Mengubah pilihan pada konsumsi makanan dapat membantu mengurangi emisi gas rumah kaca. Hmm, kok bisa? Emisi yang berkontribusi terhadap pemanasan global terkait dengan makanan dapat berkurang secara signifikan jika orang-orang beralih ke pola makan yang lebih berbasis tanaman. Hal tersebut berdasarkan penelitian yang diterbitkan di jurnal Nature Climate Change.
Tim peneliti dari Universitas Groningen menyarankan untuk memperkenalkan insentif seperti harga karbon, pelabelan ramah lingkungan, dan memperluas ketersediaan produk yang lebih rendah emisinya seperti makanan vegetarian untuk mendorong konsumen melakukan perubahan pola makan.
Pilihan makanan yang dirancang dengan baik dapat mengubah pola makan penduduk, dan pengembangan paralel dalam perencanaan kota serta infrastruktur dapat membantu mengurangi hambatan waktu dan biaya yang menghalangi orang untuk mengadopsi pola makan yang lebih sehat.
Namun, para ahli mencatat bahwa di negara-negara seperti Mongolia, di mana pola makan sangat bergantung pada daging merah dan produk susu karena gaya hidup nomaden tradisional, perubahan pola makan mungkin tidak memungkinkan. Namun, diperlukan peningkatan edukasi gizi nasional.
Negara-negara berpenghasilan rendah menghadapi tantangan yang lebih besar dalam mencapai pola makan yang lebih sehat, dengan lebih dari 1,5 miliar penduduk berpenghasilan rendah di seluruh bumi tidak mampu membayar biaya untuk pola makan yang sehat.
Tim peneliti mencatat bahwa populasi miskin sering memilih makanan dengan biaya rendah dan padat kalori namun kurang nutrisi. Biaya tinggi dan keterjangkauan yang rendah tetap menjadi hambatan terbesar bagi individu-individu ini untuk memilih pola makan yang lebih sehat. Oleh karena itu, upaya kebijakan harus difokuskan pada membuat makanan lebih terjangkau dan mudah diakses, terutama bagi kelompok dengan pengeluaran rendah.
Studi yang dibahas pada artikel ini mengevaluasi distribusi emisi makanan yang tidak merata (termasuk emisi dari penggunaan lahan dan emisi lainnya di luar pertanian) dari 140 produk makanan di 139 negara atau wilayah, mencakup 95% populasi global. Penelitian ini mengungkap tingkat ketidakmerataan emisi makanan di dalam negara-negara berdasarkan data pengeluaran yang rinci.
Tim peneliti dari Universitas Groningen juga menyatakan bahwa tujuan dari skenario perubahan pola makan adalah untuk menilai dampak potensial dari mitigasi emisi pada sistem pangan yang dihasilkan dari perubahan pilihan konsumen, bukan memaksa semua orang mengadopsi pola makan yang sama.
Komposisi produksi pangan global perlu berubah secara signifikan untuk beradaptasi dengan perubahan besar dalam permintaan jika jalur dari daging ke tanaman diikuti.
Perubahan pola makan akan membutuhkan penurunan pasokan daging merah global (dalam konten kalori) sebesar 81%, semua gula sebesar 72%, umbi-umbian sebesar 76%, dan biji-bijian sebesar 50%, sementara itu pasokan kacang-kacangan dan biji-bijian perlu meningkat sebesar 438%, lemak tambahan sebesar 62%, dan sayuran serta buah-buahan sebesar 28%.
Perubahan permintaan makanan dapat menyebabkan fluktuasi harga produk pertanian dan lahan di pasar global, yang memicu efek limpahan antara kategori makanan yang berbeda atau ke sektor non-makanan lainnya, seperti mendorong produksi biofuel, dan sebagian mengurangi manfaat dari perubahan pola makan.
Referensi:
[1] https://www.birmingham.ac.uk/news/2024/changing-food-consumers-choices-may-help-cut-greenhouse-gases, diakses pada 17 Agustus 2014
[2] Yanxian Li, Pan He, Yuli Shan, Yu Li, Ye Hang, Shuai Shao, Franco Ruzzenenti, Klaus Hubacek. Reducing climate change impacts from the global food system through diet shifts. Nature Climate Change, 2024; DOI: 10.1038/s41558-024-02084-1
Alumni S1 Kimia Universitas Negeri Makassar. Pengajar kimia, penulis di warstek.com.