Perasaan kesepian merupakan perasaan yang wajar dialami oleh setiap manusia di seluruh dunia dan tidak dibatasi oleh umur tertentu. Perasaan kesepian bukan sekadar masalah kesehatan mental, namun keduanya sangat berkaitan erat. Memiliki masalah kesehatan mental dapat meningkatkan perasaan kesepian dan perasaan kesepian dapat berdampak negatif terhadap kesehatan mental. Penyebab munculnya rasa kesepian sangat beragam dan tergantung pada setiap individu. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Richard dkk., (2017) menggunakan data yang diperoleh dari Swiss Health Survey (SHS) melaporkan bahwa penyebab kesepian berkaitan dengan sosiodemografi, kesehatan mental dan fisik yang buruk, gaya hidup yang tidak sehat, dan usia (gender tidak berpengaruh). Kesepian lebih sering muncul pada usia >75 tahun dan puncaknya pada rentang 30-60 tahun. Partisipan yang merasakan kesepian cenderung lebih mudah terserang penyakit kronis seperti hiperkolesterolemia, diabetes, dan depresi berat. Selain itu, rasa kesepian berkaitan dengan gaya hidup yang tidak sehat seperti merokok, tidak pernah berolahraga, serta tidak mengkonsumsi sayuran dan buah[1].
Sekitar satu dari empat orang dengan usia >65 tahun di UK mengalami rasa kesepian[2]. Penyebab kesepian yang telah banyak diketahui oleh masyarakat luas adalah karena faktor diluar individu atau eksternal. Namun, faktor internal penyebab kesepian masih belum diketahui secara pasti. Rasa kesepian cenderung memicu persepsi yang terganggu dan pola pikir pesimis sehingga menyebabkan depresi. Menjadi individu yang kesepian membuat seseorang menilai pertemanan atau suatu hubungan menjadi lebih negatif dan akhirnya memicu rasa terasingkan dari interaksi lingkungan sekitar. Para ilmuwan menilai bahwa respon negatif tersebut datang dari genetik yang dapat diwariskan[3].
Untuk mengetahui bagaimana suatu sifat dapat diwariskan, kita perlu mengetahui apa itu gen dan regulasinya. Genetik merupakan ilmu yang mempelajari tentang keturunan, khususnya proses pewarisan gen tertentu dari orang tua kepada anaknya. Gen yang diturunkan tersebut dapat berupa tinggi badan, warna rambut, warna kulit, dan warna bola mata[4]. Tubuh manusia tersusun dari triliunan sel. Setiap sel memiliki jumlah organela (subunit terspesialisasi dalam sel, contoh: mitokondria) yang berbeda dan berperan penting dalam menjalankan fungsi sel, seperti membuang sisa limbah atau memproduksi energi. Nukleus merupakan organela terpenting dan di dalamnya terkandung DNA (deoxyribonucleic acid) yang tersusun dengan bentuk seperti huruf X, yang disebut kromosom. Kromosom merupakan kumpulan dari untaian DNA yang mengikat protein histon, untaian tersebut disebut nukleosom. DNA merupakan molekul yang tersusun atas nukleotida dengan bentuk seperti dua rantai yang meliuk-liuk. Nukleotida tersusun atas basa, gula, dan fosfat. Terdapat dua jenis basa, yaitu basa purin dan pirimidin. Basa purin berupa adenin (A) dan guanin (G). Sedangkan basa pirimidin berupa timin (T) dan sitosin (C). Basa adenin berpasangan dengan timin, dan basa guanin berpasangan dengan sitosin. Basa yang saling berpasangan dihubungkan oleh suatu ikatan yang bernama ikatan hidrogen. Susunan basa tersebut merupakan informasi dasar yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan di seluruh bagian tubuh. Hanya sebagian kecil nukleotida yang membawa informasi genetik[5]. Tubuh manusia memiliki 23 pasang kromosom di dalam nukleus. Satu pasang diantaranya bertanggungjawab dalam pewarisan jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Pada laki-laki, terdapat satu pasang kromosom seks XY. Sedangkan perempuan memiliki kromosom seks XX[6].
Untuk mengidentifikasi gen (segmen atau bagian dari molekul DNA) yang berperan dalam menimbulkan kesepian, salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah GWAS (Genome Wide Association Studies). GWAS merupakan pendekatan yang mengecek secara cepat adanya penanda atau marker dalam satu set DNA atau genom (kandungan total DNA dalam sel) yang dapat menimbulkan suatu penyakit. Marker yang ditemukan akan digunakan sebagai informasi untuk mengembangkan pengobatan yang lebih baik dalam mendeteksi, menyembuhkan, dan mencegah penyakit. Studi tersebut sangat berguna dalam menemukan variasi genetik yang berkontribusi dalam penyakit kompleks seperti asma, kanker, diabetes, penyakit jantung, dan kesehatan mental[8].
GWAS dilakukan oleh para peneliti dengan membagi peserta ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok peserta yang penyakitnya sedang diteliti (kelompok 1) dan kelompok peserta tanpa penyakit (kelompok 2). Peneliti akan memperoleh DNA dari setiap peserta, biasanya dengan mengambil sampel darah atau mengambil sel epitel bukal (di antara gusi dan pipi) dengan cotton swab. Setiap set DNA perserta atau genom akan dimurnikan dari sel darah atau sel yang tidak dibutuhkan, lalu ditempatkan pada chip tipis dan dilakukan scan secara otomatis menggunakan mesin laboratorium. Mesin tersebut akan melakukan pengecekan genom peserta secara cepat untuk menemukan marker dari variasi genetik yang disebut single nucleotide polymorphisms (SNPs, dibaca: snips). Ketika variasi genetik yang telah ditemukan lebih banyak pada kelompok 1 dibandingkan kelompok 2, variasi tersebut dikatakan dapat berkaitan dengan penyakit. Variasi genetik terkait penyakit itu sendiri dapat tidak menyebabkan penyakit secara langsung, melainkan hanya memberikan label terhadap variasi genetik yang dapat menjadi penyakit utamanya. Karena itu, peneliti akan menambahkan langkah yang lebih spesifik seperti sekuensing (proses penentuan urutan basa nukleotida pada molekul DNA) pasangan basa DNA pada daerah genom untuk mengidentifikasi letak gen secara tepat yang dapat menyebabkan penyakit[8].

Penelitian terbaru dari Day dkk., (2018) yang melakukan elusidasi (penentuan struktur suatu senyawa) gen dari perilaku isolasi (mengurung diri) dan interaksi sosial melaporkan terdapat delapan gen yang bertanggungjawab terhadap munculnya rasa kesepian, yaitu gen GPX1, C1QTNF4, C17orf58, MTCH2, BPTF, RP11-159N 11.4, CRHR1-IT1, dan PLEKHM1. Selain menyebabkan timbulnya rasa kesepian, gen tersebut juga memiliki regulasi yang spesifik terhadap fungsi sel lainnya serta betanggungjawab terhadap munculnya suatu penyakit. BPTF mengkode proses transkripsi (penyalinan basa-basa pada DNA menjadi molekul RNA) yang sangat banyak ditemukan pada otak janin dan berperan dalam penyakit neurodegeneratif (penyakit yang disebabkan oleh penurunan fungsi otak pada usia lanjut). GPX1 dan MTCH2 berimplikasi pada jalur metabolisme, termasuk mengatur fungsi mitokondria[11]. C1QTNF4 bertanggungjawab dalam mengkode protein yang memicu aktivitas NFκB sehingga terjadilah proses transkripsi[12]. C17orf58 akan memberikan respon terhadap antagonis TNF (senyawa yang bekerja menghambat tumor necrosis factor atau faktor penyebab inflamasi)[13]. CRHR1-IT1 dapat meningkatkan resiko munculnya penyakit Alzheimer dan Parkinson (penyakit yang ditandai dengan penurunan daya ingat, kemampuan berpikir, berbicara, dan perubahan perilaku pada usia lanjut)[14]. Serta gen PLEKHM1 yang berperan dalam resorpsi tulang dan sebagai transport protein dalam vesikel. Mutasi pada gen ini akan menyebabkan osteoporosis[15].
Referensi
[1] Richard, A., Rohrmann, S., Vandeleur, C.L., Schmid, M., Barth, J., dan Eichholzer, M., 2018. Loneliness is adversely associated with physical and mental health and lifestyle factors: Results from a Swiss national survey. Plos One. DOI: 10.1371/journal.pone.0181442.
[2] Victor, C. dan Bowling, A. A. 2012. Longitudinal analysis of loneliness among older people in great britain. J. Psychol. DOI: 10.1080/00223980.2011.609572.
[3] Winch, G. 2016. Is there a gene for loneliness?. Diakses dari: www.psychologytoday.com/us/blog/the-squeaky-wheel/201612/is-there-gene-loneliness pada tanggal 15 Juli 2018.
[4] MedlinePlus. 2018. Genetics. Diakses dari: https://medlineplus.gov/ency/article/002048.htm pada tanggal 15 Juli 2018.
[5] Science Learning Hub. 2011. DNA, chromosomes and gene expression. Diakses dari: legacy.sciencelearn.org.nz/Contexts/Uniquely-Me/Science-Ideas-and-Concepts/DNA-chromosomes-and-gene-expression#top pada tanggal 16 Juli 2018.
[6] BBC. 2014. Gametes and fertilisation. Diakses dari: www.bbc.co.uk/schools/gcsebitesize/science/add_aqa_pre_2011/celldivision/celldivision3.shtml pada tanggal 16 Juli 2018.
[7] OpenLearn. 2018. The reduction of chromosome number: meiosis. Diakses dari: www.open.edu/openlearn/science-maths-technology/science/biology/early-development/content-section-1.3.2# pada tanggal 16 Juli 2018.
[8] NIH. 2015. Genome-Wide Association Studies. Diakses dari: https://www.genome.gov/20019523/genomewide-association-studies-fact-sheet/ pada tanggal 16 Jui 2018.
[9] University of Leicester. 2018. DNA, genes and chromosomes. Diakses dari: https://www2.le.ac.uk/projects/vgec/highereducation/topics/dna-genes-chromosomes pada tanggal 17 Juli 2018.
[10] Bonte, C., dan Makri, E. 2017. Privacy-preserving GWAS is practical. Diakses dari: https://www.esat.kuleuven.be/cosic/privacy-preserving-gwas-practical/ pada tanggal 17 Juli 2018.
[11] Day, F. R., Ong, K. K., dan Perry, J. R. 2018. Elucidating the genetic basis of social interaction and isolation. Nature communications. DOI: 10.1038/s41467-018-04930-1.
[12] Li, Q., Wang, L., Tan, W., Peng, Z., Luo, Y., Zhang, Y., Zhang, G., Na, D., Jin, P., Shi, T., Ma, D., dan Wang, L. 2011. Identification of C1qTNF-related protein 4 as a potential cytokine that stimulates the STAT3 and NF-κB pathways and promotes cell survival in human cancer cells. Cancer letters. DOI: 10.1016/j.canlet.2011.05.005.
[13] Nica, A. C. 2010. Regulatory variation and its role in disease. Dissertation. University of Cambridge.
[14] Naz, M., Younesi, E., dan Apitius, M.H. 2017. Systematic Analysis of GWAS Data Reveals Genomic Hotspots for Shared Mechanisms between Neurodegenerative Diseases. Journal of Alzheimer’s Disease and Parkinsonism. DOI: 10.4172/2161-0460.1000368.
[15] NIH. 2018. PLEKHM1 gene. Diakses dari: https://ghr.nlm.nih.gov/gene/PLEKHM1 pada tanggal 17 Juni 2018.