Pemanis Buatan Non-Kalori, Apa Betul Lebih Sehat?

Maraknya tren makanan sehat serta semakin meningkatnya penyakit yang berhubungan dengan makanan dan gaya hidup seperti obesitas dan diabetes memunculkan […]

Maraknya tren makanan sehat serta semakin meningkatnya penyakit yang berhubungan dengan makanan dan gaya hidup seperti obesitas dan diabetes memunculkan beberapa alternatif pemanis buatan yang tidak atau sedikit sekali memberikan kalori untuk tubuh seperti sakarin, sukralosa, acesulfam-K, dan aspartam yang seringkali disebut sebagai pemanis buatan non-kalori atau non-nutritive sweetener. Pemanis buatan non-kalori ini sangat mudah kita temukan pada makanan dan minuman kemasan. Pemanis buatan non-kalori ini  kerap kali digunakan sebagai pemanis untuk produk pangan yang menginginkan klaim sehat seperti produk rendah kalori ataupun produk zero-kalori karena kelebihannya yang tidak menyumbangkan kalori terhadap tubuh tersebut.

Memilih Produk. Foto oleh Oleg Magni dari Pexels

Foto oleh Oleg Magni dari Pexels

Namun, Apa benar pemanis buatan non-kalori ini lebih sehat daripada gula biasa? Secara umum, penggunaan bahan tambahan makanan diatur oleh regulasi. Di Indonesia, regulasi penggunaan bahan tambahan makanan diatur oleh BPOM dengan menetapkan kadar ADI atau acceptable daily intake yang mana nilai ADI ini ditentukan melalui berbagai pertimbangan yang komprehensif. Tentu saja regulasi dan penetapan jumlah ini menjadi jaminan. Asalkan dalam batas aman seharusnya tidak apa-apa. Sayangnya, beberapa studi justru menunjukkan bahwa meskipun dalam jumlah yang sesuai dengan batas aman, pemanis buatan non-kalori menunjukkan efek yang kurang baik terhadap kesehatan.

Bagaimana dampaknya terhadap kesehatan?

Penelitian Suez dan kawan-kawan menunjukkan bahwa pengunaan aspartam, sakarin, dan sukrolosa pada hewan percobaan tikus dalam dosis yang sesuai dengan acceptable daily intake setelah 11 minggu justru meningkatkan glucose intolerance. Kondisi ini menunjukkan kadar gula darah puasa dan kadar gula darah setelah 2 jam konsumsi lebih tinggi daripada tikus yang mengonsumsi gula pasir biasa. Hal ini tentu saja berbahaya.  Kenaikan kadar gula darah melebihi normal pada orang sehat dapat mengindikasikan pre-diabetes ataupun diabetes, semakin tinggi kenaikan kadar gula darah maka semakin parah kondisi metabolisme penderita. Studi pada konsumen yang mengonsumsi pemanis buatan non-kalori jangka panjang serta observasi pada studi klinis yang sedang berjalan mengindikasikan bahwa konsumsi pemanis buatan non-kalori sebagai penyebab beberapa tanda-tanda penyakit metabolik salah satunya peningkatan kadar gula darah puasa.

Mengapa demikian?

Penelitian lebih lanjut yang menunjukkan bahwa pemanis buatan non-kalori menyebabkan berubahnya komposisi gut microbiota (bakteri saluran pencernaan). Terdapat lebih dari 100 triliun (1014) gut microbiota pada tubuh manusia, bahkan melebihi jumlah sel manusia. Namun jenis dan komposisi bakteri ini berbeda-beda antara individu serta dapat berubah secara dinamis terkait berbagai faktor. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa gut microbiota dan komposisinya berpengaruh terhadap aspek fisiologis serta kesehatan manusia. Konsumen pemanis buatan non-kalori memiliki komposisi gut microbiota genus Bacteroides yang lebih banyak. Beberapa bakteri dari genus ini merupakan bakteri yang menjadi faktor pemecahan glycan (kabohidrat, gula, monosakarida, disakarida, polisakarida). Hal ini selaras oleh data meningkatanya jalur pemecahan glycan pada tikus percobaan yang diberi sakarin bila dibandingkan dengan tikus yang diberi air biasa ataupun glukosa.

Apabila benar demikian, tentu saja hal ini menjadi boomerang karena pemanis buatan non-kalori seringkali terdapat pada produk pangan dengan tujuan kesehatan seperti orang-orang yang ingin menghindari asupan serta kenaikan gula darah berlebih. Tentu saja pihak industri boleh menggunkan pemanis-pemanis buatan tersebut selama dalam batas aman regulasi. Namun mengetahui fakta-fakta penelitian tidaklah kalah penting.

Apakah ada kasus serupa?

Hal seperti ini lumrah terjadi di bidang pangan contohnya saja kasus trans fat.  Trans fat merupakan lemak yang dapat dihasilkan dari proses hidrogenasi dalam pembuatan lemak padat dari lemak cair seperti pada shortening dan margarin. Studi terkait indikasi bahaya trans fat sudah ada sejak 1994 yang mengaitkan trans fat dengan penyakit jantung koroner.  Sayangnya USDA-FDA baru mengeluarkan larangan produk yang mengandung trans fat buatan pada 2015 dan berlaku pada 2018 sebagai bentuk respon dari bukti-bukti ilmiah yang semakin menguat dan mendesak terkait bahaya trans fat. Namun Indonesia sejauh ini belum melakukan regulasi terkait hal tersebut. Butuh waktu 21 tahun hingga  trans fat hasil pengolahan dilarang di Amerika sejak laporan pertama terkait indikasi bahanyanya. Belajar dari hal tersebut, menjadi penting bagi kita untuk mengetahui perkembangan-perkembangan penelitian yang ada terkait bahan pangan sebagai penilaian dan pertimbangan dalam memilih asupan yang baik bagi tubuh.

Sumber Pustaka:

  • Suez, J., Korem, T., Zeevi, D., Zilberman-Schapira, G., Thaiss, C. A., Maza, O., Israeli, D., Zmora, N., Gilad, S., Weinberger, A., Kuperman, Y., Harmelin, A., Kolodkin-Gal, I., Shapiro, H., Halpern, Z., Segal, E., & Elinav, E. (2014). Artificial sweeteners induce glucose intolerance by altering the gut microbiota. Nature, 514(7521), 181–186. https://doi.org/10.1038/nature13793
  • Nutrition, C. for F. S. and A. (2018). Trans Fat. FDA. https://www.fda.gov/food/food-additives-petitions/trans-fat
  • Sujaya, I.N., (2017). Bakteri Saluran Cerna (Gut Microbiota): Keragaman, Dampak, dan Potensi Modifikasi. Bali Endocrine Update (BEU XIV), 84.
  • Thursby, E., & Juge, N. (2017). Introduction to the human gut microbiota. Biochemical Journal, 474(11), 1823–1836. https://doi.org/10.1042/BCJ20160510
  • Trans Fatty Acids and Coronary Heart Disease, Department of Nutrition, Harvard School of Public Health. (2006, September 3). https://web.archive.org/web/20060903061226/http://www.hsph.harvard.edu/reviews/transfats.html
  • Willett, W. C., & Ascherio, A. (1994). Trans fatty acids: Are the effects only marginal? American Journal of Public Health, 84(5), 722–724.

2 thoughts on “Pemanis Buatan Non-Kalori, Apa Betul Lebih Sehat?”

  1. Penjelasan tambahan: “Konsumen pemanis buatan non-kalori memiliki komposisi gut microbiota genus Bacteroides yang lebih banyak.” ini konsumennya tikus ya.. karena ujinya pada tikus

  2. Penjelasan tambahan: BPOM membatasi penggunaan trans fat (Kandungan asam lemak trans tidak
    boleh lebih dari 3% dari total asam lemak pada produk lemak terhidrogenasi seperti margarin) tapi belum dilarang seperti di Amerika

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top