Agen Hayati Penyelamat Lingkungan Sejati: Pendekatan Biologi untuk Mengatasi Pencemaran Minyak Bumi

Ditulis Oleh Ade Brian Mustafa Semua operasi industri berbasis perminyakan, mulai dari eksplorasi dan produksi minyak bumi, transportasi hasil eksplorasi, […]

blank

Ditulis Oleh Ade Brian Mustafa

Semua operasi industri berbasis perminyakan, mulai dari eksplorasi dan produksi minyak bumi, transportasi hasil eksplorasi, refining/ penyulingan dan manajemen lainnya yang terkait adalah sumber utama polusi air, tanah, dan udara. Tumpahan minyak yang terjadi dapat menimbulkan masalah yang serius terhadap lingkungan. Apabila terjadi kasus tumpahan minyak, ada beberapa cara yang dapat dilakukan. Metode konvensional meliputi adsoprsi tumpahan minyak dari badan air, penggalian (excavation) dan perlakuan lain menggunakan metode fisika, kimia, dan biologi. Namun, metode yang efektif untuk usaha remediasi dan restorasi lingkungan terus menerus dicari. Dari berbagai metode yang saat ini tersedia untuk membersihkan kontaminasi hidrokarbon, remediasi dengan metode biologi memiliki prospek yang lebih menguntungkan ditinjau dari berbagai aspek.

Bioremediasi minyak bumi mengunakan mikroorganisme hayati ataupun tanaman untuk membersihkan (clean up) lokasi yang terkena kontaminasi. Dalam hal ini, prinsip –prinsip hidrogeologi dan ke-teknikan tetap digunakan untuk mendesain teknologi bioremediasi yang lebih sesuai. Banyak mikroorganisme mampu beradaptasi menggunakan aktivitas katabolisme selular untuk mengubah senyawa polutan berbahaya sebagai sumber makanan atau energinya, dan selanjutnya me-mineralisasi senyawa organik kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana, karbondioksida dan juga molekul air. Degradasi mikroba untuk polutan tumpahan minyak ini memiliki biaya yang lebih efektif dan ramah lingkungan.

Biodegradasi minyak bumi adalah suatu proses yang alami. Perubahan komposisi hidrokarbon pencemar, yang terpengaruh oleh berbagai faktor fisik, kimia, dan biologi dikenal dengan istilah weathering. Ada banyak sumber mikroorganisme yang dapat menggunakan hidrokarbon sebagai sumber karbon dan energi utama, dan spesies-spesies ini banyak terdapat di alam. Secara alami, hidrokarbon didegradasi oleh beragam bakteri, yeast dan fungi berfilamen, alga, sianobakteria dan beberapa organisme protozoa. Kebanyakan dari mikroba pendegradasi hidrokarbon tergolong sebagai bakteri gram negatif. Penelitian terdahulu oleh Song et al. pada tahun 1986 menyebutkan bahwa 82% mineralisasi n-hexadecane pada tanah pasir berlempung didominasi oleh peranan bakteri, sementara hanya 14% oleh fungi.

 Berdasarkan laporan dari publikasi Leahy dan Colwell (1990), mikroba pendegradasi hidrokarbon yang paling efektif baik untuk aplikasi di tanah atau perairan adalah spesies dari Acinetobacter, Pseudomonas, Alcaligenes, Arthrobacter, Achromobacter, Bacillus, Flavobacterium dan Nocardia. Untuk yeast, didominasi oleh spesies Aureobasidium, Candida, Rhodotorula dan Sporobolomgers. Serta untuk fungi, terdapat spesies Trichoderma, Mortiecerella, Penicillium dan Aspergillus.

Dalam satu dekade terakhir, sudah banyak mikroba laut (marine bacteria) dengan hidrokarbon sebagai sumber karbon utama yang sudah diisolasi dan karakterisasi. Beberapa spesies itu, antara lain Alcanivorax, Cycloclasticus, Oleiphilus, Oleispira, Thalassolituus dan beberapa member genus dari Planomicrobium (yang dikenal sebagai Planococcus). Alcanivorax spp., Oleiphilus spp., Oleispira spp., Thalassolituus spp. dan Planomicrobium spp. Secara keseluruhan, mikroba tersebut menggunakan hidrokarbon jenuh baik rantai bercabang maupun tunggal, semantara Cycloclasticus spp. mampu memanfaatkan berbagai hidrokarbon aromatik polisiklik.

Dalam proses bioremediasi, adalah hal yang sangat penting untuk menganalisis struktur komunitas mikroba yang ada secara real-time dan perubahannya selama biodegradasi berlangsung. Karena mayoritas perlakuan berbasis miktoba bergantung terhadap aktivitas komunitas mikrobial yang cukup kompleks, kita masih harus terus mempelajari bagaimana interaksi dan peran spesies individiual saling bergantung dalam komunitas tersebut. Perubahan temporal dan spasial mikroba dan keragamannya selama proses biodegradasi dapat dianalisis dengan mengkombinasikan teknik molekular, kimiawi dan instrumental. Penemuan terbarukan terkait metode molekular, dikombinasikan dengan informasi genomik, sangat membantu ahli mikrobiologi lingkungan dalam menganalisis interelasi mikrob pendegradasi minyak bumi.

Bagaimana proses biodegradasi limbah minyak bumi itu sendiri?

Di banyak negara berkembang, biodegradasi lahan atau perairan terkontaminasi minyak hidrokarbon menggunakan proses/ mekanisme “landfarming” dimana tanah terkontaminasi diperkaya dengan nutrisi, dan secara periodik dilakukan pengolahan tanah dan irigasi untuk menstimulasi pertumbuhan populasi mikrob pendegradasi minyak bumi (periode ini umumnya membutuhkan waktu 6 hingga 24 bulan). Suatu unit lahan (landtreatment) dapat diinstalasi bersamaan dengan sistem pengumpulan air limbah rembesan (leachate) untuk mencegah terjadinya kebocoran air yang mengandung molekul hidrokarbon. Teknik landfarming ini efektif dari segi pembiayaan untuk mendegradasi tumpahan minyak, jika sistem perlakuan didesain dengan mekanisme transfer polutan-polutan pencemar ke lingkungan luar dapat dicegah atau dikurangi. Salah satu kelemahan dari sistem ini adalah rendahnya konsentrasi hidrokarbon yang dapat dirombak, dengan persentase kurang dari 80%, dimana hasil ini tidak memenuhi standar lingkungan dibanyak negara.

Pendekatan selanjutnya menggunakan komposting yang melibatkan pencampuran tanah terkontaminasi dengan material organik seperti jerami padi, serbuk kayu, atau limbah rumah tangga untuk meningkatkan aerasi tanah (sirkulasi udara antar ruang pori tanah) dan menempatkan campuran tersebut pada suatu site khusus untuk meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme pendegradasi senyawa hidrokarbon. Adapun teknik lain dinamakan dengan biofil (biopile), dimana instalasi jaringan pipa (sparger pipes) dan sistem penampung air lindi (leachate water) digunakan untuk air mengandung hidrokarbon. Perlakuan jangka panjang pada sistem landfarming atau pun komposting ini sangat bergantung kepada parameter yang mempengaruhi aktivitas mikroba, yang meliputi kelembapan, kandungan oksigen, temperatur, Ph, dan heterogenisasi campuran. Selanjutnya, Van Hamme et al. pada tahun 2003 mengemukakan bahwa pemasangan bioreaktor dapat memudahkan kontrol untuk berbagai parameter operasional. Dari bioreaktor ini, aspek tambahan yang ditawarkan adalah aerasi yang tidak berhenti (continous aeration) dan pencampuran untuk desorpsi hidrokarbon dari tanah ke fase cair, dan juga mampu menyediakan oksigen yang cukup untuk mikrob sehingga dapat meningkatkan laju biodegradasi.

Bioremediasi tanah terkontaminasi minyak bumi, dengan kehadiran dari konsorsium mikroba, nutrien inorganik, kompos, dan agen pemadat (bulking agent) menunjukkan degradasi sebesar 60-80% menurut Vasudevan dan Rajaram (2001). Sementara itu, bahan penambah menurut Rahman et al. (2002) seperti limbah peternakan, sabut kelapa, dan surfaktan mengandung rhamnolipid dalam meremediasi hidrokarbon menunjukan angka sebesar 67-78%. Penambahan bioremediasi in-situ secara anaerobik menggunakan substrat organik antara lain asetat, propionat, butirat, benzoat, glukosa, laktat, metanol, dan toluene sudah dikaji terhadap pelarut mengandung klorin (chlorinated solvent) (Ellis et al. 2000). Riset selanjutnya terkait pengembangan inokulasi mikrob untuk bioremediasi menggunakan hidrokarbon sebagai sumber karbon utamanya dan energi menggunakan metode fermentasi juga sudah mulai dilakukan.

Secara biologi, penggunaan tanaman untuk meremediasi lahan terkontaminasi minyak juga makin pesat penggunaannya. Fitoremediasi melibatkan tanaman-tanaman tertentu dan mikroorganisme di rhizospere-nya baik dengan menyediakan kondisi yang sesuai untuk mendegradasi kontaminan oleh mikroba diperakaran tanaman tersebut, atau dengan memberikan koneksi langsung dengan perakaran tanaman. Riset ini dikembangkan oleh Monetsinos pada tahun 2003, dilanjutkan oleh Kramer pada 2005 dan Macek et al pada 2008. Secara garis besar, metode fitoremediasi tanah ini meliputi:

  1. Fitostabilisasi, dimana tanaman memiliki sistem perakaran yang ektensif, menjadi penutup tanah yang baik (soil cover) untuk mengurangi erosi air permukaan maupun pengaruh angin, memiliki toleransi terhadap kontaminasi logam-logam, dan meng-imobilisasi kontaminan di perakaran tanaman.
  2. Fitovolatilisasi, dimana kontaminan hidrokarbon, setelah diserap (uptake) oleh tanaman, selanjutnya di volatilisasi (dijadikan bentuk uap) ke atmosfer. Namun, metode ini tidak cocok untuk aplikasi komersil.
  3. Fitostimulasi, dimana perakaran tanaman menghasilkan eksudat (suatu bentuk material kimiawi yang dihasilkan oleh jaringan tumbuhan) dan selanjutnya, mendorong pertumbuhan dan aktivitas mikroba rhizosfer untuk menstimulasi kontaminan limbah.
  4. Fitotransformasi, dalam mekanisme ini bentuk kontaminan hidrokarbon secara umum diubah menjadi senyawa atau bentuk yang tidak berbahaya didalam jaringan tanaman.
  5. Fitoekstraksi, merupakan mekanisme pengumpulan (concentrating) kontaminan hidrokarbon didalam jaringan tanaman yang berada diatas permukaan tanah (above-ground tissues). Selanjutnya, biomassa tersebut diambil (harvested), dikeringkan atau diinsenerasi, dan selanjutnya dibuang ke tempat yang lebih aman, atau dikirim ke smelter untuk dibakar.

Di Indonesia, riset terkait pendekatan biologi untuk mengatasi pencemaran minyak bumi sudah banyak dilakukan. Beberapa proyek pun dengan payung penelitian serupa sudah banyak dikerjakan baik antar lembaga riset nasional, perguruan tinggi dan sektor swasta. Diharapkan, dari hasil-hasil riset tersebut, upaya yang lebih integral dan terstruktur sangat dibutuhkan, untuk mengatasi dampak negatif dari terjadinya pencemaran minyak ke lingkungan. Kesehatan manusia dalam jangka panjang tentu akan menjadi taruhannya jika tumpahan minyak ini tidak ditangani secara serius, cepat, efektif, dan efisien.

Referensi

  • Ellis DE, Lutz EJ, Odom JM, Buchanan RJ, Bartlett CL, Lee MD, Harkness MR, Deweerd KA (2000) Bioaugmentation for accelerated in situ anaerobic bioremediation. Environ Sci Technol 34:2254–2260
  • Krämer U (2005) Phytoremediation: novel approaches to cleaning up polluted soils. Curr Opin Biotechnol 16:133–141
  • Leahy JG, Colwell RR (1990) Microbial degradation of hydrocarbons in the environment. Microbiol Rev 54:305–315
  • Macek T, Kotrba P, Svatos A, Novakova M, Demnerova K, Mackova M (2008) Novel roles for genetically modified plants in environmental protection. Trends Biotechnol 26:146–152
  • Monetsinos E (2003) Plan-associated microorganisms: a view from the scope of microbiology. Int Microbiol 6:221–233
  • Rahman KS, Banat IM, Thahira J, Thayumanavan T, Lakshmanaperumalsamy P (2002) Bioremediation of gasoline contaminated soil by a bacterial consortium amended with poultry litter, coir pith, and rhamnolipid biosurfactant. Bioresour Technol 81:25–32
  • Song HG, Peterson TA, Bartha R (1986) Hydrocarbon mineralization in soil: relative bacterial and fungal contribution. Soil Biol Biochem 18:109–111
  • Van Hamme J, Singh A, Ward OP (2003) Recent advances in petroleum microbiology. Microbiol Mol Biol Rev 67:503–549
  • Vasudevan N, Rajaram P (2001) Bioremediation of oil sludge contaminated soil. Environ Int 26:409–411

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *