Oleh: Reza Septian
Permintaan pasar yang tinggi menjadi penyebab maraknya perdagangan kura-kura hingga saat ini. Kondisi tersebut ditunjukkan dari hasil penelitian Hardiyanti, mahasiswi Biologi Universitas Pakuan Bogor. Dalam risetnya disebutkan, sebanyak 704 individu kura-kura diperdagangkan secara bebas di pasaran, bahkan yang masuk kategori Red List IUCN dan daftar Appendix CITES.
Baca juga: Pemanasan Global Berdampak Serius Terhadap Populasi Penyu di Great Barrier Reef Australia
Dari jumlah tersebut, 23 spesies merupakan jenis pendatang atau yang masuk ke suatu ekosistem dan 8 spesies asli Indonesia. “Jika dipersenkan, 74 persen spesies asing dan 26 persen spesies lokal,” terangnya.
Hardiyanti menjelaskan, dari 23 spesies kura-kura pendatang itu, yang paling banyak dijual di pasar adalah kura-kura brazil atau Trachemys scripta elegans, jumlahnya 230 individu. Untuk spesies lokal, kura-kura ambon (Coura amboinesis) berada di uruutan pertama sebanyak 120 individu, diikuti kura-kura pipi putih (Siebenrockiella crassicollis) 71 individu, dan kura-kura leher ular (Chelodina mccordi) 40 individu.
Permintaan pasar terhadap spesies kura-kura pendatang yang lebih tinggi dibandingkan spesies lokal dikarenakan kura-kura lokal umumnya berwarna lebih gelap. Tidak terlalu banyak variasi motif. Sementara, spesies pendatang memiliki warna lebih menarik pada tempurung maupun tubuhnya, dengan usia hidup rata-rata lebih panjang.
“Sangat disayangkan, kura-kura leher ular banyak diperjualbelikan para pedagang di Jakarta. Padahal, sejak 2001, spesies ini dilarang diperdagangkan berdasarkan aturan CITES dan masuk dalam kategori Kritis di Red List IUCN,” Kata Hardiyanti, saat memaparkan penelitiannya berjudul Inventarisasi Jenis Kura-kura Dalam Red List IUCN dan CITES yang Diperdagangkan di Jakarta dan Bogor di Bogor, Jawa Barat.
Hardiyanti menjelaskan, temuan tersebut berdasarkan pengamatannya sejak Februari hingga April 2016 di sejumlah pasar hewan di Jakarta dan Bogor. Beberapa di antaranya di Pasar Minggu, Pasar Barito, Pasar Jatinegara, Pasar Glodok, Jalan Kartini, Jalan Gunung Sahari, Mangga Dua Square, Pasar Bogor, Ciawi, Ciluar, dan Pasar Empang Bogor.
Pada tahap awal, Hardiyanti mengumpulkan informasi di berbagai lokasi pasar satwa dengan mendatangi langsung toko-toko yang memperdagangkan kura-kura. Setelah menetapkan sejumlah toko yang menjadi sampel penelitiannya, Hardiyanti yang kini sudah menjadi alumni, melakukan identifikasi spesies kura-kura yang diperdagangkan, berdasarkan ciri-ciri morfologi dengan merujuk literatur yang menjadi referensinya.
“Setelah data terkumpul, meliputi nama lokal, spesies, jumlah individu dan harga jualnya, barulah dilakukan pengecekan dan konfirmasi ke laman resmi Red List IUCN, untuk status konservasi, dan laman resmi CITES untuk informasi kategori perdagangan,” papar Hardiyanti.
Hasil temuan tersebut menunjukkan, banyak spesies kura-kura dilindungi dan tercantum dalam Red List IUCN yang diperdagangkan secara bebas di Jakarta. Tercatat, 5 spesies kura-kura berstatus Kritis (Critically Endangered), 3 spesies Genting (Endangered) dan 11 spesies Rentan (Vulnerable).
Tiga spesies Kritis itu adalah kura-kura radiata (A. radiatae), kura-kura leher ular (C. mccordi) dan kura-kura geometris (P. geometricus). Ketiga spesies itu diperjualbelikan di toko satwa Jalan Gunung Sahari dan Pameran Flora Fauna di Mangga Dua Square, Jakarta.
Selain itu, banyak juga dijumpai spesies kura-kura yang tercantum dalam daftar Appendix I, II dan III CITES yang masih diperdagangkan secara bebas. Ada 25 spesies yang masuk daftar, yaitu 4 spesies Appendix I, 17 spesies Appendix II, dan 4 lainnya Appendix III.
Spesies yang masuk Appendix I yakni kura-kura radiate (A. radiatae), kura-kura cherry head (G. carbonaria), kura-kura geometris (P. geometricus), dan black pond turtle (G. hamiltonii).
Menurut Hardiyanti, temuan ini cukup memprihatinkan mengingat status spesies-spesies itu pada kategori Kritis dan terancam punah di alam. “Terlebih, pada spesies-spesies yang masuk daftar Appendix CITES, yang memiliki aturan ketat dan dilarang untuk diperdagangkan sesuai kesepakatan internasional.”
Rouland Ibnu Darda, dosen Herpetologi Universitas Pakuan mengatakan, perdagangan kura-kura terus berlangsung, salah satunya, diakibatkan oleh permintaan pasar yang tinggi. Tingginya permintaan itu juga dipengaruhi banyak mitos yang beredar di kalangan masyarakat tertentu mengenai manfaat kura-kura bagi kesehatan dan keberuntungan.
“Masih ada mitos-mitos seperti itu, sehingga permintaan tetap tinggi,” katanya.
Khusus di Jakarta, kata Rouland, kura-kura banyak diperdagangkan untuk dijadikan makanan seperti sup. Ada yang percaya, sup kura-kura dapat menyembuhkan beragam penyakit dan bisa mendatangkan keberuntungan bagi pemeliharanya. “Padahal itu belum terbukti secara ilmiah,” katanya.
Lebih lanjut, Rouland mengungkapkan, jalur perdagangan kura-kura salah satunya masuk dari Malaysia ke Sumatera atau dari Kalimantan lalu ke Surabaya dan diteruskan ke Jakarta. Data itu, ia dapatkan dari beberapa sumber dan hasil pengamatannya selama 2016.
Para pelaku, menurut Rouland, saat ini semakin cerdik dan sulit terungkap. Berbagai modus pernah dijumpainya, termasuk dengan cara menyelundupkan kura-kura bersamaan hewan lain yang diizinkan.“Biasanya, para pelaku perdagangan menyamarkannya bersamaan hewan lain yang diizinkan. Dan ini bisa ditanggulangi,” terangnya.
Untuk mengingatkan kembali, pada 22 Januari 2015, pihak Karantina dan Inspeksi Ikan Timika dan Denpasar menangkap penyelundupan 6.500 anakan kura-kura moncong babi, sekitar 1.226 diamankan dari koper penerbangan ke Denpasar dan sebanyak 5.284 ditangkap di Denpasar. Kasus lainnya, berkedok ekspor ikan, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jakarta bersama Bea Cukai menggagalkan upaya penyelundupan 4.620 kura-kura moncong babi dan leher panjang di Bandara Soekarno Hatta pada Februari 2016.
Eksploitasi perdagangan kura-kura menjadi ancaman besar kelestarian dan kelangsungan hidupnya. Nilai jual yang cukup tinggi juga menjadi faktor utama perdagangan kura-kura terus berlangsung. “Menurut data statistik Badan Pusat Statistik (BPS) 2015, nilai jual ekspor reptil dan amfibi, juga kura-kura, mencapai angka yang fantastis yaitu 1,7 juta US Dollar,” tandas Hardiyanti.
Referensi
- Hardiyanti., Rouland., dkk. 2018. Inventarisasi Spesies Kura-Kura Dalam Red List IUCN dan CITES yang Diperdagangkan Di Jakarta Dan Bogor. DOI:10.13140/RG.2.2.29191.91040
- Wijayanto, Agustinus. 2015. Catatan 2015: Perburuan dan Perdagangan Satwa Dilindungi, Akankah Terhenti?. Diakses 27 April 2018: http://www.mongabay.co.id/2015/12/30/catatan-2015-perburuan-dan-perdagangan-satwa-dilindungi-akankah-terhenti/
Warung Sains Teknologi (Warstek) adalah media SAINS POPULER yang dibuat untuk seluruh masyarakat Indonesia baik kalangan akademisi, masyarakat sipil, atau industri.