Apa yang Anda bayangkan jika mendengar kata nano atau nanopartikel? Beberapa orang pasti akan mengatakan bahwa nano adalah permen (permen nano-nano). Bukan, bukan! Nano yang dimaksud disini merupakan sebuah satuan atau ukuran. Banyak juga orang yang mengatakan bahwa nano itu sangat kecil, namun kebanyakan orang masih belum mengetahui ukuran pastinya. Bagi masyarakat awam mungkin kata nanopartikel masih agak asing ditelinga namun bagi kalangan medis atau yang bergerak dalam bidang kesehatan pasti sudah sangat tahu dan paham dengan kata nano atau partikel nano.
Partikel nano merupakan pengembangan dari teknologi nano yang sudah diteliti sejak satu abad yang lalu. Teknologi nano menjadi perhatian dunia ketika pemenang nobel Richard P. Feynman menyampaikan tema tersebut di tahun 1959. Richard mengatakan “There’s Plenty of Room at the Bottom” yang artinya bahwa masih ada banyak sekali ukuran yang bisa dikembangkan sampai tingkat terkecil dan sampai saat ini partikel nano terindentifikasi memiliki ukuran setidaknya tidak lebih dari 100 nm[1].
Apa Kegunaan Partikel Nano?
Penggunaan partikel nano sebagai penghantar obat sudah sangat banyak diteliti oleh ilmuwan hingga saat ini dibidang kedokteran sebagai terapi untuk antikanker dan antivirus. Salah satu penyakit yang masih menjadi permasalah kesehatan terbesar di dunia adalah kanker. Kanker merupakan suatu penyakit akibat pertumbuhan sel secara abnormal pada organ tertentu sehingga dapat menimbulkan gejala klinis bagi penderitanya.
Menurut data dari World Health Organization tahun 2017 akan ada sekitar 7,6 juta orang meninggal disebabkan oleh kanker setiap tahunnya yang diperkirakan akan terus meningkat sekitar 13,1 juta orang meninggal pada tahun 2030[2]. Kanker dapat dikategorikan berdasarkan organ tempat sel kanker tersebut tumbuh.
Di antara berbagai jenis kanker. Salah satu kanker yang masih umum ditemukan di negara berkembang adalah kanker kolon. Data terbaru kanker kolon dilaporkan pada tahun 2016 di Amerika serikat yakni terdapat 95.270 kasus baru dengan 49.190 kematian yang terjadi akibat kanker kolon[3]. Berdasarkan lembaga survei kanker dunia (Globocan) dilaporkan bahwa pada tahun 2012 kanker kolon menempati uturan ketiga di dunia[4]. Sementara itu kanker kolon menempati urutan ke empat kanker yang paling sering terjadi di Asia Tenggara pada tahun 2017[5]. Data pada Kemenkes RI pada tahun 2015 melaporkan bahwa di Indonesia penyakit kanker kolon berada pada urutan kedua setelah kanker payudara[6].
Apa itu Kanker Kolon?
Secara normal kolon mempunyai fungsi untuk menghasilkan energi bagi tubuh dan membuang zat-zat yang tidak berguna. Kanker kolon atau kanker usus besar adalah suatu bentuk keganasan yang terdapat pada saluran pencernaan bawah (kolon, rektum, dan appendik), bagian sistem pencernaan atau yang disebut juga traktus gastrointestinal, lebih jelasnya kolon berada di bagian proksimal usus besar dan rektum di bagian distal sekitar 5-7 cm di atas anus. Kanker ini berasaldari sel glandula yang terdapat di lapisan dinding kolon dan rektum. Pada kebanyakan kasus, kanker kolon berkembang perlahan-lahan selama beberapa tahun. Sebelum menjadi kanker, perkembangan dimulai dari polip nonkarsinomatus yang selanjutnya berubah menjadi kanker. Polip merupakan jaringan yang tumbuh pada kolon atau rektum. Beberapa jenis polip disebut polip adenomatous atau adenoma yang paling sering menjadi kanker. Terdapat jenis lain dari polip yang disebut polip hiperplastik atau polip inflamasi. Apabila polip hiperplastik tumbuh pada kolon asenden atau sisi sebelah kanan maka dapat terjadi kanker.
Penyakit kanker identik dengan kempoterapi. Kemoterapi sendiri adalah pemberian obat untuk membunuh sel kanker namun bersifat sistemik yang berarti obat menyebar keseluruh tubuh dan dapat mengeliminasi sel kanker dan juga sel normal. Oleh karena itu biasanya pasien yang melakukan kemoterapi akan mengalami kerontokan rambut, toksisitas kulit, penurunan berat badan dan perubahan rasa dan nyeri.
Apa Hebatnya Partikel Nano?
Untuk mengurangi efek samping dari kemoterapi, telah banyak penelitian yang mengembangkan obat sebagai terapi antikanker, baik itu dari bahan alam atapaun penyempurnaan dari fungsi obat yang sudah ada dipasaran. Penggunaan partikel nano untuk meningkatkan penghantaran obat terhadap target penyakit seperti kanker menjadi salah satu fokus peneliti dunia saat ini. Selain ukurannya yang sangat kecil, partikel nano diharapkan dapat menghatarkan obat tepat pada sasaran target penyakit sehingga penyerapan obat diharapkan maksimal. Keunggulan lain dari partikel nano adalah dapat menghantarkan obat dalam berbagai aplikasi pengobatan dan berlaku hampir menyeluruh seperti intravena, oral , pulmonar, dan transdermal.
Potensi Masa Depan Partikel Nano ?
Kesesuaian bentuk partikel nano dengan target penyakit menjadi tantangan tersendiri dalam dunia kedoketeran saat ini. Kurang maksimalnya penyerapan obat dari partikel nano sempat dipertanyakan karena tidak adanya resptor spesifik pada target penyakit. Sebagai contohnya, jika partikel nano secara umum diberikan kepada pasien yang terkena penyakit kanker maka partikel nano tersebut tidak hanya akan menghantarkan pada sel kanker namun juga akan ada beberapa dari partikel nano tersebut yang akan mampir di sel normal dan akibatnya juga akan menimbulkan efek samping. Kalau begitu apa bedanya dengan kemoterapi?
Beberapa penelitian mengatakan bahwa setiap kanker mempunyai karakterisktik dan reseptor spesifik yang bisa di manipulasi untuk sistem target partikel nano agar penghantaran obat lebih maksimal. Dengan menambahkan target reseptor pada partikel nano maka partikel yang yang berisi obat ini akan langsung menuju ke target penyakit dan melepaskan obatnya tepat dipenyakit tersebut sehingga bagian tubuh yang normal tidak terkena efek samping yang siginifkan secara farmakologis.
Pada bulan Agustus tahun 2018, sebuah jurnal penelitian antikanker internasional mengatakan bahwa modifikasi partikel nano dengan target reseptor sel kanker menjadi sebuah penelitian yang menjanjikan. Peneliti menggunakan “Carcinoembryonic antigen-targeted nanoparticle (CEA)” sebagai target untuk kanker kolon. CEA ditemukan dipermukaan sel kanker kolon sebesar 98.8% dari pada di sel normal. Hasil dari penelitian ini sangat ideal dalam penghantaran obat ke target penyakit kanker kolon dan dengan metode ini dapat mengurangi efek samping dari pasien dengan lebih efektif dan efisien sehingga akan memperpanjang angka harapan hidup dari pasien kanker kolon[8]. Oleh karena itu jaminan akan tercapianya tujuan target obat merupakan syarat mutlak yang diperlukan untuk dapat menangani masalah penyakit seperti kanker.
Bagaimana Partikel Nano Bereseptor Dibuat?
Pada penelitian partikel nano bereseptor untuk terapi kanker kolon, peneliti menggunakan PLGA sebagai pelindungnya. PLGA adalah senyawa sintesis gabungan dari poly lactic acid (PLA) dan poly glycolic acid (PGA) yang bersifat biodegradable. PLGA ini kemudian dikombinasikan dengan Polyethylene glycol (PEG) sebagai tali penghubung antara PLGA dengan ligandnya yakni, Carcinoembryonic antigen (CEA) yang sebelumnya sudah disintesikan dengan gugus karboksil (COOH). PLGA kemudian disintesikan dan diikuti dengan penambahan bahan terapi. Obat yang digunakan untuk terapi ikanker kolon ini adalah Paclitaxel, bahan alam dari tanaman Taxus brevifolia. Paclitaxel dikombinasikan dengan tripolyphosphate (TPP) untuk menautkan obat pada PLGA. Untuk lebih jelasnya proses pembuatan partikel nano beresptor ini dapat dilihat pada gambar 3.
Apakah Indonesia Bisa Memproduksi Partikel Nano ?
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah mengembangkan teknologi nano sejak tahun 2000an, namun belum mampu mengkomersilkannya. Pada bulan Agustus 2018 Kepala LIPI, Laksana Tri Handoko dalam acara Ritech Expo mengungkapkan harapannya pada hasil riset LIPI bisa bermanfaat bagi masyarakat luas, seperti Nano Buble. Nano Bubble adalah teknologi nano dari LIPI yang sedang diterapkan untuk membantu mengurangi bau dan polusi di Kali Item Jakarta[9]. Nano Bubble bukan termasuk sebagai partikel nano yang bisa digunakan untuk terapi, Nano bubble merupakan cara baru dalam sistem pengairan dan pertanian dalam meningkatkan unsur hara dan kualitas air.
Partikel nano yang dikembangkan di LIPI masih terbatas, Wakil Kepala LIPI, Prof. Dr. Bambang Subiyanto (sebelumnya menjabat Kepala Inovasi LIPI tahun 2015) menyatakan bahwa sudah 13 tahun pengembangan teknologi nano di Indonesia berjalan sehingga tahap yang dituju sekarang adalah komersialisasi produk nanomaterial berbasis kegiatan riset[10]. Dari pernyataan tersebut jelaslah bahwa teknologi nano sebagai terapi antikanker masih terbatas riset. Namun, dengan keterbatasan yang ada di Indonesia ternyata tidak mengehentikan penelitian tentang partikel nano ini untuk dikembangkan. Buktinya sudah banyak jurnal penelitian tentang antikanker menggunakan partikel nano dengan berbagai modifikasi. Dengan keterbatasan, peneliti akan lebih kreatif mengembangkan penelitiannya agar bisa lebih bervariasi sehingga nantinya bisa dijadikan model untuk penelitian yang bisa lebih disempurnakan dimasa depan. Indonesia Bisa!.
Referensi
[1]. Feynman, R.P. 1960. There’s plenty of room at the bottom. Eng. Sci. 22 : 22 -36.
[2]. World Health Organization. 2017. Cancer intervention technical briefing. Diakses dari : http://www.who.int/ncds/governance/cancers.pdf?ua=1 pada tangal 3 Desember 2018.
[3]. Siegel, R.L. Miller, K.D., Jemal, A. 2016. Cancer statistic. Ann. Intern. Med. 128 : 900 -905
[4]. Ferlay, J., Soerjomataram, I., Dikshit, R. 2015. Cancer incidence and mortality worldwide: sources, methods and major patterns in Globocan 2012. Int. J. Cancer.136: 359-386.
[5]. Chandrasinghe, P.C., Ediriweera, D.S., Hewavisenthi, J., Kumarage, S.K., Ernando,F.R., Deen, K.I. 2017. Colorectal cancer burden and trends in a south asian cohort :experience from a regional tertiary care center in sri lanka.Biomed. Central Res. 10 : 535.
[6]. Kemenkes RI. 2015. Infodatin: Situasi Penyakit Kanker. Pusat Data dan Informasi. Kementrian Kesehatan RI. 1 – 6.
[7]. Cisternal, A.B., Kamaly, N., Choi, W.I., Tavakkoli, A., Farokhzad, O.C., Vilos, C. 2016. Targeted nanoparticles for colorectal cancer. Nanomedicine. 11(18) : 2443- 2456
[8]. Pereira, I., Sousa, F., Kennedy, P., Surmento, B. 2018. Carcinoembryonic antigen-targeted nanoparticles potentiate the delivery of anticancer drug to colorectal cancer cells. International J. of Pharm. 549 : 397 -403.
[9]. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2018. Nano bubles, impulse magnetizer, hingga riset ikan tuna tampil di gelaran ritech expo 2018. Diakses dari : http://lipi.go.id/berita/nano-bubble-impulse-magnetizer-hingga-riset-ikan-tuna-tampil-di-gelaran-ritech-expo-2018/21022 pada tanggal 3 Desember 2018.
[10]. Fathurrohman, M.N. 2015. Nurul tafiqu – pakar nanoteknologi Indonesia. Diakses dari : https:blogpenemu.blogspot.com/2015/06/nurul-taufiqu-pakar-nanoteknologi-Indonesia.html pada tanggal 4 Januari 2019.
Amaq Fadholly, drh. M.Si. adalah peraih Beasiswa Program Pendidikan Magister Menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU Batch 3) dari Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang saat ini sedang menempuh pendidikan jenjang Doktor, Sains Veteriner di Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia.