Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembelajaran Matematika: Sebuah Tinjauan Teori Beban Pikir (Cognitive Load Theory)

Oleh: Irna K. S. Blegur Kemajuan Ilmu pengetahuan dan Teknologi menuntut seseorang untuk dapat menguasai informasi pengetahuan yang ada, sehingga diperlukan […]

blank

Oleh: Irna K. S. Blegur

Kemajuan Ilmu pengetahuan dan Teknologi menuntut seseorang untuk dapat menguasai informasi pengetahuan yang ada, sehingga diperlukan kemampuan memperoleh, memilih, dan mengolah informasi. Kemampuan-kemampuan tersebut harus didasari oleh pemikiran yang kritis, sistematis dan logis, sehingga mampu menganalisa, mengevaluasi segala argumen dan akibatnya mampu membuat keputusan yang rasional dan bertanggungjawab. Matematika dapat dipandang sebagai ilmu yang mendasarkan pada pola berfikir deduktif dimana aksioma, definisi atau teorema yang bersifat umum (general) digunakan untuk menjelaskan, membuktikan atau menemukan fenomena, hubungan atau objek yang bersifat lebih kontekstual (khusus) [1]. Karena itu kemampuan berfikir kritis, sistematis dan  logis, dapat dikembangkan melalui pembelajaran matematika

Mengajar matematika bukanlah sebuah pekerjaan yang gampang, pekerjaan ini merupakan sebuah pekerjaan kompleks yang melibatkan banyak faktor. Seorang guru mata pelajaran matematika wajib  memperlengkapi siswanya  untuk memiliki kemampuan prosedural dalam menyelesaikan masalah matematika dan memahami konsep serta prinsip-prinsip yang berkaitan dengan kemampuan itu. Karena itu penting sekali bagi seorang guru untuk memahami faktor apa saja yang mempengaruhi seorang siswa dalam belajar matematika.

Ditinjau dari teori beban pikir (Cognitive Load Theory)- sebuah teori belajar yang dikembangkan oleh seorang psikologi pendidikan di Australia, Jhon Sweller sejak tahun 1980-an hingga saat ini [2, 3]-belajar dapat diartikan sebagai sebuah proses penyusunan kembali pengetahuan lama dengan pengetahuan baru. Lebih lanjut, Retnowati [1] menjelaskan bahwa bagaimana seorang siswa menyusun pengetahuannya sangat dipengaruhi oleh tiga aspek yakni aspek kognitif, aspek afektif dan aspek behavior. Dari aspek kognitif sendiri, salah satu yang mempengaruhi adalah besarnya muatan kognitif (cognitive load) selama pembelajaran [2,3]. Tulisan ini secara khusus membahas mengenai jenis muatan kognitif apa saja yang mempengaruhi siswa dalam belajar. Lebih lanjut bagaimana peran guru matematika dalam proses pembelajaran juga dibahas dalam tulisan ini.

Muatan kognitif yang pertama disebut dengan intrinsic cognitive load (ICL) yaitu muatan kognitif yang dihadirkan oleh sifat materi pembelajaran itu sendiri. Ada materi matematika yang kompleks, ada pula yang sederhana. Misalnya, materi Sistem Pertidaksamaan Linear Tiga Variabel, Pertidaksamaan Kuadrat, Bilangan Imajiner, atau ill-defined problem solving adalah materi yang secara esensial memiliki ICL yang tinggi. Tabel 1 merupakan contoh masalah matematika yang secara sengaja dibuat memiliki sejumlah ICL yang berbeda.

Jika Harga beras mahal Rp. 5.000,00/kg dan harga beras murah Rp. 3.000,00/kg. Berapakah Jumlah uang yang harus dibayar jika seseorang membeli 2 kg beras mahal dan 3 kg beras murah?

(a) Relatif Kurang Kompleks

Seseorang mencampur beras mahal dan beras murah dengan harga perbandingan 3 : 2. Jika Harga beras mahal Rp. 5.000,00/kg dan harga beras murah Rp. 3.000,00/kg. Berapa harga 2 kg beras Campuran?

(b) Relatif Lebih Kompleks

Tabel 1. Contoh Masalah Matematika dengan ICL yang berbeda

ICL merupakan jenis muatan kognitif yang tidak dapat diatur (altered) dengan menggunakan manipulasi pembelajaran. Bagaimana siswa dapat mengatur atau memuat ICL dipengaruhi oleh seberapa detil pengetahuan awal (prior knowledge) yang telah dimiliki oleh siswa  itu sendiri. Untuk siswa yang mempunyai pengetahuan awal tentang penjumlahan dan perkalian serta kemampuan prosedur penyelesaian masalah yang baik maka  masalah seperti Tabel 1(a) di dapat dikatakan mudah (tidak terlalu kompleks), tetapi belum tentu berlaku untuk masalah seperti pada Tabel 1(b). Pada masalah ini diperlukan pemahaman tidak hanya tentang penjumlahan dan perkalian saja, tetapi juga tentang perbandingan serta kemampuan prosedur penyelesaian masalah. Dalam situasi seperti ini, masalah pada Tabel 1(b) dikatakan sebagai materi yang lebih kompleks. Namun apabila siswa memiliki pengetahuan awal, maka siswa juga dapat mengatasi ICL yang timbul akibat masalah ini sehingga kompleksitasnya pun relative berkurang.

Kapasitas kognitif siswa sebaiknya difokuskan untuk menata dan mengelola ICL. Oleh karena itu, sangat penting bagi seorang guru menguasai struktur pengetahuan matematika sehingga dapat menentukan tingkat kompleksitas bahan pembelajaran dengan tepat sesuai kapasitas siswa. Lebih lanjut dengan menguasai struktur pengetahuan matematika, seorang guru dapat memahami pengetahuan awal apa saja yang wajib dimiliki siswa dalam sebuah pembelajaran. Akibatnya guru dapat menstimulasi dengan tepat pengetahuan awal tersebut ketika melakukan pembelajaran di kelas.

Muatan kognitif yang kedua disebut sebagai extraneous cognitive load (ECL), yaitu muatan kognitif yang timbul akibat teknik penyajian materi pembelajaran. Penyajian bahan ajar yang tidak baik akan mengakibatkan tingginya ECL sehingga mengurangi efisiensi dan efektivitas suatu proses pembelajaran. Penyajian yang tidak baik adalah penyajian yang membuat siswa kesulitan untuk membaca atau mendengar informasi yang diberikan, dampaknya  siswa harus melakukan pemikiran yang tidak substansial atau tidak relevan dengan pemahaman isi pembelajaran [1-3]. Retnowati [2] menjelaskan bahwa salah satu penyebab hadirnya ECL adalah penyusunan bahan ajar yang tidak mempertimbangkan banyaknya elemen yang berkaitan dalam bahan yang disajikan dan bagaimana elemen-elemen informasi dalam bahan ajar itu berinteraksi. Misalnya, ada dua elemen yang harus diintegrasikan untuk dipahami tetapi disajikan secara terpisah. Bisa juga terdapat beberapa elemen yang isinya sama tetapi diulang-ulang dengan penyajian yang berbeda yang secara tidak langsung mendorong siswa untuk mengolah semua informasi yang disajikan secara berlebih-lebihan. Tabel 2 merupakan contoh teknik penyajian masalah seperti kedua penjelasan ini.

blank

ECL yang tinggi akan mengganggu upaya siswa untuk mengatur  ICL dalam proses berfikirnya. Namun, apabila ECL dapat diminimalkan, pikiran siswa memiliki kapasitas untuk menata dan mengelola ICL dengan baik, akibatnya kompleksitas materi pembelajaran dapat terurai dan terjadi proses memahami yang lebih mendalam. Tabel 3 merupakan contoh teknik penyajian yang menghindari hadirnya ECL yang tinggi dalam proses berfikir siswa.

blank

Tabel 3. Contoh Penyajian Masalah Matematika tanpa ECL

Jenis muatan kognitif yang terakhir disebut sebagai germane cognitive load (GCL) yang dapat diartikan sebagai jenis muatan kognitif yang “relevan”. Muatan kognitif ini timbul karena ICL dan ECL dapat diatur dengan baik oleh pikiran siswa [1-3]. GCL dapat dikatakan sebagai muatan kognitif yang produktif untuk mengarahkan siswa pada penguasaan pengetahuan yang sedang dipelajari. Sehingga disimpulkan bahwa kegiatan belajar sesungguhnya adalah upaya untuk mengoptimalkan GCL [1].

GCL sangat bergantung pada pengaturan ICL dan ECL oleh siswa sebagai pembelajar itu sendiri. Karena itu, peran guru matematika disini adalah wajib menguasai struktur kompleksitas materi pembelajaran dan kapasitas kognitif siswa. Tidak hanya itu, setelah memahami kedua hal tersebut guru dapat membantu siswa mengatur ECL dengan menyusun bahan pembelajaran dengan baik. Beberapa cara yang dapat dilakukan agar menghasilkan bahan pembelajaran yang baik adalah sediakan tuntunan yang jelas dalam bahan pembelajaran, hindarilah hal-hal yang dapat memecahkan perhatian siswa, hindari pula penyajian-penyajian informasi yang bersifat menumpuk dan yang terakhir penggunaan media pembelajaran yang memanfaatkan prinsip dual-coding theory (lihat [4, 5]).

GCL juga dapat distimulasi dengan kegiatan thinking-aloud atau self-explanation [1]. Kegiatan ini memberikan instruksi kepada siswa untuk mengungkapkan cara berfikirnya selama memahami materi pembelajaran. Dalam kegiatan ini, seolah-olah siswa menjelaskan kepada dirinya sendiri bagaimana dia mengamati, menanya, menemukan, mengklarifikasi dan memahami materi yang dipelajarinya. Selain itu siswa juga dapat difasilitasi dengan masalah yang identik (isomorphic) untuk diselesaikan tanpa melihat sumber belajar, dengan kata lain, hanya menggunakan pemahaman yang baru saja diperoleh. Kegiatan ini juga melatih keterampilan berfikir analogi yang sangat penting untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dengan kompleksitas tinggi. Belajar melalui  analogi akan menuntun siswa merumuskan kembali masalahnya dalam bahasa yang lebih familier, mengenali bahwa masalahnya serupa dengan masalah yang sudah familier bagi mereka, mengabtraksikan solusi untuk masalah yang sudah familier itu, dan mengaplikasikan solusi tersebut pada masalah yang hendak diselesaikannya.

REFERENSI

  1. Retnowati, E. 2016. Kajian masalah pembelajaran matematika di Sekolah Menengah Kejuruan dan alternatif solusinya. Artikel dipublikasikan dalam Pelatihan Pembelajaran Matematika Berbasis GeoGebra, Jurusan Pendidikan Matematika, Universitas Negeri Yogyakarta, 7 Oktober. (online)
  2. Retnowati, E., P. Ayres, and J. Sweller. 2017. Can Collaborative Learning Improve the Effectiveness of Worked Examples in Learning Mathematics? Journal of Educational Psychology. 109(5): 666–679. doi: 10.1037/edu0000167
  3. Sweller, J., Ayres, P., & Kalyuga, S. 2011. Cognitive load theory. New York, NY: Springer. http://dx.doi.org/10.1007/978-1-4419-8126-4
  4. Clark, J.M. and A. Paivio. 1991. Dual Coding Theory and Education. Educational Psychology Review. 3(3): 149-210. https://doi.org/10.1007/BF01320076
  5. Mayer, R.E. and V.K. Sims. 1994. For whom is a picture worth a thousand words? Extensions of a dual-coding theory of multimedia learning. Journal of Educational Psychology. 86(3): p. 389-401. https://doi.org/10.1037/0022-0663.86.3.389

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *