Di era globalisasi dan kemajuan teknologi yang pesat, kebutuhan akan peneliti semakin meningkat. Namun, Indonesia menghadapi masalah serius: jumlah peneliti di negeri ini masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Situasi ini, yang sering disebut sebagai “krisis peneliti,” menjadi tantangan besar bagi upaya bangsa untuk bersaing di tingkat global.
Salah satu penyebab utama krisis ini adalah kurangnya perhatian terhadap program pendidikan berbasis STEM (Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika). Dibandingkan dengan program studi di bidang sosial dan humaniora, jumlah program studi STEM di Indonesia masih sangat sedikit. Kondisi ini membuat lulusan di bidang-bidang strategis tersebut juga minim, sehingga menekan angka partisipasi dalam penelitian ilmiah. Jika tidak segera diatasi, krisis ini dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan pengembangan teknologi dalam jangka panjang.
Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Amich Alhumami, mendorong perguruan tinggi untuk memperluas program studi (prodi) berbasis sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM). Menurutnya, peningkatan jumlah prodi STEM dapat membantu mencetak lebih banyak ilmuwan di bidang hard sciences, yang saat ini masih kurang di Indonesia.
“Di banyak negara, ilmuwan dalam kelompok hard sciences sangat mendominasi. Namun, Indonesia masih kekurangan tenaga ahli di bidang ini. Dengan menambah jumlah sarjana lulusan STEM, kita bisa perlahan meningkatkan jumlah ilmuwan di tanah air,” ungkap Amich seperti dilansir dari laman Puslapdik, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbud), Selasa (17/12/2024).
Amich juga menambahkan bahwa penguatan program pendidikan di bidang STEM tidak hanya menghasilkan lebih banyak ilmuwan, tetapi juga berpotensi meningkatkan peringkat Programme for International Student Assessment (PISA) Indonesia. Pada tahun 2022, posisi Indonesia berada di peringkat 69 dari 80 negara, menunjukkan perlunya perbaikan signifikan dalam kemampuan siswa di bidang matematika, sains, dan membaca. Dengan fokus pada STEM, diharapkan generasi muda Indonesia dapat memiliki kompetensi yang lebih baik untuk bersaing di kancah global.
Jumlah Program Studi (Prodi) STEM (Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika) di Indonesia masih jauh lebih sedikit dibandingkan dengan prodi bidang sosial dan humaniora. Berdasarkan data Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti) tahun 2022, tercatat ada 16.979 prodi non-STEM, sementara prodi STEM hanya berjumlah 13.047.
Jika dilihat dari jumlah mahasiswa, kesenjangan ini semakin terlihat. Pada tahun 2020, tercatat lebih dari 6,1 juta mahasiswa memilih prodi non-STEM, sedangkan mahasiswa prodi STEM hanya sekitar 2,8 juta. Ketimpangan ini berkontribusi pada rendahnya jumlah lulusan STEM di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Berdasarkan data World Bank tahun 2020, lulusan prodi STEM di Indonesia baru mencapai 18,47 juta orang. Sebagai perbandingan, Vietnam menghasilkan 23,38 juta lulusan, Thailand 27,31 juta, Malaysia 37,19 juta, dan Singapura 34,3 juta.
Kurangnya Prodi STEM Berpengaruh pada Jumlah Peneliti
Indonesia menghadapi tantangan serius dalam upaya meningkatkan jumlah peneliti, salah satunya adalah kurangnya program studi berbasis STEM (Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika) di perguruan tinggi. STEM, yang menjadi fondasi utama untuk melahirkan inovasi teknologi dan kemajuan ilmiah, masih kalah populer dibandingkan dengan program studi di bidang sosial dan humaniora. Akibatnya, angka lulusan STEM di Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga.
Minimnya prodi STEM di Indonesia berdampak pada jumlah peneliti di dalam negeri. Berdasarkan data PDDikti tahun 2022, dari setiap 1 juta penduduk, hanya ada 1.595 peneliti di Indonesia. Selain itu, jumlah peneliti bergelar doktor (S3) juga sangat sedikit, hanya 2.024 peneliti dari 1 juta penduduk.
Perbandingan ini sangat jauh dengan negara tetangga seperti Singapura, yang memiliki 7.225 lulusan S3 per 1 juta penduduk. Kondisi ini juga memengaruhi posisi Indonesia di panggung internasional. Dengan hanya 1.595 peneliti per satu juta penduduk, Indonesia tertinggal jauh dari Singapura yang memiliki lebih dari 7.200 peneliti per satu juta penduduk. Krisis ini tidak hanya berdampak pada sektor pendidikan dan penelitian, tetapi juga menghambat inovasi teknologi yang diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan menyelesaikan berbagai permasalahan nasional, seperti ketahanan pangan, perubahan iklim, dan teknologi kesehatan.
Tanpa langkah konkret untuk menambah program studi STEM, terutama di luar Pulau Jawa, dan meningkatkan minat generasi muda terhadap bidang ini, Indonesia berisiko semakin tertinggal dalam persaingan global di era yang semakin mengandalkan inovasi dan teknologi.
REFERENSI:
Jatnika, Yanuar. 2024. Perguruan Tinggi Didorong Perbanyak Prodi Berbasis STEM. https://puslapdik.kemdikbud.go.id/perguruan-tinggi-didorong-perbanyak-prodi-berbasis-stem/. Diakses pada 19 Desember 2024.