Kepulauan Indonesia terdiri lebih dari 17.000 pulau dengan berbagai jenis habitat dan sejarah geologi yang sangat panjang. Faktor biogeografi, geologi, iklim, dan ekologi menyebabkan evolusi fauna dan flora dengan sejumlah besar spesies endemik dan sangat adaptif secara ekologi. Demikian juga, ada pula potensi besar peluang penelitian pada bidang farmasi, konservasi, dan bioteknologi. Disisi lain, Indonesia memiliki jumlah tertinggi kedua pada kategori tanaman obat asli, setelah hutan hujan Amazon, sekitar 10% dari spesies tanaman berbunga di seluruh dunia, 12% dari mamalia atau sekitar 515 spesies, 16% dari reptil, dan 17% dari total spesies burung. Data terkini menyebutkan bahwa jumlah fauna endemik terdiri dari 270 spesies mamalia, 386 spesies burung, 328 spesies reptil, 204 spesies amfibi dan 280 spesies ikan. Namun, banyak sebagian besar spesies ini berada di bawah ancaman untuk punah bahkan sebelum mereka ditemukan atau dieksplorasi secara ilmiah.
Penggerak utama hilangnya keanekaragaman hayati, tidak hanya di Indonesia tetapi di semua negara ASEAN, adalah perubahan iklim, perubahan habitat, spesies asing invasif, eksploitasi berlebihan, polusi, dan kemiskinan. Indonesia semakin bertujuan untuk mengambil bagian dalam penelitian tentang pemanfaatan sumber daya alam berkelanjutan, misalnya melalui sains dan teknologi dan sektor bioekonomi yang relatif baru, termasuk berbagai perkembangan dalam masalah bioteknologi, farmasi, dan kesehatan.
Badak adalah hewan langka yang termasuk dalam kelas Mamalia dan famili Rhinocerotidae, famili tersebut terdiri dari genus Ceratotherium (badak putih), Dicerorhinus (badak Sumatra), Diceros (badak hitam), dan Rhinoceros (badak Jawa dan badak India). Menariknya, Indonesia memiliki dua jenis dari lima jenis badak yang masih ada di dunia. Dua jenis badak yang ada di Indonesia telah masuk kedalam daftar satwa yang dilindungi oleh Undang Undang Republik Indonesia, semua aturan terkait hewan yang dilingdungi tertuang pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Rhinoceros sondaicus atau badak Jawa merupakan salah satu mamalia besar terlangka di dunia yang ada diambang kepunahan. Badak Jawa memiliki populasi sekitar 60 ekor individu di alam liar, spesies ini diklasifikasikan sebagai sangat terancam atau critically endangered dalam daftar merah versi organisasi konservasi internasional, IUCN (International Union for Conservation of Nature). Beruntungnya, masih ada Taman Nasional Ujung Kulon yang menjadi satu-satunya habitat yang tersisa bagi badak Jawa.
Dicerorhinus sumatrensis atau badak Sumatera, adalah satu-satunya badak Asia yang memiliki dua cula. Badak Sumatera adalah badak yang memiliki ukuran terkecil dibandingkan semua sub-spesies badak di dunia. Populasi terbesar dan mungkin paling memadai untuk berkembang biak (viable) saat ini terdapat di Sumatera. Populasi badak Sumatera di alam saat ini diperkirakan kurang dari 300 ekor. Meskipun demikian, indikasi yang ada menunjukkan jumlah populasi sebenarnya lebih rendah dari perkiraan tersebut. Hewan ini sama dengan badak Jawa, termasuk dalam klasifikasi critically endangered.
Dikancah internasional, berita yang cukup membuat sedih muncul dari benua Afrika. Beberapa bulan lalu, Sudan, badak putih utara (Ceratotherium simum cottoni) jantan terakhir telah meninggal dunia. Hal ini membuat badak putih utara hanya tersisa dua ekor betina saja. Berbagai metode canggih telah dikembangkan, termasuk yang berbasis pada teknologi IVF dan sel punca.
Teknologi IVF dan Sel Punca
Terkait topik ini, dobrakan besar telah dibuat oleh Universitas Airlangga, yaitu peresmian Rumah Sakit Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan dan munculnya Pusat Penelitian dan Pengembangan Stem Cell Universitas Airlangga. Dua lembaga ini seharusnya dapat menjadi tumpuan untuk memimpin pengembangan dan penelitian terkait pada kelestarian badak di Indonesia agar kita juga tidak kalah dalam pengembangan sains dan teknologi dengan negara maju lainnya. Selain itu, beberapa waktu lalu, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi telah meresmikan Pusat Genom Nasional di Lembaga Biologi Molekular (LBM) Eijkman, Jakarta, maka hal ini seharusnya semakin meningkatkan kualitas dan kolaborasi penelitian.
Merujuk pada tulisan dari Ewen Callaway di Nature edisi 533, para peneliti dunia telah memproyeksikan bagaimana kemajuan pesat di bidang sains dan teknologi dapat membangkitkan kembali hewan yang telah punah, pada kasus ini adalah badak putih utara jantan (lihat pada gambar). Sel sperma dari Sudan (badak putih utara jantan yang telah mati) dan oosit dari Fatu dan Najin (badak putih utara betina yang masih hidup) dipertemukan secara buatan dengan teknologi IVF, hasil dari fertilisasi ini akan menghasilkan embrio yang akan dimasukkan kembali pada dua badak putih utara betina yang masih hidup hingga lahir badak baru. Saragusty et al. yang telah mempublikasi di jurnal ilmiah Zoo Biology terkait strategi konservasi berbasis teknologi IVS dan sel punca. Selain itu, lembaga-lembaga internasional yang berkontribusi besar pada strategi ini adalah San Diego Zoo Global di Amerika Serikat, Leibniz Institute for Zoo and Wildlife Research di Berlin, dan Embryo Plus, sebuah perusahaan Afrika Selatan.
Sementara itu, Profesor Shinya Yamanaka di Jepang, peraih Nobel Prize tahun 2012 di bidang fisiologi atau kedokteran bersama dengan John B. Gurdon untuk penemuan bahwa sel punca yang telah dewasa dapat dilakukan program kembali untuk menjadi pluripoten. Dua tahun sebelumnya, Profesor Shinya Yamanaka memulai suatu program yang disebut CiRA, Center for iPS Cell Research and Application di Universitas Kyoto, Jepang dengan misi menggunakan sel iPS untuk terobosan terapi baru dalam dunia medis. Selain itu, StemFit® merupakan media kultur dengan kualitas dan memiliki performa tinggi. Proliferasi sel dalam media kultur tersebut memiliki laju pertumbuhan tinggi. Hal ini tidak saja menjadikan riset lebih efisien, tetapi juga lebih hemat biaya. Seperti diketahui, salah satu hambatan terbesar dalam terapi regeneratif dengan menggunakan sel iPS adalah biaya dan waktu yang diperlukan untuk memproduksi sel iPS dari sel somatik, sehingga stok yang tersedia bagi lembaga riset dan rumah sakit di seluruh dunia ini diharapkan memberikan dampak positif yang besar.
Terobosan teknologi sel punca ini dapat mewadahi fertilisasi buatan pada badak. Jaringan dari badak putih utara jantan sebelumnya disimpan dengan baik. Setelah itu, digunakan teknologi yang ditemukan oleh Profesor Yamanaka, jaringan dari badak putih utara diubah menjadi induced pluripotent stem (iPS) cells. Selanjutnya, iPS diubah menjadi sel germinal primordial yang dapat berdiferensiasi menjadi sel sperma ataupun oosit, bergantung pada sel apa yang dikehendaki menggunakan growth factor tertentu dan berlanjut pada teknologi IVF seperti biasa.
Universitas Airlangga yang saat ini telah memiliki Rumah Sakit Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Stem Cell, seharusnya dapat menopang dengan baik penelitian dan pengembangan terkait kelestarian badak Jawa dan Sumatera berbasis pada teknologi IVF dan sel punca. Sejauh ini, masih belum ada universitas atau institusi penelitian miliki pemerintah dan swasta yang mencoba untuk menjadi leader dalam topik tersebut. Hal ini dapat memposisikan Universitas Airlangga menjadi center of excellence pada terobosan di ilmu kedokteran hewan dan ilmu biologi konservasi.
Referensi
- Callaway, E. 2016. Stem-cell plan aims to bring rhino back from brink of extinction. Nature 553.
- Saragusty, J., et al. 2016. Rewinding the process of mammalian extinction. Zoo Biology 35(4): 280-92.
- Takahashi, K., Yamanaka, S. 2006. Induction of pluripotent stem cells from mouse embryonic and adult fibroblast cultures by defined factors. Cell 126: 663-676.
Penulis : Arif Nur Muhammad Ansori adalah Peneliti di Professor Nidom Foundation sekaligus peraih Beasiswa Program Pendidikan Magister Menuju Doktor Untuk Sarjana Unggul (PMDSU, Batch 3) dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) yang saat ini sedang menempuh pendidikan jenjang doktor di Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia.