Para peneliti di Universitas Teknologi Chalmers, Swedia, telah melakukan studi pertama di dunia yang mengkaji dampak lingkungan dari awal hingga akhir dari pesawat listrik dua tempat duduk yang sudah ada. Mereka membandingkan langsung dengan pesawat sejenis yang menggunakan bahan bakar fosil. Evaluasi siklus hidup (LCA) yang dilakukan ini mempertimbangkan semua tahap, mulai dari produksi komponen pesawat hingga penggunaan dan pemrosesan akhirnya. Menurut hasil studi tersebut, setelah hanya seperempat dari masa pakai yang diharapkan, pesawat listrik menunjukkan dampak lebih rendah terhadap iklim dibandingkan dengan pesawat yang menggunakan bahan bakar fosil, asalkan listrik yang digunakan berasal dari sumber yang ramah lingkungan, seperti listrik hijau dari sumber energi terbarukan seperti tenaga surya atau angin. Namun, ada catatan penting yang muncul dari penelitian ini, yaitu adanya peningkatan dalam kelangkaan sumber daya mineral. Kelangkaan ini merupakan hasil dari penggunaan material tertentu dalam pembuatan pesawat listrik yang membutuhkan bahan-bahan mineral yang mungkin langka di alam. Oleh karena itu, sementara pesawat listrik menawarkan manfaat lingkungan yang signifikan, penting juga untuk mempertimbangkan dampaknya terhadap sumber daya alam yang ada.
Penerbangan telah berkembang secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir dan kini menjadi penyumbang sekitar 2 persen dari total emisi karbon dioksida di seluruh dunia, serta sekitar 4 persen dari semua dampak perubahan iklim setiap tahunnya. Meskipun penerbangan memiliki andil besar dalam perubahan iklim dan masalah lingkungan lainnya, ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengurangi dampaknya. Salah satu solusinya adalah dengan menggunakan pesawat listrik. Pesawat-pesawat listrik pertama sudah mulai beroperasi saat ini, terutama digunakan untuk pelatihan pilot dan penerbangan pendek di sekitar wilayah terdekat. Penelitian yang dilakukan pada pesawat listrik bertujuan untuk memahami dampaknya terhadap lingkungan secara menyeluruh, dari awal produksi hingga akhir masa pakainya.
Baca juga: Hydrofoil, Teknologi Perkapalan Dengan Prinsip Kerja Sayap Pesawat (warstek.com)
Penelitian: pesawat yang sama, tapi berbeda
Tim meneliti pesawat listrik bertenaga baterai yang bisa dibeli secara komersial dengan dua kursi, yang dikenal sebagai “Pipistrel Alpha Electro”, dalam evaluasi siklus hidup. Ada juga varian pesawat yang sama yang menggunakan bahan bakar fosil, sehingga para peneliti dapat membandingkannya secara langsung. Mereka menginvestigasi seluruh dampak dari masing-masing pesawat dari tahap “dari awal hingga akhir”—mulai dari ekstraksi bahan mentah hingga akhir masa pakai—dengan mengukur satu jam waktu terbang sebagai unit fungsional. Data dan informasi dari produsen pesawat memberikan kontribusi penting dalam penelitian ini.
Dalam penelitian ini, berbagai kategori dampak dipertimbangkan, dengan fokus utama pada pemanasan global akibat emisi gas rumah kaca, seperti karbon dioksida. Selain itu, juga diperhitungkan kelangkaan sumber daya mineral yang digunakan dalam produksi pesawat, seperti litium untuk baterai, serta pembentukan partikel zat padat dan asidifikasi akibat emisi yang bersifat asam. Selain itu, terdapat pula perhitungan mengenai pembentukan ozon di permukaan tanah dari emisi nitrogen oksida dan hidrokarbon.
Seperti halnya mobil listrik, pesawat listrik awalnya cenderung memiliki dampak yang lebih besar terhadap iklim, terutama karena produksi baterai yang membutuhkan banyak energi. Namun, seiring berjalannya waktu, dampak relatif ini berkurang karena manfaat pesawat listrik yang dapat digunakan tanpa emisi. Semakin lama pesawat listrik digunakan, semakin besar manfaatnya bagi lingkungan, dan pada titik tertentu, manfaatnya akan melampaui dampak negatifnya.
Setelah sekitar 1.000 jam terbang, pesawat listrik mulai menunjukkan keunggulan dalam hal dampak iklim yang lebih rendah dibandingkan dengan pesawat berbahan bakar fosil. Hal ini diukur dalam kg CO2 ekivalen/jam – karbon dioksida setara per jam terbang dan berlaku dalam kondisi optimal, di mana energi hijau digunakan. Ini berarti, dalam kondisi optimal di mana energi hijau digunakan, setiap jam terbang pesawat listrik setelah titik ini akan memberikan manfaat bagi lingkungan dibandingkan dengan penggunaan pesawat konvensional. Masa pakai pesawat diperkirakan setidaknya mencapai 4.000 jam, atau empat kali lebih lama dari waktu yang diperlukan untuk mencapai titik impas.
Baterai Baru dan Lebih Baik untuk Masa Depan yang Lebih Hijau
Dalam studi tersebut, para peneliti membahas pentingnya pengembangan lebih lanjut dalam bidang baterai sebagai langkah besar untuk mengurangi dampak keseluruhan pesawat listrik terhadap lingkungan. Saat ini, meskipun penelitian sudah dilakukan, produsen dari model pesawat tersebut telah berhasil meningkatkan umur baterai hingga tiga kali lipat dari sebelumnya. Kemajuan dalam teknologi baterai yang baru bisa membantu dalam meningkatkan dampak terhadap perubahan iklim serta mengurangi kelangkaan sumber daya mineral.
Referensi :
[1] https://link.springer.com/article/10.1007/s11367-023-02244-z diakses pada 16 Februari 2024
[2] Rickard Arvidsson, Anders Nordelöf, Selma Brynolf. Life cycle assessment of a two-seater all-electric aircraft. The International Journal of Life Cycle Assessment, 2023;