Pada dasarnya sebuah wajah kaya akan informasi. Wajah dapat menggambarkan gender, ras, usia, bahkan karakter yang dapat diketahui secara spontan. Banyak dari kita yang percaya pada seseorang didasarkan pada tampilan wajahnya. Lalu apakah penilaian karakter berdasarkan tampilan wajah itu akurat? Apakah penilaian seseorang berpotensi korupsi atau tidak dapat dilihat dari wajahnya? Penelitian yang dilakukan oleh Chujun Lin, Ralph Adolphs, dan R. Michael Alvarez menjawab hal tersebut. Penelitian tersebut berjudul “Inferring Whether Officials Are Corruptibel From Looking At Their Faces” dan telah diterbitkan di Journal of Psychological Science pada 12 September 2018. Penelitian Chujun Lin dkk tersebut memberikan warna baru antara penampilan wajah dengan perilaku sosial yang dalam hal ini perilaku korupsi.
Definisi korupsi telah dituangkan dalam 13 buah Pasal UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No.20 Tahun 2001. Pasal-pasal tersebut berisikan tiga puluh bentuk tindak pidana korupsi yang dapat dikelompokkan menjadi 7 bagian, yaitu kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. Menurut data Pacific Economic and Risk Consultancy, Indonesia menempati urutan pertama sebagai negara terkorup di Asia pada tahun 2005. Korupsi di Indonesia sudah ada sebelum merdeka, terlihat dari adanya tradisi memberikan upeti oleh masyarakat kepada penguasa setempat. Fenomena korupsi sebenarnya sudah ada sejak lama, namun baru menarik perhatian masyarakat dunia sejak berakhirnya perang dunia kedua, karena menjamurnya korupsi di negara-negara berkembang. Bahkan korupsi bukan hanya sebagai extraordinary crime, tapi juga sebagai transnational crime.
Banyak sekali upaya yang telah dilakukan dalam menangani korupsi. Namun upaya penanganan tersebut kebanyakan gagal karena dilakukan hanya dengan pendekatan hukum yang terlalu mengedepankan himbauan moral. Oleh karena itu, muncullah penelitian-penelitian mengenai penilaian karakter dari wajah seseorang dalam memilih sosok pemimpin. Penilaian karakter melalui wajah inilah yang dipercaya agar tidak salah memilih pemimpin, sehingga terpilihlah pemimpin yang jujur dan tidak berpotensi korupsi. Penilaian karakter melalui wajah oleh penelitian sebelum-sebelumnya biasanya didasarkan pada wajah yang sudah terkenal (familiar), sedangkan penelitian Chujun Lin dkk mencoba penelitian dengan kreasi baru. Penelitian Chujun Lin mencoba mengkreasikan penilaian karakter wajah dari sosok pejabat yang kurang familiar di masyarakat.
Kesimpulan seseorang itu berpotensi korupsi dilihat dari wajah didasarkan pada 3 hal:
- Teori Self-Fulfilling Prophecy yang menyebutkan bahwa kesan dan harapan yang terbentuk dari raut wajah seseorang mempengaruhi bagaimana orang lain berinteraksi dengannya. Sebagai contoh wajah seorang yang berpotensi korupsi akan mempengaruhi orang lain untuk menyuapnya. Interaksi yang terjadi berulang-ulang ini akhirnya akan memaksa orang tersebut menjadi apa yang orang lain harapkan.
- Analisis keputusan hukuman menunjukkan bahwa evaluasi kesalahan dan rekomendasi hukuman dipengaruhi oleh tampilan wajah terdakwa.
- Beberapa studi menyatakan bahwa wajah mengandung setitik kebenaran mengenai sifat alami seseorang, seperti mampu menggambarkan kepribadian dan kecenderungan kriminal.
Penelitian Chujun Lin, dkk dilakukan dengan empat studi pendahuluan (preregistered studies). Tiga studi pendahuluan dilakukan dengan para peserta membuat kesimpulan sifat berdasarkan foto dari pejabat-pejabat yang kurang familiar. Pada studi yang keempat, Chujun Lin mengeksplorasi kembali studi yang telah ia lakukan sebelumnya dengan berbagai analisis. Studi keempat berfokus pada metriks struktur wajah, khususnya lebar wajah karena seseorang dengan wajah yang lebar cenderung kurang dapat dipercaya, dan berpotensi untuk menjadi ancaman. Berikut merupakan gambar wajah yang kurus karena dibuat lebih ramping terlihat pada gambar (a), wajah yang orisinil pada gambar (b), serta wajah yang gemuk karena diperlebar terlihat pada gambar (c).
Studi pertama diikuti oleh peserta dengan ketentuan penutur bahasa Inggris asli, berlokasi di Amerika Serikat, dan berusia 18 tahun atau lebih. Dari 100 peserta, hanya 82 peserta yang memenuhi kriteria. Ke-82 peserta ini diharuskan menilai 72 pejabat pria Eropa yang memiliki kantor legistlatif di Amerika Serikat. Dari 72 pejabat yang dinilai, hasilnya separuhnya adalah pejabat yang korupsi dan separuhnya lagi adalah pejabat yang bersih. Daftar pejabat yang bersih dari hasil studi tersebut ternyata sesuai dengan daftar petahana yang memiliki rekam jejak yang bersih. Para peserta tidak diberitahukan maksud dari penelitian. Peserta hanya diinformasikan bahwa mereka akan diperlihatkan foto-foto politisi dan mereka harus menilai politisi tersebut dalam lima hal yaitu potensi korupsi, ketidakjujuran, egois, dapat dipercaya, dan dermawan.
Studi kedua dengan 80 foto pejabat yang kesemuanya adalah pria Eropa yang memiliki kantor di California. Hasil studi ini menyebutkan bahwa respon peserta lebih cepat 100 milisekon terhadap para pejabat yang sudah mereka kenali. Studi ketiga bertujuan untuk menguji pengaruh yang ditemukan pada Studi 1 dan 2 dapat diatribusikan secara khusus pada penilaian koruptibilitas.
Studi keempat menggunakan analisis mediasi dan manipulasi eksperimental. Analisis mediasi digunakan untuk mengetahui hubungan antara struktur wajah, kesimpulan karakter dan rekam jejak pejabat dalam foto tersebut. Kemudian dilanjutkan dengan manipulasi eksperimental yaitu memanipulasi ukuran foto wajah menjadi lebih ramping ataupun menjadi lebih gemuk. Terdapat tiga versi stimulus manipulasi wajah yaitu orisinil, gemuk, dan kurus. Stimulus orisinil terdiri dari 71 foto dari Studi I, 79 foto dari Studi II. Stimulus Orisinil yang berjumlah 150 ini dimanipulasi dengan Adobe Photoshop Face-Aware Liquify untuk memperlebar wajah 7% dan memperkecil wajah 7%. Stimulus wajah gemuk terdiri dari 150 foto dengan wajah yang sudah diperlebar tadi. Stimulus wajah kurus terdiri dari 150 foto dengan wajah yang agak dirampingkan tadi.
Penelitian ini menghasilkan bahwa kesimpulan spesifik mengenai karakter seperti koruptibilitas (potensi seseorang melakukan korupsi) dapat terlihat dari foto wajah pejabat yang diasosiasikan dengan pengukuran-pengukuran riil korupsi dan pelanggaran politik. Asosiasi ini tidak hanya diukur dengan intensitas senyuman mereka, melainkan juga dengan keseluruhan gambaran wajah mereka. Pada studi keempat ditemukan bahwa pejabat dianggap lebih berpotensi korupsi ketika wajah mereka dimanipulasi menjadi lebih lebar, dan cenderung tidak berpotensi korupsi ketika wajah mereka dibuat lebih ramping. Penelitian ini tidak menggunakan rasio tinggi wajah, melainkan lebar wajah dikarenakan terdapat penelitian-penelitian yang menyebutkan stereotipe wajah lebar, menunjukkan bahwa individu yang kelihatan gemuk lebih sering dinilai sebagai sosok pemalas, rakus, egois, dan kurang dapat dipercaya.
Meskipun begitu, hasil penelitian ini juga harus diinterpretasikan dengan hati-hati. Apakah benar bahwa individu yang berpotensi korupsi memiliki struktur wajah yang berbeda sebagaimana yang dikatakan oleh para ahli ilmu firasat (physiognomy). Ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu:
- Rekam jejak pejabat kadang juga terjadi kesalahan pengukuran bagaimana potensi korupsi mereka yang sebenarnya.
- Foto yang dipajang pada website pemerintahan maupun saat kampanye bisa menyajikan data yang bias karena foto bisa saja diedit sedemikian rupa.
- Bisa jadi pejabat yang telah berniat korupsi memiliki mimik muka bersalah saat difoto.
- Penilaian wajah dan perilaku sosial sangatlah bergantung pada konteksnya.
Sumber:
Lin, Chujun. Ralph Adolphs, dan R. Michael Alvarez. 2018. “Inferring Whether Officials Are Corruptibel From Looking At Their Faces”. Journal of Psychological Science, hlm 1-17.