Superbug yang Dapat Membunuh Orang Sehat Hanya Dalam Beberapa Hari

Penyakit infeksi masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang sering terjadi, terutama di negara berkembang. Salah satu obat andalan […]

blank

Penyakit infeksi masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang sering terjadi, terutama di negara berkembang. Salah satu obat andalan untuk mengatasi penyakit infeksi adalah antimikroba seperti antibiotik atau antibakteri, antijamur, antivirus, dan antiprotozoa. Antibiotik adalah obat yang paling banyak digunakan untuk mengatasi infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Berbagai studi menemukan bahwa sekitar 40-62% antibiotik digunakan secara tidak tepat, antara lain untuk penyakit-penyakit yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotik. Pada berbagai bagian rumah sakit, ditemukan 30-80% penggunaan antibiotik tidak sesuai dengan indikasi (karakteristik atau alasan untuk menggunakan obat tertentu) pasien[1].

WHO (World Health Organization) melaporkan bahwa 64% negara di Asia Tenggara dapat memberi antibiotik tanpa resep[2]. Hal ini secara tidak langsung dapat memicu terjadinya resistensi antibiotik di berbagai negara, termasuk Indonesia. Resistensi antibiotik adalah keadaan di mana bakteri tidak dapat lagi dibunuh dengan antibiotik. Pada saat antibiotik diberikan, awalnya sejumlah bakteri akan mati. Tapi kemudian terjadi mutasi pada gen bakteri sehingga ia dapat bertahan dari serangan antibiotik tersebut. Antibiotik adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik yang memiliki efek membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri[4]. Menurut WHO, terdapat kurang lebih 2.049.442 kasus infeksi karena resistensi antibiotik dan 23.000 diantaranya meninggal dunia[3].  Antibiotik tidak sesuai diberikan kepada pasien yang menderita infeksi akibat virus, fungi, atau nonbakteri lainnya, serta setiap antibiotik memiliki cara kerja yang sangat beragam dalam melawan berbagai jenis bakteri.

Antibiotik seharusnya hanya dapat diperoleh dengan resep dokter dan harus digunakan secara rasional, yaitu tepat pengobatan, tepat dosis, tepat cara penggunaan dan tepat lama penggunaan. Pasien juga harus mematuhi aturan pemakaian antibiotik yakni harus dikonsumsi sampai habis karena ketaatan dalam mengkonsumsi antibiotik dapat mempengaruhi keberhasilan terapi serta mencegah terjadinya resistensi antibiotik. Beberapa alasan yang sering terjadi pada penyalahgunaan antibiotik antara lain tidak sesuai aturan pakai, seperti tidak minum antibiotik sesuai waktu (karena lupa, antibiotik habis dan belum sempat membeli kembali, tidak dapat membeli antibiotik), karena tidak mau menghabiskan antibiotik karena sudah merasa baik), dan berpandangan bahwa semua penyakit dapat sembuh dengan antibiotik. Padahal, antibiotik hanya dapat digunakan untuk mengatasi penyakit yang disebabkan oleh bakteri saja. Contoh penyakit yang disebabkan oleh virus antara lain yaitu pilek, flu, batuk, infeksi telinga, sakit tenggorokan, gastroenteritis, dll.

Resistensi antibiotik terjadi ketika antibiotik tersebut tidak dapat membunuh bakteri karena bakteri memiliki daya tahan kuat yang didapat dari adanya paparan antibiotik dengan jumlah sedikit. Hal berbahaya dari adanya resistensi adalah proses penyembuhan penyakit menjadi lebih sulit dan lama, serta resiko timbulnya komplikasi penyakit dan kematian semakin meningkat[4]. Dapat dibayangkan apabila seseorang menderita penyakit infeksi yang sangat menular tetapi tidak dapat ditangani dengan obat apapun, maka penyakit tersebut akan sangat mudah menyebar dengan lingkungan sekitarnya dan menjadi penyakit endemik, bahkan pandemik. Bahkan, para peneliti telah melaporkan dalam Review on Antimicrobial Resistance bahwa pada tahun 2050, superbug atau bakteri kebal antibiotik akan membunuh manusia setiap tiga detik[35]. Terjadinya resistensi antibiotik diawali dengan penggunaan antibiotik yang tidak sampai habis sehingga menyebabkan bakteri tidak mati secara keseluruhan, namun masih ada yang bertahan hidup sehingga memiliki daya tahan yang lebih kuat. Beberapa bakteri yang telah mengalami resisten antibiotik di seluruh dunia yaitu Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA), Vancomycin-Resistant Enterococci (VRE), Penicillin-Resistant Pneumococci, Klebsiella pneumoniae yang menghasilkan Extended-Spectrum Beta-Lactamase (ESBL), Carbapenem-Resistant Acinetobacter baumannii dan Multiresistant Mycobacterium tuberculosis[5,6].

Superbug merupakan bakteri yang mengalami perubahan struktur gen sehingga bakteri tersebut kebal atau resisten terhadap antibiotik. Resistensi antibiotik adalah kemampuan bakteri untuk bertahan hidup dari antibiotik, menetralisir, dan melemahkan daya kerja antibiotik.[7] Untuk mengetahui bagaimana proses terjadinya infeksi yang disebabkan oleh superbug, maka perlu kita ketahui mengenai mekanisme resistensi bakteri. Bakteri dapat bertahan dari adanya antibiotik dengan beberapa cara, yaitu[8]:

  1. Merusak antibiotik dengan enzim yang diproduksi oleh bakteri.
  2. Mengubah bentuk reseptor (makromolekul seluler yang secara spesifik berikatan dengan obat dan akhirnya menimbulkan efek) yang merupakan tempat aksi antibiotik pada sel bakteri.
  3. Mengubah target sasaran antibiotik pada sel bakteri.
  4. Bakteri mengubah bentuk dinding sel nya agar antibiotik tidak bisa menembus dinding sel.
  5. Antibiotik masuk ke dalam sel bakteri, tetapi segera dikeluarkan dari dalam sel melalui mekanisme transpor aktif ke luar sel.
blank
Gambar 1. Mekanisme terjadinya resistensi antibiotik[34].

Selain itu, terdapat banyak perbedaan antara bakteri gram positif dan gram negatif, namun perbedaan utama yang mudah terlihat yaitu terletak pada struktur dinding sel dan kerentanan terhadap antibiotik. Dinding sel bakteri gram positif lebih tebal (15-80 nm) dan berlapis tunggal serta rentan mati karena adanya antibiotik, sedangkan bakteri gram negatif lebih tipis (10-15 nm) namun berlapis tiga, dan kurang rentan terhadap antibiotik. Bakteri gram negatif yang bersifat patogen (dapat menyebabkan suatu penyakit) lebih berbahaya dari pada bakteri gram positif karena membran luar pada dinding selnya dapat melindungi bakteri dari sistem pertahanan inang dan menghalangi masuknya antibiotik[9].

Pneumonia adalah suatu peradangan sel parenkim paru-paru pada bagian alveoli hingga bronkus dan bronkiolus, sehingga mengganggu pertukaran oksigen dan karbon dioksida di paru-paru[11]. Pneumonia yang merupakan penyakit menular merupakan salah satu dari enam penyebab utama terjadinya komplikasi serta kematian di Amerika dan Eropa[14,15] dan disebabkan oleh bakteri Klebsiella pneumonia dengan jenis strain (spesies yang diketahui berdasarkan genetik atau imunologik) K. pneumoniae klasik (cKp)[10]. Penelitian Afifah dan Utami[16] menunjukkan bahwa bakteri penghasil ESBL sebagai penyebab infeksi nosokomial di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, Purwokerto adalah Klebsiella sp. (30%), Proteus sp. (10%) dan Escherichia coli (10%). Klebsiella pneumoniae merupakan bakteri gram negatif yang menyebabkan infeksi nosokomial dan community acquired infections[13].

blank
Gambar 2. Bagian paru-paru dari atas ke bawah: trakea, bronkus, bronkiolus, alveoli[12].

Selain pneumonia, sebesar 70–80% penyebab infeksi pada pasien disebabkan karena penggunaan kateter selama perawatan di rumah sakit[17]. Penggunaan kateter urin yang tidak steril dapat meningkatkan risiko bakteri uria sebesar 5–10% per hari. Hal ini berbahaya karena dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi saluran kemih hingga sepsis sehingga akan meningkatkan morbiditas serta mortalitas[18,15,19].

Penelitian Tuon dkk.[20], Tsering dkk.[21], dan Ndugulile dkk.[22] yang menyebutkan bahwa Klebsiella sp. penghasil ESBL memiliki persentase lebih besar dibanding non ESBL. Spesies Klebsiella terbanyak yang dapat menghasilkan ESBL yaitu Klebsiella pneumonia dan Klebsiella oxytoca[21]. ESBL merupakan enzim yang bekerja dengan menghambat antibiotik beta laktam. Berdasarkan pada aspek klinis dan epidemiologis, patogen penghasil ESBL berkaitan dengan penggunaan antibiotik spektrum luas seperti karbapenem. Hal tersebut mengakibatkan pasien menjalani rawat inap dan terapi antibiotik lebih lama.

Resistensi bakteri yang berasal dari sampel pada pasien rawat inap di rumah sakit dapat disebabkan karena terapi antibiotik dan pemberian resep yang tidak tepat karena tanpa berdasar pada hasil kultur dan uji sensitivitas bakteri, serta adanya infeksi silang[23]. Telah dilaporkan bahwa protein membran luar Klebsiella sp. terdiri dari 3 jenis porin yaitu OmpK35, OmpK36, dan OmpK37[27,28]. Porin OmpK35 dan OmpK36 berperan penting pada penetrasi antibiotik ke dalam sel, sehingga hilangnya porin OmpK35 dan OmpK36 juga dapat menyebabkan resistensi bakteri terhadap karbapenem[24,25,26].

Penelitian terbaru melaporkan uji yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi strain hvKp secara akurat sehingga dapat meningkatkan pelayanan kesehatan pasien[10]. Penelitian tersebut mengevaluasi beberapa biomarker (penanda fisik, fungsional, atau biokimia dari proses penyakit) untuk membedakan strain hvKp (hypervirulent Klebsiella pneumoniae) yang lebih virulen (derajat kemampuan suatu bakteri untuk menyebabkan penyakit) dibandingkan dengan cKp. Teknik yang digunakan untuk mengidentifikasi gen biomarker dari suatu bakteri yaitu menggunakan PCR (Polymerase Chain Reaction). PCR merupakan teknik yang digunakan dalam biologi molekuler untuk membuat copies atau salinan dari suatu bagian kecil DNA atau gen. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai gen DNA dan gen dapat dilihat pada artikel “Gen yang memicu rasa kesepian“. PCR dapat membuat miliaran salinan dari bagian kecil DNA dengan jumlah DNA yang sangat sedikit. Selain itu, PCR juga digunakan untuk melakukan sequencing (proses penentuan urutan basa pada DNA dengan panjang tertentu), mendeteksi keberadaan atau ketiadaan suatu gen untuk mengidentifikasi patogen, dan menghasilkan profil DNA dari sampel DNA yang sangat sedikit[29].

Komposisi utama untuk melakukan identifikasi menggunakan teknik PCR yaitu template DNA yang akan disalin; primer (potongan DNA pendek yang akan mengawali proses PCR dan didesain untuk berikatan pada sisi lain dari DNA yang akan disalin); basa nukleotida DNA (terdiri dari basa purin yaitu adenin (A) dan guanin (G) serta basa pirimidin yaitu timin (T) dan sitosin (C)); enzim Taq polimerase; dan buffer untuk membuat kondisi yang mendukung bagi reaksi. PCR terdiri atas proses pemanasan dan pendinginan yang disebut dengan thermal cycling serta dapat diatur menggunakan suatu mesin. Tiga langkah utama dalam melakukan PCR adalah[29]:

  1. Denaturasi, ketika template dua untai DNA dipanaskan dengan maksud untuk memisahkan dua untai tersebut.
  2. Annealing, ketika suhu diturunkan agar primer DNA dapat menempel pada template DNA.
  3. Extending, ketika suhu dinaikan dan untaian DNA baru dibuat dengan penambahan enzim Taq polimerase.

Ketiga langkah tersebut diulangi sebanyak 20-40 kali sehingga didapatkan jumlah salinan DNA dua kali lipat dari sebelumnya. Reaksi PCR yang lengkap dapat dilakukan selama beberapa jam bahkan kurang dari satu jam dengan mesin kecepatan tinggi. Setelah proses PCR selesai, metode elektroforesis dapat digunakan untuk mengecek jumlah dan ukuran dari fragmen DNA yang didapatkan[29].

blank
Gambar 3. Langkah-langkah dalam melakukan PCR[29].

Selain pentingnya mengetahui biomarker, produksi siderofor juga berkontribusi dalam sifat virulensi. Siderofor merupakan senyawa kecil (berat molekul < 1000 dalton), berada pada ekstrasel, dan dapat berikatan dengan besi (Fe3+) secara selektif. Siderofor umumnya diproduksi oleh mikroorganisme yang bersifat aerobik (hanya dapat hidup dengan adanya oksigen) dan anaerob fakultatif (dapat hidup dengan adanya maupun tidak adanya oksigen)[1].  Pada kondisi keterbatasan besi, mikroorganisme penghasil siderofor dapat mengikat dan mengangkut kompleks siderofor-besi dengan mengekspresikan protein spesifik[30]. Selain sistem siderofor, bakteri memiliki mekanisme lain dalam pengambilan besi, yaitu pemecahan enzimatis dari iron-binding protein, reduksi Fe3+ menjadi Fe2+, dan interaksi antar reseptor di permukaan bakteri dengan Fe-glikoprotein kompleks[31].

Kemampuan untuk memperoleh zat besi untuk pertumbuhan dan replikasi merupakan hal yang penting bagi bakteri. Karakteristik tersebut ternyata berperan penting dalam proses menginfeksi host (organisme dimana bakteri hidup dan mendapatkan makanan), termasuk infeksi oleh cKp. Host memiliki protein yang mengikat zat besi (misalnya transferin) yang berfungsi untuk menahan besi dari serangan patogen. K. pneumoniae seperti bakteri Enterobacteriaceae lainnya dapat memproduksi dan mensekresi siderofor yang mendapatkan besi dari host dengan mengikat protein, kemudian masuk kembali ke dalam sel bakteri melalui reseptor siderofor yang spesifik. Aerobactin, enterobactin, salmochelin, dan yersiniabactin merupakan siderofor yang ditemukan pada K. pneumoniae[32].

blank
Gambar 4. Mekanisme pengambilan besi oleh bakteri[33].

Telah ditemukan bahwa siderofor utama yang menimbulkan sifat virulensi yaitu strain hvKp aerobactin, serta biomarker berupa gen peg-344, iroB, prmpA, prmpA2, dan iucA. Gen iucA berperan dalam mengkode produksi aerobactin yang merupakan salah satu penanda genetik yang paling akurat untuk membedakan strain hvKp dan cKp[10].

Beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk mengurangi resiko munculnya superbug yaitu:

  1. Jangan pernah berhenti minum antibiotik hanya karena merasa lebih baik. Selalu habiskan antibiotik yang diresepkan.
  2. Jangan memaksa menggunakan antibiotika untuk mengobati flu, bronkitis, batuk, pilek, atau sakit tenggorokan yang tidak meradang tanpa konsultasi dengan dokter dan atau apoteker.
  3. Perlu dilakukan seleksi antibiotika termasuk dosis, frekuensi, dan lama pemberian secara lebih seksama untuk meningkatkan efektivitas antibiotika dalam menanggulangi infeksi.
  4. Mencegah penyebaran infeksi dengan mulai melakukan kebiasaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).

Referensi 

[1] Hadi, U. 2009. Resistensi antibiotik, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Interna Publishing, Jakarta.

[2] WHO. 2015. Worldwide country situation analysis: response to antimicrobial resistance. Diakses dari : http://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/163468/9789241564946_eng.pdf;jsessionid=B1D4105A95C84D81AD9018D4CC9313BC?sequence=1 pada tanggal 29 Agustus 2018.

[3] WHO. 2013. Antibiotic Resistance Threats in the United States. USA: US Department of Health and Human Services. USA: World Health Organization

[4] Tjay, T.H., dan Rahardja, K. 2007. Obat-obat penting. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

[5] Guzmán-Blanco, M., Casellas, J.M., dan Sader, H.S. 2000. Bacterial resistance to antimicrobial agents in Latin America: The giant is awakening. Infectious Disease Clinics of North America. DOI: 10.1016/S0891-5520(05)70218-X.

[6] Stevenson, K.B., Searle, K., Stoddard, G., dan Samore, M.H. 2005. Methicillin-resistant Staphylococcus aureus and vancomycin-resistant enterococci in rural communities, western United States. Emerging infectious diseases. DOI: 10.3201/eid1106.050156.

[7] Biantoro, I. 2008. Metichillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Thesis. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

[8] Drlica, K.S., dan Perlin, D.S. 2010. Antibiotic resistance: understanding and responding to an emerging crisis. FT Press.

[9] Pelczar, M.J., dan Chan, E.C.S. 2005. Dasar-dasar Mikrobiologi 2. UI-Press, Jakarta.

[10] Russo, T. A., Olson, R., Fang, C. T., Stoesser, N., Miller, M., Hutson, A., Baker, J.H., La Hoz, R.M., dan Johnson, J. R. 2018. Identification of biomarkers for the differentiation of hypervirulent Klebsiella pneumoniae from classical K. pneumoniae. Journal of clinical microbiology. DOI: 10.1128/JCM.00776-18.

[11] Walker, R., dan Whittlesea. 2012. Clinical Pharmacy and Therapeutics, Fifth edition. London, Churchill Livingstone Elsevier.

[12] Poer. 2017. Bagian paru-paru beserta fungsinya lengkap dengan gambar. Diakses dari : http://www.freedomsiana.com/2017/09/bagian-paru-paru-beserta-fungsinya.html pada tanggal 29 Agustus 2018.

[13] Shankar, C., Veeraraghavan, B., Nabarro, L. E. B., Ravi, R., Ragupathi, N. K. D., dan Rupali, P. 2018. Whole genome analysis of hypervirulent Klebsiella pneumoniae isolates from community and hospital acquired bloodstream infection. BMC microbiology, 18(1), 6. DOI: 10.1186/s12866-017-1148-6.

[14] Ahmadi F, Abolghasemi S, Parhizgari N, dan Moradpour F. 2013. Effect of silver nanoparticles on common bacteria in hospital surfaces. Jundishapur J Microbiol. DOI: 10.5812/jjm.4585.

[15] Peleg, A.Y. dan Hooper, D.C. 2010. Hospital acquired infections due to Gram-negative bacteria. N Engl J Med. DOI: 10.1056/NEJMra0904124.

[16] Afifah, A. dan Utami, A.D. 2011. Identification of extended spectrum betalactamase (ESBL) producing bacteria cause of nosocomial infection in RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, Purwokerto. In: Totok, A., Rifda, N., Hardiansyah, Erna, K.W., Friska, C.A., Santi, D.A., Siti, Z.W., Ali, M., Diah, P., editors. Proceedings of the Seminar Nasional Pengembangan Sumber Daya Pedesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan; 2011 Nov.; Purwokerto: LPPM Unsoed.

[17] Zarb, P., Coignard, B., Griskevicienne, J., Muller, A., Vankerckhoven, V., Weist, K., Goossens, M., Vaerenberg, S., Hopkins, S., Catry, B., Monnet, D., Goosens, H., dan Suetens, C. 2012. The European Centre for Disease Prevention and Control (ECDC) pilot point prevalence survey of healthcare-associated infections and antimicrobial use. EuroSurveillance Monthly. DOI:

[18] Widodo, D. 2010. Kebijakan penggunaan antibiotika bertujuan meningkatkan kualitas pelayanan pasien dan mencegah resistensi kuman. Cermin Dunia Kedokteran. ISSN: 0125-913X.

[19] Purnomo, B.P. 2008. Kateterisasi dan Sirkumsisi. Jakarta, Sagung Seto.

[20] Tuon, F.F., Kruger, M., Terreri, M., Penteado-Filho, S.R., Gortz, L. 2011. Klebsiella ESBL bacteremia-mortality and risk factors. Braz J Infect Dis. DOI: 10.1590/S1413-86702011000600016

[21] Tsering, D.C., Das, S., Adhiakari, L., Pal, R., dan Singh, T.S. 2009. Extended spectrum beta lactamase detection in Gram-negative bacilli of nosocomial origin. J Global Infect Dis. DOI: 10.4103/0974-777X.56247.

[22] Ndugulile, F., Jureen, R., Harthug, S., Urassa, W., Langeland, N. 2005. Extended spectrum beta-lactamases among Gram-negative bacteria of nosocomial origin from intensive care unit of a tertiary health facility in Tanzania. BMC Infect Dis. DOI: 10.1186/1471-2334-5-86.

[23] Ferreira, C.M., Ferreira, W.A., Almeida, N.C.O.S., Naveca, F.G., Barbosa, M.G.V. 2011. Extended-spectrum beta-lactamase-producing bacteria isolated from hematologic patients in Manaus, State of Amazonas, Brazil. Brazilian Journal of Microbiology. DOI: 10.1590/S1517-83822011000300028.

[24] Doumith, M., Ellington, M.J., Livermore, D.M., Woodford, N. 2009. Molecular mechanisms disrupting porin expression in ertapenem-resistant Klebsiella and Enterobacter spp. clinical isolates from the UK. J Antimicrob Chemother. DOI: 10.1093/jac/dkp029.

[25] Goldfarb, D., Harvey, S.B., Jessamine, K., Jessamine, P., Toye, B., Desjardins, M. 2009. Detection of plasmid-mediated KPC-producing Klebsiella pneumoniae in Ottawa, Canada: evidence of intrahospital transmission. J Clin Microbiol. DOI: 10.1128/JCM.00098-09.

[26] Kontopoulou, K., Protonotariou, E., Vasilakos, K., Kriti, M., Koteli, A., Antoniadou, E., Sofianou, D. 2010. Hospital outbreak caused by Klebsiella pneumoniae producing KPC-2 beta-lactamase resistant to colistin. J Hosp Infect. DOI: 10.1016/j.jhin.2010.03.021.

[27] Hernandez-Alles, S., Alberti, S., Alvarez, D., Doménech-Sánchez, A., Martinez-Martinez, L., Gil, J., Tomás, J.M., Benedí, V.J. 1999. Porin expression in clinical isolates of Klebsiella pneumoniae. Microbiology. DOI: 10.1099/13500872-145-3-673.

[28] Kaczmarek, F.M., Dib-Hajj, F., Shang, W., Gootz, T.D. 2006. High-level carbapenem resistance in a Klebsiella pneumoniae clinical isolate is due to the combination of bla(ACT-1) beta-lactamase production, porin OmpK35/36 insertional inactivation, and down-regulation of the phosphate transport porin phoe. Antimicrob Agents Chemother. DOI: 10.1128/AAC.00285-06.

[29] Yourgenome, 2016, What is PCR (polymerase chain reaction)?, Diakses dari : https://www.yourgenome.org/facts/what-is-pcr-polymerase-chain-reaction pada tanggal 30 Agustus 2018.

[30] Nudel, C., Gonzalez, R., Castaneda, N., Mahler, G., Actis, L.A. 2001. Influence of Iron on growth, production of siderophore compound, membrane protein, and lipase activity in acinetobacter calcoaceticus BD 413. Microbiol. DOI: 10.1016/S0944-5013(01)80003-3.

[31] Lestari, L. A., dan Helmyati, S. 2018. Peran Probiotik di Bidang Gizi dan Kesehatan. Yogyakarta, UGM Press.

[32] Russo, T. A., Olson, R., MacDonald, U., Metzger, D., Maltese, L.M., Drake, E.J., dan Gulick, A.M. 2014. Aerobactin mediates virulence and accounts for the increased siderophore production under iron limiting conditions by hypervirulent (hypermucoviscous) Klebsiella pneumoniae. Infection and immunity. DOI: 10.1128/IAI.01667-13.

[33] Timalsina, B. 2018. Siderophore, Diakses dari : http://microbiologyworld.com/siderophore/ pada tanggal 30 Agustus 2018.

[34] McMonagle, P.J. 2012. Discovery of a Novel Antibiotic from a Bacillus

Bacterium Cultivated from its Natural Environment. Diakses dari : https://lux.lawrence.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1027&context=luhp pada tanggal 31 Agustus 2018.

[35] BBC. 2016. Bakteri super akan “membunuh setiap tiga detik”. Diakses dari : https://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/05/160519_majalah_bakteri_superbug pada tanggal 31 Agustus 2018.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Yuk Gabung di Komunitas Warung Sains Teknologi!

Ingin terus meningkatkan wawasan Anda terkait perkembangan dunia Sains dan Teknologi? Gabung dengan saluran WhatsApp Warung Sains Teknologi!

Yuk Gabung!

Di saluran tersebut, Anda akan mendapatkan update terkini Sains dan Teknologi, webinar bermanfaat terkait Sains dan Teknologi, dan berbagai informasi menarik lainnya.