Indonesia kembali berduka atas musibah tsunami Selat Sunda yang menghantam wilayah Banten dan Lampung pada Sabtu, 22 Desember 2018. Tercatat pada peristiwa tersebut 431 orang meninggal dunia, 7.200 orang luka-luka, 15 orang hilang, dan 46.646 orang mengungsi [1]. Diketahui penyebab tsunami tersebut adalah akibat dari longsornya kawah gunung Anak Krakatau setelah meletus ke laut yang kemudian menyebabkan gelombang tsunami. Hal tersebut terbukti dari beberapa citra foto hasil analisis visual badan vulkanologi Indonesia yang menemukan bahwa gunung Anak Krakatau kehilangan dua per tiga dari ketinggian awalnya (dari ketinggian awal 338 meter menjadi 110 meter setelah meletus)[2].
Berdasarkan hal tersebut, kita harus mencari cara lebih cerdas dengan memanfaatkan kemajuan teknologi-teknologi yang ada guna mengurangi jumlah korban akibat tsunami entah yang disebabkan oleh gempa bumi ataupun akibat longsoran gunung berapi ke laut seperti Anak Krakatau. Salah satu dari teknologi tersebut adalah kecerdasan buatan atau dikenal sebagai AI (artificial intelligent).
Beberapa tahun terakhir riset pada bidang AI mengalami kemajuan pesat dan juga didukung oleh berbagai fasilitas seperti GPU (Graphical Processing Unit) dan TPU (Tensor Processing Unit). GPU dan TPU yang disediakan oleh pihak perusahaan pengembang teknologi pemroses seperti NVIDIA (GPU) dan Google (TPU) serta perusahaan lainnya telah menyebabkan percepatan pada pengembangan AI.
Nah, pada kesempatan kali ini penulis akan menjelaskan sebuah hasil riset dari Aristotle University of Thessaloniki (AUTh), Yunani. Para peneliti dan pengembang melakukan riset dengan mengangkat tema pembuatan sebuah aplikasi pemberitahuan gempa bumi. Nama aplikasinya adalah Earthquake Notifications yang ditujukan kepada seismolog (ahli gempa bumi) sebagai pengguna atau kliennya. Teknologi yang mereka bangun menggunakan kecerdasan buatan dengan memanfaatkan fasilitas data cloud milik Microsoft Azure. Adapun tujuan dari pembuatan aplikasi ini adalah agar dapat memberi tahu para petugas di stasiun seismologis secepat mungkin melalui panggilan telepon ketika terjadi gempa bumi yang kuat.
Pada dasarnya teknologi yang mereka bangun bukan berfungsi sebagai alat prediksi gempa bumi, tetapi hanya sebagai alat internal yang bertugas memberi tahu seismolog setelah peristiwa terjadi secepat mungkin. Sistem ini bekerja dengan memanfaatkan beberapa bagian penting teknologi yang sudah ada. Data gempa diperoleh dari data yang dikirim oleh Observatorium Seismologis AUTh ke European Mediterranean Seismic Center (EMSC). EMSC bertugas sebagai agregator (pengumpul data) data seismologis dan kemudian akan mengirim data ke publik melalui sebuah protokol yang disebut sebagai WebSocket. Para klien yang dalam hal ini seismolog harus mendaftarkan dulu di protokol WebSocket agar bisa mendapatkan data yang dikirim. Data yang dikirim dari EMSC ke Azure Queue Storage pun harus memenuhi batas minimum yaitu dengan Magnitudo lebih besar sama dengan 3.
Dari data yang sudah diterima tersebut dan jika memenuhi nilai batas minimumnya, maka dapat memberikan notifikasi berupa suara dengan menggunakan teknologi Microsoft Cognitive Service Speech API dan Twilio Voice API.
Secara sederhananya sistem ini dapat kita pahami dengan adanya 3 proses penting yaitu input berupa gempa bumi, proses yaitu sistem di data cloud Microsoft Azure, output berupa suara, dan semuanya berlangsung secara otomatis. Ketika gempa masih pada batas amannya maka sistem tidak memproses menjadi sebuah tanda peringatan, tetapi pada saat gempa melebihi batas minimal amannya maka sistem akan aktif dan memberi tahu pihak seismologis bahwa gempa berskala besar telah terjadi. Dari hasil peringatan ini nanti akan diaktifkan fungsi telpon yang akan menghubungi pihak terkait, lalu dapat melakukan tindakan tercepat apa yang dapat menyelamatkan banyak nyawa.
Kelemahan dari aplikasi yang mereka buat masih terbatas pada bahasa Yunani. Namun, kedepannya akan dikembangkan ke banyak bahasa, seperti bahasa Inggris, Cina, Jepang, atau bahkan bahasa Indonesia. Penelitian mereka tersebut mendapat juara 3 pada kompetisi pengembang teknologi tepat guna dari Microsoft Cloud AI Research Challenge dan mendapatkan hadiah sebesar USD 10.000 atau sekitar 145 juta rupiah.
Berikut video demo aplikasi Earthquake Notifications
[embedyt] https://www.youtube.com/watch?v=WFk3hfMB_M8[/embedyt]
Semoga para pengembang dan ilmuwan Indonesia juga dapat menerapkan ide serupa dalam upaya mencegah banyak korban jiwa yang disebabkan oleh tsunami baik yang disebabkan oleh gempa ataupun longsoran gunung berapi[3][4]. Kompetisi Microsoft Cloud AI Research Challenge ditutup pada tanggal 15 April 2018, besar kemungkinan kompetisi tersebut akan diadakan lagi di tahun 2019. Oleh karena itu, Sahabat Warstek yang punya ide keren tentang aplikasi Kecerdasan Buatan sebagai solusi salah satu permasalahan umat manusia, yuk disiapkan dan dimatangkan idenya dari sekarang!
Referensi:
- Kholid, Idham. 2018. “Update Jumlah Korban Tsunami Selat Sunda: 431 Orang Tewas 7.200 Luka“. Detik News, 29 Desember 2018 (https://news.detik.com/berita/4363820/update-jumlah-korban-tsunami-selat-sunda-431-orang-tewas-7200-luka) diakses pada 30 Desember 2018
- AFP. 2018. “Indonesian tsunami volcano lost two-thirds of its height“.PhysOrg, 29 Desember 2019 (https://phys.org/news/2018-12-indonesian-tsunami-volcano-lost-two-thirds.html) diakses pada 30 Desember 2018
- Fourtané, Susan. 2018. “Developers Use Microsoft Azure AI to Notify Seismologists of Earthquakes to Save Lives“. Interesting Engineering, 13 Oktober 2018 (https://interestingengineering.com/developers-use-microsoft-azure-ai-to-notify-seismologists-of-earthquakes-to-save-lives) diakses pada 30 Desember 2018
- Microsoft, Microsoft Cloud AI Research Challenge (https://www.microsoft.com/en-us/research/academic-program/microsoft-cloud-ai-research-challenge/) diakses pada 30 Desember 2018