Apakah Benar PSBB Tak Perlu Diperpanjang? Tanggapan untuk Prof. Daniel M. Rosyid

Dalam salah satu tulisannya di Surabaya post tanggal 4 Mei 2020 yang berjudul “Jangan Perpanjang PSBB”, Prof. Daniel M. Rosyid […]

blank

Dalam salah satu tulisannya di Surabaya post tanggal 4 Mei 2020 yang berjudul “Jangan Perpanjang PSBB”, Prof. Daniel M. Rosyid memberikan ide-ide kreatif bagaimana penanganan pandemi Covid-19 melalui PSBB agar tidak memiliki dampak yang signifikan. Pertama, isolasi/karantina hendaknya hanya menargetkan kalangan rentan dan berisiko. Kedua membuka kembali kegiatan ekonomi bertahap sambil membangun herd immunity di kalangan muda. Data-data yang beliau gunakan dengan penekanan pada Indonesia memiliki ketangguhan yang cukup dalam melawan Covid-19 adalah usia rata-rata orang Indonesia relatif muda, langsing diukur dari konsumsi daging yang rendah, aktif secara fisik yang diukur dari konsumsi bensin rendah, dan iklim Indonesia yang hangat dan lembab kurang bersahabat bagi Covid-19. Selain itu beliau menilai bahwa jumlah kematian karena COVID-19 tidak ada apa-apanya dengan penyakit lain dan kecelakaan lalu lintas. Akan tetapi, benarkah demikian?

Data yang salah akan memberikan pandangan yang keliru. Indonesia memang bangsa yang relatif muda, tetapi bukan berarti orang muda akan pasti selamat dari Covid-10. Memang mereka yang beresiko lebih tinggi meninggal adalah orang tua tetapi kita masih belum tahu akibat lebih jauh setelah sembuh dan memastikan yang muda akan selamat. Apakah orang yang telah sembuh Covid-19 akan kembali sembuh seutuhnya atau akan meninggalkan bekas kerusakan organ? Laporan lain menunjukkan bahwa mereka yang telah sembuh terjangkiti kembali bahkan masih terdapat virus di feses sampai 7 hari setelah dinyatakan negatif secara swab tenggorokan [1,2]. Pun, bukan berarti yang muda tidak membutuhkan fasilitas kesehatan ketika mereka sakit.

Bagaimana dengan kondisi Kesehatan orang Indonesia? Obesitas tidak diukur dari konsumsi daging karena daging komponen utamanya adalah protein. Mengingat budaya Indonesia yang “belum makan kalau belum makan nasi” maka akan menjadi pertanyaan jika rata-rata orang Indonesia dianggap langsing. Hasil riset di jurnal Medical oleh peneliti Universitas Indonesia misalkan menunjukkan bahwa obesitas di Indonesia sebesar 23,1% [3]. Sedangkan hasil riset di jurnal PLoS ONE menunjukkan bahwa ada 10 juta lebih pengidap diabetes [4]. Selain makanan, kesehatan yang kurang optimal dari masyarakat Indonesia juga tidak diimbangi dengan aktivitas fisik yang tinggi. Hasil riset di Nature menunjukkan bahwa orang Indonesia justru aktivitas rata-ratanya jauh dari rata-rata dunia. Indonesia hanya menghabiskan rata-rata 3000 langkah untuk beraktivitas sedangkan rata-rata dunia sebesar 5000 langkah [5]. Bagaimana dengan sepeda pedal/kayuh? Kita bisa lihat sendiri seberapa banyak orang memakai sepeda kayuh dibandingkan naik motor? Maka mengukur aktivitas fisik orang Indonesia berdasarkan semata konsumsi bensin adalah kurang tepat.

Jika jumlah kematian wabah lain yang besar atau kecelakaan yang tinggi, yang jadi masalah bukan perbandingannya, tetapi akumulasinya. Jika jumlah kecelakaan sudah tinggi, ditambah wabah COVID-19 ini maka jumlah orang yang memerlukan pertolongan kesehatan akan ikut bertambah. Pun yang memerlukan pertolongan jika terjangkiti bukan mereka yang usia lansia. Anak-anak, ibu hamil, dan mereka yang muda pun memerlukan fasilitas Kesehatan. Kita bisa saja menciptakan peralatan Kesehatan dalam satu bulan seperti riset-riset dari universitas-universitas di Indonesia saat ini. Namun, bagaimana dengan menciptakan dokter, perawat, bidan, apoteker dan tenaga Kesehatan lain? Apakah bisa dibuat dalam hitungan hari?

Jika kita membaca secara detail artikel-artikel tentang statistik dan PSBB ini [6], kita akan paham bahwa PSBB tujuannya bukan semata-mata untuk menghilangkan virus ini. Tetapi PSBB ini untuk menurunkan kemiringan pada kurva. Tujuannya apa? Tujuannya agar setiap orang bisa tertangani oleh fasilitas Kesehatan. ingat fasilitas Kesehatan tidak hanya kapasitas kamar tetapi juga sumber daya yang menangani yang tidak bisa muncul dalam satu malam. Kalau saat ini kita perhatikan kurva ini, maka wabah akan berhenti lebih lama. Inilah kenapa ada istilah “a new normal”, karena dalam memerangi pandemi ini tidak akan selesai dalam waktu satu dua bulan. Akan terjadi pertarungan jangka panjang sehingga kita tidak sadar lagi sedang dalam pertarungan. Mak diperlukan inovasi dan kreasi lebih heboh dibandingkan dengan kehebohan industri 4.0 untuk menangani semua dampak dari COVID19 ini tanpa harus menyudutkan salah satu pihak.

Referensi:

[1] a) Gunawan, A., 6 Mei 2020, COVID-19 survivor in Medan gets reinfected a month after recovery, The Jakarta Post. Diakses 18 Mei 2020. b) Alizargar, J., 2020, Risk of reactivation or reinfection of novel coronavirus (COVID-19), Journal of the Formosan Medical Association,

[2] Chen, Y., dkk, 2020, Journal of Medical Virology, 1-8

[3] Harbuwono, D. S., dkk, 2018, Medical Journal of Indonesia. 27:114-120

[4] Ligita, T., dkk, 2019, PLoS ONE 14(2): e0212019

[5] Althoff, T., dkk, 2017, Nature 547, 336-339

[6] Roberts, S., 27 Maret 2020, Flattening the Coronavirus Curve, The New York Times. Diakses 18 Mei 2020

Penulis: Abdul Halim
Editor: Nur Abdillah Siddiq

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *