnya menggunakan mistar, menggunakan baut atau sekrup.
- Alat ukur tidak benar dalam pen-skalaan dan kalibrasi. Seringkali terdapat beberapa alat ukur yang skalanya sembarangan dan tidak memenuhi ketentuan. Dalam beberapa hal, kesalahan ini sengaja untuk mencurangi pembeli, misalnya memberati timbangan, “mencurangi” meteran listrik, meteran POM bensin dan lain-lain. untuk itulah memeerlukan lembaga pemerintah yang memeriksa setiap meteran tersebut. Lembaga ini yaitu Badan Metrologi (bukan meteorologi)
Kesalahan si pengukur (manusia) dalam penglihatan, penyebabnya bisa karena beberapa hal berikut:
- Kelemahan mata kita yang pada umumnya tidak bisa melihat secara baik skala atau benda yang lebih kecil dari 1 mm.
- Pengaruh paralaks. Paralaks adalah perbedaan hasil pengukuran karena kita melihat pada sudut yang berbeda. Dengan demikian, jika kita hendak mengukur sesuatu, usahakan mata kita sejajar dan tegak lurus dengan benda.
- Pengaruh meniskus pada tabung. Meniskus terjadi jika kita mengukur air dalam gelas ukur. Ciri meniskus yaitu melengkungnya permukaan air pada pinggir wadah. Sehingga terdapat kesalahan ketika membaca skala.
- Kesalahan dalam perhitungan dan pengolahan data hasil pengukuran, biasanya karena pembulatan atau memang salah melakukan perhitungan atau pemasukan data

Angka Penting (Significant Digit atau Significant Figures)
Jika ada seseorang mengatakan kepada kita, bahwa ia telah berlari sejauh 628,3185307 meter, apa yang kita pikirkan? Apakah kita akan percaya? Jika kita simak baik-baik, sebetulnya ada yang aneh pada angka 628,3185307 meter tersebut. Hal ini karena adanya tujuh angka berderet di belakang koma, yaitu 3185307. Kita akan merasa bingung dengan banyaknya angka di belakang koma tersebut. Kira-kira, apakah alat ukur yang dapat digunakan sehingga dapat mengukur dengan ketelitian sehebat itu? Orang yang menyebut angka tersebut mungkin berbohong, namun kurang tepat melaporkan hasil. Ia mungkin memperoleh hasil tersebut dari rumus keliling lingkaran 2πr, karena jari-jari lingkaran r dari lintasan lari yang berbentuk lingkaran adalah 100 meter, maka ketika dihitung menggunakan kalkulator, dengan π bernilai 3,141592654, maka dihasilkan nilai 628,3185307 meter.
Hal itulah yang mendasari perlunya aturan dalam melaporkan hasil perhitungan dan pengukuran. Dalam melaporkan hasil perhitungan atau pengukuran, kita tidak harus melaporkan dan menuliskan seluruh angka. Dalam kasus di atas, mungkin cukup tulis dengan 628 meter saja. Sedangkan sisanya, kita sebut angka meragukan.
Meskipun memiliki alat ukur, seringkali kita masih harus memperkirakan hasil pengukuran. Hal ini karena keterbatasan alat ukur yang kita miliki. Misalnya, kita akan mengukur temperatur air yang sedang mendidih. Oleh karena skala terkecil adalah 1⁰C, maka mungkin sekali terjadi pengukuran yang harus kita perkirakan hasilnya. Misalnya termometer menunjukkan skala seperti pada gambar.

Pada gamabar tersebut, skala termometer menunjukkan pengukuran temperatur lebih dari 87⁰C tetapi kurang dari 88⁰C. Skala dalam termometer tidak dapat memastikan hasil pengukurannya, maka kita perkirakan saja hasilnya adalah 87,5⁰C, atau terserah pada pendapat masing-masing. Angka 87 dalam pengukuran ini adalah Angka Pasri (Angka Eksak), karena bukan dari hasil perkiraan dari siapapun yang melihat skala pada gambar tersebut pasti mwngatakan hal yang sama. Namun, angka 0,5 adalah hasil perkiraan dan seriap orang dapat berbeda dalam menyebutkan angka perkiraannya, sehingga kita menyebutnya Angka Meragukan. Namun, baik angka pasti maupun angka meragukan merupakan Angka Penting (AP), sehingga dalam 87,5⁰C terdapat 3 AP. Angka penting adalah angka yang penting dan kita barus atau perlu melaporkan dalam perhitungan atau pengukuran. Banyaknya AP yang kita dapatkan dalam sebuah hasil pengukuran menunjukkan ketelitian alat ukur. Semakin banyak angka penting, semakin teliti alat ukur yang digunakan.
Dalam buku Fisika terdapat aturan yang menunjukkan berapa benyak AP dalam sebuah bilangan. Aturan tesebut adalah:
- Seluruh angka bukan nol termasuk AP.
- Angka nol atau deretan angka nol termasuk AP jika diapit antara angka bukan nol.
- Angka nol atau deretan angka nol termasuk AP jika berada sebelah kanan angka bukan nol.
- Jika terdapat angka yang diberi tanda khusus (biasanya berupa garis bawah), maka angka setelahnya bukan AP.
Namun, sebetulnya kita bisa membuat atauran ini lebih sederhana yaitu seluruh angka adalah angka penting (AP), kecuali angka nol yang terpakai untuk menempatkan angka belakang koma, seperti 0,00000258. Dalam angka tersebut 6 buah angka nol bukan angka penting, karena gunanya hanya untuk menempatkan 258 belakang koma. Angka 0,00000258 sebetulnya bisa kita tulis 2,58 x 10–⁶ seperti yanga akan kita pelajari nanti.
Notasi Ilmiah dan Aturan Pembulatan
Aturan notasi ilmiah adalah aturan dalam menuliskan suatu bilangan. Mengapa cara menuliskan bilangan harus ada aturan? Karena dalam pengukuran atau perhitungan, kita sering berhadapan dengan bilangan yang sangat besar, atau sangat kecil. Untuk tujuan inilah notasi ilmiah diperkenalkan.
Dalam notasi ilmiah, sebuah bilangan harus dinyatakan dalam satuan dikalikan dengan 10 pangkat bilangan bulat. Misalnya, 1.100.000 kita menuliskan dalam notasi ilmiah sebagai 1,1 x 10⁶. 1,1 merupakan satuan dan bilangan 6 pada pangkat 10 adalah eksponen. Contoh lain misalnya 0,000124 dapat kita tulis 1,24 x 10–⁴.
Ada beberapa istilah untuk menyingkat jumlah nol yang berderet. Beberapa istilah ini mungkin sudah biasa kita gunakan. Misalnya, saat membeli beras kita katakan massa beras 15 kilogram. Kata kilo dalam kilogram sebetulnya adalah untuk menyingkat tiga buah angka nol dalam 15.000 gram. Contoh lain saat kita menyatakan panjang kain. Kita katakan bahwa panjang kain 150 sentimeter. Kata senti sebetulnya menyingkat 0,01 meter.
Demikian juga saat menyebut besarnya memori hardisk pada komputer, kita sering menggunakan istilah megabyte. Kata mega dalam megabyte adalah untuk menyingkat 1.000.000 (meskipun dalam dunia komputer mega tidak persis 1.000.000, tetapi hasil pembulatan dari 1.048.576). Kata mega dalam megawatt adalah 1.000.000 watt. Begitu juga dalam menggunakan obat tetes, kita mungkin pernah mengenl istilah mililiter. Kata mili menunjukkan perkalian dengan 0,001. Banyak istilah yang bisa digunakan selain kilo dan mega untuk menyingkat jumlah nol. Selengkapnya bisa dilihat pada Tabel 1.1.

Karena ilmu fisika seringkali berhubungan dengan bilangan hasil pengukuran, dan pada umumnya data hasil pengukuran tidak dalam bentuk bilangan bulat, bahkan bilangan desimal dengan digit yang sangat banyak, maka memerlukan sebuah aturan pembulatan untuk menyingkat laporan pengukuran hingga digit yang penting saja. Misalnya, jika kita peroleh panjang meja 2,7435 meter, kita cukup melaporkannya hingga satu digit belakang koma saja menjadi 2,7 meter.
Aturan pembulatan terkadang sangat penting ketika kita berhadapan dengan bilangan pecahan dengan jumlah desimal yang banyak. Pada dasarnya terdapat tiga aturan pembulatan.
Aturan I:
Jika setelah angka terakhir yang ingin dituliskan kurang dari 5, maka hilangkan angka tersebut dan semua angka belakangnya. Misalnya, kita ingin membulatkan 5,3467 menjadi 1 angka belakang koma. Karena angka terakhir setelah angka 3 adalah angka 4, dan angka 4 kurang dari 5, maka kita hilangkan seluruh angka belakang 3 tersebut menjadi 5,3.
Aturan II:
Jika setelah angka terakhir yang ingin dituliskan lebih dari 5, maka tambahkan angka terakhir dengan 1 dan hilanhkan angka setelahnya. Misalnya kita ingin membulatkan 6,3867 menjadi 1 angka belakang koma. Karena setelah angka 3 adalah 8, dan angka 8 lebih dari 5, maka tambahkan 3 dengan 1 dan hilangkan seluruh angka belakang 3 tersebut, sehingga menjadi 6,4.
Aturan III:
Jika angka belakang angka terakhir yang ingin kita tulis sama dengan 5, maka jadikanlah digit terakhir menjadi bilangan genap terdekat. Misalnya, jika kita bulatkan angka 5,3567 menjadi 1 digit belakang koma, karena belakang 3 adalah 5 dan 3 adalah bilangan ganjil, maka genapkanlah menjadi 4 (bukan 2, karena 4 lebih dekat) sehingga menjadi 5,4. Contoh lain, jika kita bulatkan angka 5,6567 menjadi 1 digit belakang koma, karena belakang 6 adalah 5 , dan 6 adalah bilangan genap maka genapkanlah menjadi 6 (bukan 8 atau 4, karena 6 lebih dekat) sehingga menjadi 5,6.
Mungkin kita bertanya, berapa angkakah yang harus kita bulatkan dalam melaporkan pengukuran atau perhitungan? Jawabannya berkaitan dengan jumlah penggunaan AP. Hal ini bertujuan untuk menghindari “keanehan” penulisan hasil pengukuran seperti contoh kasus pada awal pembahasan AP sebelumnya. Secara umum, angka hasil pengukuran atau perhitungan yang kita laporkan adalah mengikuti AP paling sedikit yang terlibat dalam perhitungan. Tujuan utama dari pembulatan adalah supaya penulisan akhir menunjukkan ketelitian sebenarnya dari alat ukur.
Karena kita menyadari begitu banyak penyebab kesalahan dari sebuah pengukuran, maka dalam penulisan data hasil seringkali kita menuliskan angka ketidakpastiannya, yang menunjukkan tanda plus-minus (). Misalnya, hasil pengukuran panjang adalah 2,50 cm. Namun, karena terdapat ketidakpastian, maka kita menuliskan tanda ketidakpastian ini di belakang hasil pengukuran:
Makna dari pengukuran ini bahwa hasil pengukuran kita berkisar antara 2,50 – 0,05 = 2,45 cm sampai 2,50 + 0,05 = 2,55 cm, namun tidak bisa memastikan nilainya karena keterbatasan alat ukur.
Kita mungkin menduga, seandainya ada alat ukur yang sangat teliti dan canggih, maka ketidakpastian ini akan hilang. Sungguh menarik bahwa ketidaktelitian atau ketidakpastian ini tetap ada meskipun sangat kecil ketidakpastiannya. Hal ini karena manusia dan alat ukur memiliki keterbatasan dan kelemahan yang tidak mungkin dihilangkan. Seorang ahli fisika bernama Heisenberg membuktikan hal ini, beliau mengatakan bahwa tidak mungkin kita mengukur sesuatu dengan ketelitian tanpa batas. Kita menjadi paham ketika Allah SWT memerintahkan untuk meneliti alam semesta.

Referensi:
- Halliday, David dan Resnick, Robert. 1990. Fisika Jilid I Edisi Ketiga. Jakarta: Penerbit Erlangga
- Shihab, M. Quraish. 2003. Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran. Jakarta: Lentera Hati.
- Tipler, Paul. 2001. Fisika Jilid II Untuk Sains dan Teknik. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Dalam komunitas metrologi (ilmu pengukuran), rujukan yang dipakai saat ini adalah ISO Guide on the Expression of Uncertainty in Measurement (ISO GUM), yang ekuivalen dengan dokumen JCGM 100, dan diterbitkan oleh BIPM (Biro internasional yang mengelola Sistem Internasional satuan)
https://www.bipm.org/en/publications/guides