Sumber Foto: cbnnews.com
*Oleh Azhari Setiawan
Repost dari http://bit.ly/2CwzHt0
Resolusi Partisi (Palestina) Majelis Umum PBB 29 November 1947 menetapkan tentang pembentukan negara untuk rakyat Yahudi (Jewish) dan negara untuk rakyat Palestina (Palestinians) serta wilayah corpus separatum (daerah Jerusalem yang diberi status sebagai wilayah terpisah dan berada di bawah Rezim Internasional PBB) di bawah mandat atau perwalian PBB untuk Jerusalem dan lingkungannya.
Corpus Separatum Jerusalem tidak diperuntukkan kepada baik rakyat Yahudi maupun Palestina. Sesuai dengan Resolusi Majelis Umum PBB 194 wilayah ini disebut sebagai “permanent international regime for the territory of Jerusalem”.
Wilayah Corpus Separatum dahulu pada saat mandat ini dibuat, hidup 100.000 populasi orang Yahudi dan 105.000 populasi rakyat Palestina. Di wilayah Corpus Separatum ini terdapat 6,6 persen properti orang Yahudi. Sedangkan di wilayah Jerusalem yang dimandatkan untuk orang Yahudi berdasarkan pada Mandat PBB tidak lebih dari 24 persen.
Pada tahun 1948 setelah Perang Arab-Israel, wilayah tersebut berubah seiring dengan okupasi yang dilakukan oleh orang Israel yang berhasil mengokupasi 84,13 persen dari Wilayah Mandat PBB di Jerusalem. Wilayah itu yang dikenal sekarang sebagai Jerusalem Barat dimana di dalamnya terdapat hampir 30 persen kepemilikan tanah Yahudi. Di sisi lain, di bawah kontrol Jordan adalah Jerusalem Timur yang tersisa 11,48 persen dari Wilayah Jerusalem untuk Palestina dan 4,39 persen dari wilayah tersebut sebagai wilayah yang tidak bertuan atau wilayah netral (no-mans’s land between the two sectors). Pembagian wilayah ini berlangsung sampai pada tahun 1967, merupakan akhir dari gencatan senjata antara Israel dan Jordania. Dimana Israel menaklukan dan mengokupasi Jerusalem Timur pada Perang Enam Hari, Juni 1967.
Antara tahun 1949 dan pasca perang 1967 tersebut, terjadi pergeseran kebijakan Amerika Serikat dari yang mendukung Resolusi Jerusalem sebagai Corpus Separatum di bawah PBB kemudian berubah menjadi dukungan terhadap pembagian Jerusalem berdasarkan pada okupasi Israel di wilayah Barat dan okupasi Jordan di wilayah Timur meskipun okupasi ini tidak memiliki aspek legalitas yang formal. Segera setelah perang tahun 1967, Israel mengekspansi wilayah Jerusalem Timur dari 6 km persegi menjadi 73 km persegi, disertai penambahan jumlah warga Yahudi sebesar 180.000 jiwa.
Agenda ini berlanjut sampai pada tahun 1970-an dimana AIPAC terus melobi Kongres Amerika Serikat untuk membangun Kedutaan Besar di wilayah ini. Lobi tersebut hanya ‘mentok’ pada pendirian Kedutaan Besar di Tel Aviv dan Konsulat Jenderal di Jerusalem. Lobi-lobi politik di Kongres Amerika Serikat terkait dengan pendirian Kedutaan Besar ini terus menjadi satu dari sekian banyak manuver politik di tubuh perpolitikan domestik Amerika Serikat hingga sampai pada hari ini, pernyataan kontroversial Presiden Trump beberapa hari lalu tentang pemindahan Kedutaan Besar dari Tel Aviv ke Jerusalem.
Pernyataan Donald Trump bagaimanapun juga telah melanggar perjanjian dan aturan internasional yang dulu didorong dan diupayakan oleh Amerika Serikat sendiri. Dunia menilai Amerika Serikat tidak pantas menjadi peace process broker, alih-alih peace process breaker. Khaled Elgindy dalam artikelnya di harian Foreign Policy, menyatakan bahwa Trump telah melakukan sabotase terhadap proses perdamaiannya sendiri karena langkah Trump hanya merusak kredibilitas Amerika Serikat sebagai peace broker.[1] Ini adalah langkah terburuk sepanjang sejarah standar ganda politik Amerika Serikat di Timur Tengah.
Pada pernyataannya, Trump menyebutkan ‘Israel’ dan bukan ‘Palestine’, tapi ‘Palestinians’. Trump tidak menganggap Palestina dan Israel sebagai aktor yang setara. Palestinians berarti bahwa Palestina tidak disebut sebagai sebuah Negara tapi sebagai sebuah entitas politik biasa yang berbasis pada identitas tertentu, tidak seperti Isreal yang dianggap sebagia sebuah negara berdaulat.
Pernyataan tentang Palestina dan Israel yang terus ia ulang-ulang mendeskripsikan bahwa ini adalah isu sebuah Negara-bangsa dan sebuah ras manusia. Padahal, ini adalah tentang dua negara-bangsa yang sedang memperjuangkan pengakuan sehingga penyebutan “Isreal-Palestine” lebih tepat dan bermoral ketimbang “Israel-Palestinians”. Penulis teringat pada buku yang ditulis oleh Fareed Zakaria, “The Future of Freedom”. Singkatnya buku ini bercerita tentang “wajah lain” dari demokrasi seiring waktu dengan perjalanan dan perkembangannya. Bahwa ada dua fenomena, “Illiberal Democracy” dan “Liberal Autocracy” yang overlapped dari konsep ideal dari demokrasi liberal (Liberal Democracy) itu sendiri. Demokrasi hari ini kembali dipertanyakan. Demokrasi pada pernyataan Trump, “Jerusalem is not just the heart of three great religions, but it is now also the heart of one of the most successful democracies in the world” sesuai dengan konsep Fareed Zakaria. “Illiberal Democracy” di Jerusalem karena opresi dan kekerasan yang dialami oleh rakyat Palestina dan didukung dengan sikap Trump yang tidak sesuai dengan nilai-nilai liberal (kemerdekaan, kebebasan, dan persamaan hak).
Respon dunia internasional secara umum telah menyatakan tidak setuju dan keberatan atas keputusan Donald Trump yang dinilai sebagai suatu bentuk hasrat penepatan janji politik Trump, layaknya janji politik Trump atas Meksiko. Pada dasarnya, seluruh komunitas agama mengecam keputusan ini. Paus Fransiskus menyatakan bahwa ia sangat khawatir akan keputusan Trump dan meminta agar status quo Jerusalem (sebagai zona internasional) harus tetap dihormati. Menteri Luar Negeri Inggris, Boris Johnson, juga telah menyatakan keberatannya terhadap keputusan Donald Trump. Pernyataan keberatan ini pun diikuti oleh banyak negara-negara Eropa di sejumlah forum dan kesempatan resmi.
Tentang Al-Quds (Jerusalem)
Berpijak pada sejarah agenda Israel terhadap al-Quds, al-Quds merupakan rencana yang terakhir. Al-Quds adalah “jamuan terakhir” setelah Israel mampu menguasai seluruh wilayah Palestina. Sehingga status Al-Quds sebagai wilayah kedaulatan bersama menandakan bahwa memang al-Quds adalah kontestasi politik terakhir antara orang-orang Israel dengan Negara Palestina. Keputusan Donald Trump telah merubah agenda ini. Trump menjadikan al-Quds sebagai kontestasi politik yang dihadirkan terlalu awal.
Di sisi lain, daerah al-Quds yang dijadikan sebagai rencana Gedung Kedutaan Besar Amerika Serikat adalah tanah Wakaf ‘Dzurri’ orang Islam. Mungkin tidak banyak yang kenal dengan nama Syekh Muhammad al-Khalili, seorang wali dari Tarekat Qadiriiyah. Kekaisaran Ottoman bahkan membangunkan “Qubbat al-Khalili” (Dome of al-Khalili) di sekitaran kawasan sentral Haram al-Syarif (Temple Mount) sebelah utara Dome of Rock, Kota Tua, Jerusalem, sebagai bentuk dedikasi dan penghormatan kepada Syekh al-Khalili atas jasanya terhadap al-Quds dan waqafnya di al-Quds.
Menurut hukum syariat Islam, wakaf merupakan peruntukan terus-menerus, dari hal-hal tertentu untuk keuntungan dan kegunaan amal tertentu dalam Islam. Properti wakaf bisa disewa tapi tidak dijual atau dihadiahkan. Begitu sebuah properti dijadikan wakaf oleh pemiliknya yang sah, ia akan selamanya dialokasikan untuk tujuan amal yang didedikasikannya. Premis ini didasarkan pada konsep bahwa pemilik properti telah membuat “kontrak” dengan Tuhan bahwa propertinya akan menjadi wakaf untuk tujuan tertentu, dan karena itu dia tidak dapat membatalkan atau mengubah “kontraknya”, kecuali dengan persetujuan dari pihak lain yang terhubungan dengan kontrak tersebut, yaitu Tuhan itu sendiri. Waqf, singkatnya, dibuat atas nama Tuhan, dimotivasi oleh iman, dan digunakan atau dimanfaatkan untuk kepentingan ummat.
Syekh Muhammad Al-Khalili telah mewaqafkan Jerusalem yang mana tanah itu kini secara sepihak oleh Amerika Serikat akan dibangun gedung kedutaan besar. Wakaf ini terdaftar pada awal bulan Sya’ban tahun 1139 Hijriah. Tahun 1979, Professor Ishaq Musa al-Husaini dan Amin S. Abu Lail menyunting dokumen Al-Khalili dan dipublikasikan kembali oleh Jerusalem University tahun 1979 dengan judul “A Jerusalem Historical Document (dalam bahasa Arab)” yang didalamnya juga terdapat biografi dari Syekh Muhammad Al-Khalili, diskusi tentang Wakaf, Hikr, dan Khuluw, dan sebuah index dari Perpustakaan Al-Khalili dan Jerusalem abad ke-18.[2]
Wakaf Al-Khalili terdiri dari sebuah perpustakan dengan tujuh ribu jilid dan sebidang tanah yang didedikasikan kepada keluarga, saudara, dan keturunan atau penerus-penerusnya. [3] Wakaf ini dikenal dengan nama Wakaf Dzurri, yaitu wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan dan jaminan sosial dalam lingkungan keluarga/famili, lingkungan kerabat sendiri. Wakaf ini diperuntukkan untuk kemaslahatan seluruh keturunan, saudara, dan generasi-generasi setelahnya. Salah satu properti tersebut adalah wilayah al-Baq’a di al-Quds. Properti ini kemudian disewakan kepada Pemerintah Mandat Palestina yang dikenal dengan nama The Allenby Camp, diambil dari nama Jenderal Edmund H. Allenby dari Inggris, yang dulu menaklukkan Jerusalem pada 9 Desember 1917 pada Perang Dunia Pertama.[4]
Status sewaan Pemerintah Palestina ini putus pada 14 Mei 1948. Pada tanggal 15 Mei 1948, ketika Israel didirikan di wilayah Palestina, Properti Al-Khalili yang telah diwakafkan tersebut menjadi wilayah kuasa Israel. Bagi Israel, tanah tersebut diberi predikat “Absentee” yang kemudian menjadi wilayah kelola Israel, artinya bahwa tanah tersebut tidak bertuan dan setelah pendudukan Israel, wilayah tersebut dikelola oleh Israel. Tanah wakaf Al-Khalili dan juga properti di dalamnya kemudian dijadikan sebagai markas polisi orang-orang Israel, dan kemudian setelah Resolusi Partisi PBB di Palestina, daerah tersebut dibangun sebagai situs misi diplomatik Amerika Serikat (Konsulat Jenderal Amerika Serikat Jerusalem) di Israel.
Trump hanya menambah lapis-lapis emosional kemarahan dan kekecewaan yang tidak hanya ada ada umat muslim dunia namun juga umat-umat beragama lainnya. Pernyataan sepihak Trump tentang Jerusalem tidak bedasar, sepihak, dan tidak menunjukkan kedewasaan dan reputasi sebagai pemimpin negara peace broker antara Palestina dan orang-orang Israel.
Perubahan Geopolitik Timur Tengah
Dengan mengubah Jerusalem sebagai ibu kota Israel, Amerika Serikat akan mengubah peta geopolitik di Timur Tengah. Meski faktor domestik juga menjadi salah satu determinan, dimana Trump harus menghadapi investigasi terhadap dugaan peran Rusia pada pemilihan presiden Amerika Serikat yang berhubungan kuat dengan kemenangan dirinya. Pernyataan tentang pengakuan Ibu Kota orang-orang Israel ini telah membuyarkan fokus publik Amerika Serikat terhadap kasus tersebut.
Trump merepotkan semua orang. Timur Tengah pasca pernyataan Trump menjadi titik paling panas di dunia di samping Semenanjung Korea dan Ukraina. Jerusalem kemudian terfokus menjadi pusat konlik paling panas di dunia. Mengutip pernyataan Anis Matta dalam dialog di TV One 8 Desember 2017, Anis Matta menjelaskan bahwa enam tahun terakhir ini, Timur Tengah disibukkan dengan dua isu besar yaitu isu Arab Spring dan isu Kontra Arab Spring. Arab Spring melahirkan formulasi baru koalisi di Timur Tengah yang cukup rumit. Kejatuhan Morsi yang dinilai sebagai defining moment munculnya isu Kontra Arab Spring, mengubah kembali format koalisi di Timur Tengah.
Amerika Serikat selama enam tahun terakhir ini disibukkan dengan rumitnya pemetaan politik dan kepentingan aktor-aktor terkait yang multi-dimensi dan ketidakjelasan perubahan-perubahan format koalisi serta konstelasi politik di kawasan Timur Tengah. Secara umum, terjadi perubahan isu dari isu demokratisasi yang mewakili Arab Spring, bergeser ke arah isu Pembersihan Etnis dan Konflik Sekte (Sunni-Syiah) yang mewakili isu Kontra Arab Spring.
Pernyataan Trump akhirnya mengembalikan Palestina sebagai pusat konflik dan masalah di dunia Islam. Berbagai varian isu-isu di Timur Tengah berubah menjadi dua arus utama saja, negara “anti Israel” (Negara Perlawanan) dan negara “Pro Israel”. Negara Perlawanan diwakili oleh Turki, Iran, dan Qatar plus gerakan Hizbullah dan Hamas. Di seberangnya, diwakili oleh Amerika Serikat, Isreal, Arab Saudi, dan Mesir yang secara resmi telah memberikan sinyal dukungan terhadap pernyataan Trump. Menurut Anis Matta, polarisasi format koalisi ini memberikan peluang besar bagi Rusia yang notabene adalah sekutu terdekat Iran dan Turki saat ini untuk masuk ke dalam pertarungan politik di kawasan. Kehadiran Rusia pada konflik ini dinilai akan memperkuat kehadiran Rusia di konflik Suriah yang berhasil mempertahankan Bassar Assad dan berpotensi mengekspansi kehadiran tersebut ke sektor-sektor yang lain dan Palestina menjadi green card yang strategis bagi Rusia untuk mengubah citranya dan juga lansekap perpolitikan di Timur Tengah.
Penulis kemudian mencoba melacak bagaimana respon Rusia terhadap Trump. TASS (Telegraph Agency of the Soviet Union), harian berita internasional Rusia yang berpusat di Moskow, memberitakan pernyataan Vassily Nebenzya, Perwakilan Permanen (Permanent Representatives) Rusia di PBB, bahwa Moskow mengkhawatirkan langkah Washington yang telah menciptakan resiko besar bagi hubungan antara orang Israel dan rakyat Palestina serta dampaknya terhadap wilayah-wilayah lain. Rusia meminta PBB untuk mendorong proses politik yang bedasar (“meaningful political process”) untuk mencari solusi strategis yang berkelanjutan bagi penyelesaian konflik dan pendirian negara terpisah bagi Israel dan Negara Palestina (“two-state decision”). Nebenzya mengutarakan, “in this sense, the Quartet of International Mediators will remain as a unique meditation mechanism”. Artinya, Rusia memang memanfaatkan momen ini sebagai peluang untuk bisa masuk ke politik kawasan Timur Tengah via Palestina. Mediasi Internasional Kuartet yang dimaksud tentu menambahkan Rusia sebagai mediator kedua setelah Amerika Serikat. Seakan polarisasi format koalisi ini mengarah kembali kepada rivalitas antara Amerika Serikat dan Rusia. Namun, pertanyaan yang muncul selanjutnya ialah, jika memang dugaan peran Rusia pada Pemilu Amerika Serikat terbukti benar, bagaimana hubungan yang tidak biasa tersebut berdampak pada proses perdamaian di Palestina? Ini tentu menjadi teka-teki baru bagi masa depan konflik di Timur Tengah yang sepertinya menguntungkan Rusia.
Ketegangan di al-Quds diprediksikan akan terus meningkat setelah Hamas mengumumkan “Intifadah Hurriyah” Intifadah Pembebasan lewat pemimpinnya, Ismail Haniyeh. Ismail Haniyeh bahkan mencamkan bahwa Trump akan menyesali kebijakannya ini. Tidak saja Hamas, Hezbullah pun mendukung “The New Intifadah”. Di luar itu, Iran semakin mendapatkan ruang eskpansi yang besar di kawasan. Yang menarik adalah format koalisi ini disinyalir berpotensi menghilangkan atau menurunkan tensi konflik sectarian Sunni-Syiah. Faksi-faksi di Palestina pun akan bersatu karena kini memiliki momen dan energi baru untuk melihat Amerika Serikat dan sekutunya sebagai musuh bersama.
Selain itu, mengulas kembali analisis Anis Matta dalam dialog di TV One terkait dengan sidang OKI mendatang, pernyataan Trump memberikan tantangan eksistensial tersendiri bagi pemimpin-pemimpin negara-negara Islam. Seluruh mata akan tertuju pada negara-negara Islam, sejauh mana mereka membela masalah utama umat Islam, yaitu Palestina. Di antara pengecaman dan pernyataan tidak setuju yang telah dikeluarkan sejumlah negara kepada Amerika Serikat, perbedaan tingkat kebijakan setelah pengecaman tersebut akan menentukan sebenar-benarnya sikap negara-negara tersebut terhadap Islam.
Perhatian selanjutnya tertuju pada Turki yang belakangan ini sering direpresentasikan kepada pembela Islam. Turki sendiri terlihat berusaha merekalkulasi dan meningkatkan eksistensi politiknya di sejumlah isu-isu utama dalam dunia Islam dan di Timur Tengah secara geopolitik. Apalagi setelah pernyataan Trump, Turki dan Erdogan sebelumnya telah memberikan peringatan kepada Trump bahwa al-Quds adalah Redline umat Islam, batas kesabaran umat Islam.
Pemutusan hubungan diplomatik dengan Turki dinilai akan menjadi salah satu pilihan kebijakan melihat belakangan Turki dan Israel tidak mengalami peningkatan hubungan yang cukup signifikan baik secara politik-keamanan maupun politik-ekonomi, melainkan, agenda rekonsiliasi politik antara Turki dan Israel pada Juni 2016 pasca ketegangan publik dengan Simon Peres di World Economic Forum Davos 2009 dan kasus pembajakan kapal Mavi Marmara tahun 2010.
Working Paper dari BICOM (British Israel Communication and Research Centre)[5] mengemukakan bahwa yang dapat menguatkan rekonsiliasi hubungan Turki dan Israel antara lain: (1) kepentingan strategis bersama akan peningkatan eksistensi sebagai major power; (2) kerjasama potensial di bidang energi; (3) pedagangan; (4) kepentingan bersama di Caucasus; dan (5) operasi kontra-teror dan masalah di Suriah. Sedangkan yang menjadi ancaman bagi rekonsiliasi tersebut adalah (1) misi Erdogan mengembalikan kejayaan Turki sebagai pemimpin bagi dunia Islam; (2) Trump: dimulai dari populisme anti-Islam, hubungan Amerika Serikat dan bantuan terhadap kekuatan politik Kurdis, dan rencana pemindahan Kedutaan Besar Amerika Serikat ke Jerusalem; dan (3) Hamas, Gaza, dan Mesir: berangkat dari analisis bahwa rekonsiliasi dengan Israel lebih bersifat pragmatis dan tidak mengubah wordview Erdogan tentang posisi Turki sebagai pendukung secara politik maupun ekonomi terhadap Hamas dan Palestina serta ide kebangkitan Neo-Ottoman Empire yang dinilai didukung dengan ideologi Ikhwanul Muslimin. Berangkat dari analisis ini, faktor pelemahan atau ancaman terhadap rekonsiliasi politik Turki-Israel yang terlihat lebih dominan tidak menutup kemungkinan akan bermuara pada pemutusan hubungan diplomatik. Selain itu juga, dinamika politik domestik Turki pasca kemenangan Erdogan pasca referendum mengisyaratkan kondisi sosial-politik yang kondusif dan momen yang tepat untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel.
Posisi dan Sikap Indonesia
Terakhir, bagi Indonesia, isu ini secara langsung menuntut kehadiran politik sebagai negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia. Tidak lupa kita Presiden Joko Widodo menjadikan “Kemerdekaan Palestina” sebagai dagangan pemilunya di kampanye ataupun debat politik. Momen ini menjadi tuntutan tanggung jawab tersendiri bagi Presiden Joko Widodo akan komitmen dan janji kampanyenya.
Publik sempat terharu dan bangga dengan Menlu Retno Marsudi yang menggunakan Keffiyeh atau Syal Palestina pada Bali Democracy Forum dan menyatakan bahwa Indonesia mengutuk keras pernyataan Trump beberapa waktu lalu. Presiden Joko Widodo juga telah memberikan pernyataan resmi mengecam keras keputusan Trump. Namun, publik kembali dibuat bingung dengan pengakuan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Joseph Donovan yang mengatakan bahwa Amerika Serikat sebelumnya telah berkonsultasi dengan Indonesia soal pengumuman Presiden Donald Trump tentang pemindahan Kedutaan Besar ke Jerusalem.[6] Pernyataan ini kemudian cepat di tepis oleh Menlu Retno Marsudi yang mengkhawatirkan bahwa konteks “konsultasi” yang digunakan oleh Dubes Amerika Serikat jadi salah dipersepsikan. Menlu Retno Marsudi mengklarifikasi bahwa konsultasi yang disampaikan oleh Dubes AS tersebut adalah komunikasi yang dimulai dari Indonesia yang memanggil Dubes AS untuk menyampaikan posisi Indonesia. Menlu Retno Marsudi menguatkan klarifikasi bahwa Indonesia sudah menyampaikan kembali bahwa pengumuman Presiden Trump akan membahayakan proses perdamaian dan perdamaian itu sendiri.[7]
Pada akhirnya, masyarakat Indonesia bisa dipastikan akan memantau terus perkembangan sikap dan kebijakan Indonesia terhadap pengumuman Donald Trump. Kehadiran politik yang lebih dari sekedar pernyataan kecaman akan menjadi tuntutan utama bagi masyarakat Indonesia secara umum tentunya. Saya sependapat dengan pernyataan Anis Matta di TV One beberapa waktu lalu bahwa ini adalah momen yang tepat bagi Indonesia untuk mengeluarkan kebijakan tentang pengelolaan khusus dana kemanusiaan untuk rakyat Palestina. Selama ini Indonesia sudah berkontribusi baik dalam memfasilitasi organisasi-organisasi kemanusiaan Indonesia yang sudah banyak memberikan bantuan-bantuan kemanusiaan terhadap Palestina. Ini adalah saat yang tepat untuk memformalisasi peran tersebut dari fasilitator menjadi aktor utama pengelolaan dana kemanusiaan untuk Palestina.
Namun penulis sendiri masih membayangkan adanya perlawanan eksistensial yang lebih besar terhadap Trump. Sidang OKI di Istanbul nanti harusnya bisa menjadi momentum itu. Ia bisa menjadi momentum persatuan negara-negara Islam yang mendukung kemerdekaan Palestina, ia juga bisa menjadi momentum rekalkulasi politik kawasan yang baru antara negara-negara Islam di kawasan terutama terkait dengan format koalisi baru pasca deklarasi Trump.
Saya sedikit melihat titik cerah pada pernyataan Trump, “We are not taking a position of any final status issues, including the specific boundaries of the Israeli sovereignty in Jerusalem, or the resolution of contested borders. Those questions are up to the parties involved.” Saya melihat bahwa dengan ini sepertinya negara manapun bisa saja membangun Kedutaan Besar di wilayah al-Quds. Turki bisa saja memindahkan Kedutaan Besarnya untuk Palestina dari Amman, Jordania ke Jerusalem Timur, atau bahkan mungkin di perbatasan paling baratnya terhadap Jerusalem Barat. Negara-negara yang tidak setuju dengan Trump juga bisa melakukannya. Karena Trump sudah menjelaskan bahwa pemindahan Kedutaan Besar Amerika Serikat ke Jerusalem tidak memiliki kaitan dengan status final Jerusalem, termasuk batas spesifik Israel di Jerusalem, atau resolusi terkait dengan batas wilayah yang diperebutkan oleh kedua belah pihak.
Artinya, meski Amerika Serikat mengakui Jerusalem sebagai Ibu Kota Israel, Amerika Serikat belum mengambil posisi kebijakan terkait status final dan batas wilayah kedaulatan Israel dan Palestina. Pernyataan ini membuka peluang bagi negara-negara lain juga bisa mengeluarkan kebijakan serupa. Turki bisa saja mengeluarkan kebijakan pengakuan Jerusalem sebagai Ibu Kota Palestina. Melihat bahwa pembangunan Kedutaan Besar bisa memakan waktu tiga sampai empat tahun, penulis rasa deklarasi atau pengumuman akan pengakuan Jerusalem sebagai Ibu Kota Palestina sah-sah saja dan sesuai dengan pernyataan Trump sendiri. Turki, Iran, Qatar, ataupun bahkan Rusia juga bisa menyatakan pengakuan yang sama dan juga mengeluarkan pernyataan yang sama bahwa pengakuan ini tidak mengisyaratkan penentuan posisi politik manapun yang berkaitan dengan status final Jerusalem, batas spesifik kedaulatan Israel-Palestina di Jerusalem, atau resolusi terhadap batas wilayah yang dipersengkatakan.
Betul pula apa yang dikatakan Alexander Wendt bahwa, “anarchy is what states make of it”[8]. Amerika Sendiri yang telah me-rekonstruksi status quo gagasan Jerusalem sebagai Ibu Kota Israel menjadi sebuah center of regional flashpoints di Timur Tengah dan memunculkan keadaan dasar dari sistem internasional yang bersifat anarki naik ke atas permukaan kontestasi dan konstelasi geopolitik di kawasan. Dilanggarnya konsensus internasional terhadap al-Quds adalah sebuah konstruksi sosial baru dari Amerika Serikat bahwa [memang] tidak ada otoritas tertinggi yang bersifat supra nasional di atas negara [baca: Amerika Serikat] setelah ini di al-Quds. Amerika Serikat kini punya identitas baru, dari “Peace Broker” menjadi “Peace Breaker”.
Footnote
[1] Khaled Elgindy, “Trump Just Sabotaged His Own Peace Process”, Foreign Policy, December 6, 2017, diakses dari https://foreignpolicy.com/2017/12/06/trump-just-sabotaged-his-own-peace-process/.
[2] A.F. Kasssim, The Palestine Yearbook of International Law, (Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 1997), Hlm. 326.
[3] Ibid.
[4] Ibid., Lebih jelas tentang status wilayah wakaf ini bisa lihat Walid Khalidi, “The Ownership of The U.S. Embassy Site in Jerusalem”, Jerusalem Quarterly, Vol. 29 No. 4, 1999/2000. Diakses dari http://www.palestine-studies.org/sites/default/files/jq-articles/Pages%20from%20JQ%2070%20-%20Khalidi.pdf.
[5] BICOM, “Israel-Turkey Relations”, BICOM Briefing, April 2017, BICOM. Hlm. 1-4.
[6] Indah Mutiara Kami, “Dubes AS Klaim Sudah Konsultasi dengan Indonesia Soal Yerusalem”, Detik.com, Kamis 7 Desember 2017, diakses dari https://news.detik.com/berita/3759040/dubes-as-klaim-sudah-konsultasi-dengan-indonesia-soal-yerusalem
[7] Tsarina Maharani, “Menlu Retno Luruskan Klaim Dubes AS Soal Konsultasi Terkait Yerusalem”, Detik.com, Kamis 7 Desember 2017, diakses dari https://news.detik.com/berita/d-3759333/menlu-retno-luruskan-klaim-dubes-as-soal-konsultasi-terkait-yerusalem
[8] Alexander Wendt, “Anarchy is what States Make of it: The Social Construction of Power Politics”, International Organizations, Vol. 46, No. 2 (Spring 1992): 391-425.
*Azhari Setiawan adalah Dosen muda Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan politik Universitas Riau
Warung Sains Teknologi (Warstek) adalah media SAINS POPULER yang dibuat untuk seluruh masyarakat Indonesia baik kalangan akademisi, masyarakat sipil, atau industri.