Tren mengonsumsi makanan organik di dunia saat ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Pasar organik Uni Eropa meningkat cukup tinggi yaitu sebesar 7,4% pada tahun 2014 [1]. Dengan semakin meningkatnya permintaan konsumen, lahan pertanian organik juga semakin meningkat, seperti yang ditunjukkan pada grafik di bawah. Beberapa negara telah menjadi pasar terdepan dalam produk organik. Pada tahun 2017, Denmark memiliki pasar terbesar di Eropa untuk produk organik yaitu sebesar 9,7% dari penjualan secara global dan diikuti oleh Swedia dengan 7,9% [2]. Di Indonesia sendiri, Survei Pertanian Organik Indonesia (SPOI) 2015 mencatat jumlah produsen pangan organik di Indonesia meningkat sekitar 56 persen dibanding tahun sebelumnya [3].
Pengertian Makanan Organik
Dalam cakupan kimia, senyawa organik merupakan senyawa kimia yang mengandung atom karbon. Namun dalam bahasan kali ini, pelabelan kata ‘organik’ menyangkut pada bagaimana makanan atau minuman tersebut diproduksi. Menurut The Department for Agriculture and Rural Affairs (DEFRA), makanan organik adalah produk dari sistem pertanian yang menghindari penggunaan pupuk buatan manusia, pestisida, regulator pertumbuhan dan zat aditif pakan ternak. Iradiasi dan penggunaan organisme hasil rekayasa genetika (Genetically Modified Organisms atau GMO) atau produk yang dihasilkan dari atau oleh GMO pada umumnya dilarang dalam undang-undang organik [5].
Pertanian Organik dan Dampaknya terhadap Lingkungan
Sistem pertanian organik menggunakan pendekatan produksi yang berkelanjutan dari segi lingkungan, sosial dan ekonomi [5]. Penggunaan pupuk buatan dilakukan seminimal mungkin atau bahkan dihindari, dan juga untuk penggunaan antibiotik serta hormon pertumbuhan. Sistem ini kadang-kadang disebut dengan sistem pertanian biologis atau ekologis, yang menggabungkan metode konservasi dengan teknologi pertanian modern. Petani organik juga menggunakan peralatan modern untuk meningkatkan varietas tanaman, konservasi tanah dan air serta penerapan inovasi terbaru dalam pemberian makan dan penanganan hewan ternak. Sistem ini juga menekankan pada sistem rotasi tanaman. Rotasi tanaman dilakukan dengan menanam jenis tanaman yang berbeda secara berurutan di lahan atau bidang tanah yang sama dengan tujuan meningkatkan kesehatan tanah, mengoptimalkan nutrisi di dalam tanah serta memerangi serangan hama dan gulma. Sebagai contoh, penanaman kacang-kacangan di lahan bekas tanaman jagung. Jagung mengambil nitrogen dari dalam tanah dalam jumlah besar. Tanaman kacang-kacangan dapat mengembalikan sumber nitrogen ke dalam tanah melalui fiksasi nitrogen dari atmosfer oleh bakteri pengikat nitrogen, menjadi amonia [6]. (Selengkapnya : siklus nitrogen). Selain itu, diversifikasi tanaman dan ternak, perbaikan tanah dengan pupuk kompos dan pupuk hijau juga merupakan bagian dari sistem pertanian jenis ini.
Dari aspek lingkungan, sistem pertanian organik dapat dikatakan memiliki penilaian yang lebih baik daripada pertanian dengan sistem konvensional. Berdasarkan studi yang dilakukan, tanah yang digunakan dalam pertanian organik memiliki kadar karbon lebih besar, kualitas yang lebih baik dan tingkat erosi yang rendah dibandingkan dengan pertanian konvensional. Biodiversitas pada sistem ini juga lebih unggul karena penggunaan pestisida dapat menurunkan kemampuan kontrol biologis pada sistem konvensional. Resiko polusi akibat penggunaan pestisida sintetis pada air tanah dan permukaan tentunya menjadi sangat rendah [7]. Penggunaan pupuk organik (misal dari kotoran hewan) dapat memberikan dampak yang lebih baik terhadap lingkungan karena proses dekomposisinya di tanah lebih lambat daripada pupuk kimia. Sehingga, limpasan nitrogen berlebih yang menyebabkan polusi air tanah dan permukaan dapat berkurang.
Nutrisi pada Makanan Organik
Beberapa studi yang telah dilakukan menyatakan bahwa kandungan nutrisi seperti senyawa fenolik, vitamin dan mineral dalam produk makanan organik lebih tinggi daripada produk konvensional. Studi yang dilakukan oleh Huber (2011) menyimpulkan bahwa kandungan vitamin C pada makanan organik lebih tinggi. Selain vitamin C, kandungan karotenoid nya juga lebih tinggi seperti pada tomat dan wortel. Dalam beberapa studi juga diinformasikan bahwa kandungan protein dan asam amino pada gandum dengan teknik konvensional menghasilkan kadar yang lebih tinggi. Namun, dalam studi lainnya disebutkan bahwa lebih banyak asam amino esensial yang terkandung dalam produk organik. Dalam studi lainnya terhadap buah markisa produk organik, dihasilkan bahwa berat dan ukuran buah tersebut lebih kecil namun kandungan padatan terlarut atau Soluble Solids Content lebih tinggi dan tingkat keasaman lebih rendah. Kadar fenolik totalnya lebih rendah namun aktivitas enzim antioksidannya meningkat dibanding dengan produk konvensional [8]. Meskipun demikian, ulasan dari 240 studi yang dilakukan pada tahun 2012 menunjukkan bahwa tidak ditemukan perbedaan yang signifikan untuk kadar vitamin atau mineral baik pada produk organik maupun konvensional.
Faktor Penentu Kualitas Produk Berdasarkan Hasil Studi
Meskipun dalam beberapa hasil studi menunjukkan bahwa kandungan nutrisi pada produk organik lebih baik, terlalu dini rasanya untuk menyebutkan bahwa produk organik memiliki kualitas yang lebih baik. Padahal terdapat beberapa faktor yang juga berkontribusi dalam peningkatan kualitas produk organik. Hal esensial dan perlu digarisbawahi adalah kualitas keseluruhan dari produk organik tidak hanya dapat dilihat melalui variabel tunggal tetapi sangat bergantung pula pada interaksi antarvariabel. Berikut adalah hasil studi dari beberapa jenis sayuran yang ditumbuhkan dengan sistem organik dan konvensional serta kombinasi dengan variabel budidaya lainnya.
a. Bunga Kol
Pengaruh kultivar atau varietas tanaman (tepatnya sifat spesifik kultivar seperti pigmentasi) pada bunga kol menjadi penentu utama dari aktivitas antioksidan dan akumulasi nitrat karena menghasilkan perbedaan yang signifikan, di samping pengaruh sistem pertanian yang diterapkan dan jenis tanah yang digunakan. Tinggi dan diameter bunga pada produk organik lebih kecil sehingga konsekuensinya berat segarnya juga lebih kecil sekitar 20%. Apabila digunakan tanah liat sebagai media pertumbuhan, terjadi peningkatan ukuran dan berat sebesar 33% dan 49%.
Namun sekali lagi, kualitas utama dari bunga kol tidak ditinjau baik dari sistem pertanian maupun jenis tanahnya, karena ukuran yang lebih kecil dapat disebabkan oleh kurangnya ketersediaan nutrisi pada tanaman sehingga perkembangannya menjadi lebih terhambat [9].
b. Timun Jepang
Berdasarkan studi yang dilakukan, diperoleh hasil yang baik dengan sistem pertanian konvensional pada tanah liat. Namun, hasil yang rendah pada tanah pasir dengan sistem konvensional dapat disebabkan oleh berkurangnya efisiensi aplikasi pupuk mineral pada tanah tersebut. Sementara itu, kadar protein pada tanaman dengan sistem konvensional meningkat seiring dengan meningkatnya dosis pupuk, sedangkan pada tanaman dengan sistem organik tidak terpengaruh. Jenis tanah juga turut berkontribusi dalam akumulasi kalium pada timun jepang, dimana akumulasi tidak terjadi pada tanah pasir tetapi tanah liat [9].
c. Andewi
Hasil yang baik diperoleh dengan sistem pertanian konvensional. Akumulasi nitrat pada daun tanaman ini bergantung pada jenis tanah. Akumulasi molekul antioksidan umumnya berkaitan dengan respon stres, sehingga dua sistem pertanian yang diterapkan memungkinkan terjadinya aktivasi sintesis atau penurunan katabolisme. Saat tanaman berada pada kondisi kekurangan air, molekul antioksidan seperti asam askorbat dapat meningkat atau menurun. Hal tersebut mengindikasikan bahwa terjadinya interaksi antara berbagai stresor lingkungan dalam proses produksi antioksidan [9].
Tinjauan Kesehatan dalam Konsumsi Makanan Organik
Asumsi mengonsumsi produk organik akan lebih menyehatkan muncul karena kadar fitonutrien dan beberapa vitamin serta mineral yang lebih tinggi dan residu pestisida yang lebih rendah daripada produk konvensional. Kadar polifenol pada produk organik juga lebih tinggi. Senyawa fenolik yang ditemukan pada tanaman memiliki aktivitas antikarsinogenik, antiinflamasi, antimikroba, antioksidan, antihipertensi dan sifat analgesik. Namun sekali lagi, kadar yang terdapat pada produk organik dan konvensional tidak signifikan sehingga efeknya pun juga tidak terlalu signifikan.
Dalam suatu studi, dilaporkan bahwa terdapat hubungan antara konsumsi produk organik dengan penurunan resiko alergi, serta terdapat indikasi adanya potensi yang baik terhadap obesitas. Namun, studi tersebut masih terdapat kekurangan dalam pengambilan data seperti durasi jangka panjang dan data tentang faktor dan sumber makanannya. Meskipun disebutkan bahwa kadar fosfor lebih tinggi pada produk organik, hal tersebut tidak terlalu memberikan efek ketika dikonsumsi karena fosfor banyak ditemukan pada berbagai jenis makanan terlepas dari produk tersebut organik atau konvensional. Kasus kekurangan kadar fosfor dalam tubuh manusia juga merupakan kasus yang jarang terjadi.
Kesimpulan
Pertanian organik berpotensi menghasilkan produk berkualitas tinggi, seperti yang berkenaan dengan kadar antioksidan, akumulasi nitrat dan kadar residu fitokimia yang toksik, tentunya dengan beberapa penyempurnaan yang relevan. Penting untuk mengetahui beberapa faktor seperti varietas tanaman dan jenis tanah yang digunakan dalam peningkatan dan standardisasi kualitas dari produk organik sehingga kita tidak terlalu dini untuk mengatakan tentang keunggulan produk organik. Kondisi cuaca juga berperan dalam kualitas produk yang dihasilkan.
Secara keseluruhan, belum ditemukan bukti yang cukup kuat untuk menekankan bahwa makanan organik lebih menyehatkan daripada konvensional. Masalah kadar residu pestisida pun sebenarnya tidak terlalu krusial karena semua makanan memang harus memenuhi batas aman kandungan pestisida yang telah ditetapkan, tanpa melihat sistem pertanian apa yang digunakan. Lagipula, buah dan sayuran yang akan dikonsumsi tetap harus kita cuci baik untuk menghilangkan kotoran lain yang menempel maupun meminimalkan residu pestisida.
Referensi :
[1] https://www.ifoam-eu.org/en/what-we-do/organic-europe
[2] https://www.statista.com/statistics/640845/organic-markets-sales-in-the-european-union-eu/
[3] https://kumparan.com/kumparanfood/konsumsi-makanan-organik-di-indonesia-kian-meningkat-1rirKBsleoa
[4] https://orgprints.org/34608/7/Willer-2019-02-14-EUROPE.pdf
[5] https://www.bbcgoodfood.com/howto/guide/organic
[6] https://rodaleinstitute.org/why-organic/organic-farming-practices/crop-rotations/
[7] Reganold, J., Wachter, J. Organic agriculture in the twenty-first century. Nature Plants 2, 15221 (2016). https://doi.org/10.1038/nplants.2015.221
[8] Popa, M. E., Mitelut, A. C., Popa, E. E., Stan, A. & Popa, V. I. Organic foods contribution to nutritional quality and value. Trends in Food Science and Technology (2019) doi:10.1016/j.tifs.2018.01.003.
[9] Maggio, A., De Pascale, S., Paradiso, R. & Barbieri, G. Quality and nutritional value of vegetables from organic and conventional farming. Sci. Hortic. (Amsterdam). (2013) doi:10.1016/j.scienta.2013.10.005.
Hai. ada artikel bagus juga nih. Penelitian terbaru tentang Potensi Tsunami Non-Tektonik di dekat Calon Ibukota Baru Indonesia ditinjau dari ilmu Geologi. Selengkapnya di link ini
https://warstek.com/2020/05/30/submarine-landslides-in-the-makassar-strait-potensi-tsunami-non-tektonik-di-dekat-calon-ibu-kota-baru-indonesia/
Semoga bermanfaat
Wuih, keren banget 🙂
Waahhh keren!! Lanjutkann!! 🤩🤗💕
Wah, keren sekali!