Tsunami Selat Sunda pada akhir 2018 dan Gempa Palu beberapa bulan sebelumnya kembali mengingatkan publik Indonesia akan resiko bencana yang mengancam. Sebagai negara yang memiliki posisi geografis di dalam Ring of Fire, sekaligus diapit 3 lempeng bumi yaitu Lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik, Indonesia sangat rawan dilanda peristiwa gempa bumi baik vulkanik maupun tektonik.
Bencana tsunami yang selalu menelan ratusan korban jiwa seringkali berasal dari gempa bumi tektonik bawah laut, yang ditandai dengan gempa bumi dan surutnya air laut sebelum gelombang tsunami menyapu daratan. Pada kasus tsunami Selat Sunda, hal demikian tidak terjadi sehingga masyarakat tidak mendapatkan peringatan. Seperti diketahui, gelombang tsunami Selat Sunda disebabkan oleh aktivitas vulkanik dari Gunung Anak Krakatau.
Untuk meminimalkan jumlah korban dan memberikan kesempatan evakuasi secara maksimal, diperlukan sistem deteksi dini dari bencana tsunami yang efektif. Pada artikel ini akan dibahas beberapa jenis teknologi deteksi tsunami, baik yang telah diaplikasikan di Indonesia maupun teknologi yang bersifat konsep atau prototipe. Teknologi yang telah diaplikasikan adalah InaTEWS, sedangkan beberapa teknologi yang dapat dipertimbangkan untuk diaplikasikan adalah CBT, LTS, dan DAS. Ketiganya menggunakan fiber optik sebagai salah satu komponennnya.
InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System)
Sistem deteksi tsunami diperlukan untuk memberikan peringatan dini bencana sehingga dapat mengurangi jumlah korban jiwa. Sejauh ini, teknologi pendeteksi tsunami yang dimiliki Indonesia adalah berupa Buoy dan Tide gauge. Keduanya merupakan bagian dari InaTEWS, terhubung melalui satelit dan dimonitor oleh BMKG. Tide Gauge adalah alat pendeteksi ketinggian air laut yang bisa dipasang di bibir pantai atau dermaga seperti ditunjukkan gambar 1.
Gambar 1. Tide Gauge untuk mendeteksi ketinggian air laut. Sumber gambar : Earth and Space Science News
Buoy merupakan sebuah sistem yang terdiri dari unit dasar laut dan unit pelampung. Gambar 2 menunjukkan sistem dari Deep-ocean Assessment and Reporting of Tsunamis (DART), teknologi pendeteksi yang digunakan oleh NOAA (Amerika Serikat). Indonesia memiliki produk sendiri yaitu InaBuoy yang dirancang oleh BPPT. Unit dasar laut dari Buoy berfungsi untuk mendeteksi tekanan sedangkan unit pelampung memiliki berbagai sensor meteorologi serta unit telekomunikasi. Buoy mendeteksi adanya perubahan ketinggian air laut dan mengirimkan data tersebut ke satelit untuk dikirimkan ke pihak yang berkepentingan dalam peringatan dini seperti BMKG dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
Gambar 2. Sistem DART (atas) dan Inabuoy (bawah). Sumber gambar : NOAA dan BPPT
Kekurangan dari sistem buoy dan tide gauge yang telah diaplikasikan di Indonesia adalah rawan terjadi kerusakan akibat posisi alat diatas permukaan laut. Cuaca ekstrim seperti angin dan ombak dapat merusak instrumen. Selain itu, seringkali terjadi kerusakan akibat vandalisme serta kurangnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan alat-alat deteksi dini tsunami tersebut.
Cable-Based Tsunameter (CBT)
Menanggapi permasalahan yang saat ini terjadi pada buoy, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada Oktober 2018 menawarkan teknologi lain untuk melengkapi Buoy, yaitu Cable-Based Tsunameter (CBT). Sistem ini pertama kali diuji coba pada 2016, berkat kerjasama peneliti Indonesia, Woods Hole Oceanographic Institution (WHOI), dan University of Pittsburgh. Fokus utama CBT adalah bagaimana mengirimkan peringatan tsunami tanpa menggunakan unit buoy terapung (yang sering hilang atau rusak) dan menggunakan metode pengiriman sinyal yang lain.
Memanfaatkan gelombang akustik (suara) yang dapat merambat dalam laut, para ilmuan dapat mengirimkan data dari unit sensor pada dasar laut menuju daratan. Unit dasar laut buoy yang memiliki sensor tekanan diletakkan pada kedalaman sekitar 1.6 km dan sejauh 100 km dari darat. Sinyal suara dikirimkan pada frekuensi 3 kHz melalui modem pemancar (di dasar laut) menuju ke atas dan mengalami pemantulan oleh lapisan air laut sehingga sampai pada modem penerima (di dekat daratan). Dari modem penerima, sinyal dibawa menggunakan kabel fiber optik untuk sampai ke daratan. Dari sinilah asal istilah cable-based. Sinyal tidak lagi dibawa melalui satelit namun diteruskan dengan kabel fiber optik yang tentunya dapat mengirim informasi dengan lebih cepat. Sistem CBT dapat diintegrasikan dengan proyek kabel laut Palapa Ring.
Gambar 3. Cara kerja CBT. Sumber gambar : Woods Hole Oceanographic Institution
Proyek Palapa Ring merupakan jaringan komunikasi fiber optik di Indonesia yang terdiri atas tujuh lingkar kecil fiber optik untuk wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, Papua, Sulawesi, dan Maluku. Pembangunan proyek ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu barat, tengah, dan timur. Selain untuk telekomunikasi, kabel serat optik juga dapat dimanfaatkan untuk alat pendeteksi tsunami agar komunikasi datanya makin cepat.
Gambar 4. Proyek Palapa Ring Indonesia. Sumber gambar : Kominfo
Baca juga : Dasar Komunikasi Fiber Optik dan FTTH (Fiber To The Home)
CBT diperkirakan membutuhkan biaya lebih banyak untuk pembangunan awalnya, namun dapat bertahan lebih lama hingga hitungan tahun. Sebagai perbandingan, Buoy membutuhkan kisaran harga miliaran dan CBT membutuhkan hingga triliunan rupiah untuk pembangunan dari nol. Tetapi jika ditinjau dari lifetime alat, buoy dapat rusak lebih cepat dan lebih rawan terhadap vandalisme.
Laser Tsunami Sensor (LTS)
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI sedang mengembangkan alat deteksi tsunami, Laser Tsunami Sensor (LTS) yang berbasis kabel fiber optik. Alat ini mereka klaim lebih efisien dibandingkan dengan buoy atau pelampung tsunami. Peneliti Pusat Penelitian Fisika LIPI, Bambang Widiyatmoko mengatakan, alat sensor tsunami merupakan sensor tekanan air atau sensor perubahan tekanan air, sehingga alat tersebut bisa mendeteksi tsunami yang disebabkan vulkanik atau longsor bawah laut. Berikut adalah video lengkapnya:
[embedyt] https://www.youtube.com/watch?v=EL2ohl_yfno[/embedyt]
Kemudahan penggunaan LTS adalah komponen pengirim (transmitter) cahaya dapat diletakkan di darat, sedangkan sensor fiber optik dibentangkan dari darat hingga ke titik yang ingin dimonitor aktivitas seismiknya. Cahaya merambat dari darat menuju sensor, sensor mendeteksi aktivitas seismik, kemudian cahaya dipantulkan kembali menuju detektor untuk mendapatkan informasi yang diinginkan.
Sistem LTS tentunya berbeda dengan CBT, karena disini fiber optik berperan sebagai sensor, bukan hanya sebagai media pengiriman informasi. LTS memiliki beberapa tipe. Tipe yang telah dikembangkan LIPI adalah berbasis Fiber-Bragg Grating (FBG).
LTS berbasis Fiber-Bragg Grating (FBG)
FBG adalah jenis serat optik yang memiliki indeks bias periodik. Jika cahaya yang berspektrum lebar/polikromatik dirambatkan dalam FBG, cahaya tersebut akan mengalami pemantulan atau transmisi sesuai panjang gelombang yang spesifik, seperti ditunjukkan pada gambar.
Gambar 5. Ilustrasi cara kerja FBG
FBG memantulkan panjang gelombang tertentu, dan mentransmisikan yang lain. FBG dapat mendeteksi perubahan variabel fisis seperti suhu, tekanan, dan strain karena perubahan besaran tersebut mempengaruhi panjang periode grating dari FBG (semakin melar atau semakin mengkerut), sehingga terjadi perubahan panjang gelombang cahaya yang ditransmisikan atau dipantulkan. Perubahan ini digunakan sebagai dasar aplikasi FBG sebagai sensor. Adanya perubahan pada cahaya yang dipantulkan atau ditransmisikan FBG menunjukkan adanya aktivitas seismik yang dapat menunjukkan peringatan dini gempa dan tsunami.
Distributed Acoustic Sensing (DAS)
Ilmuwan dari Lawrence Berkeley National Laboratory (Berkeley Lab) telah menunjukkan pemanfaatan dark fiber sebagai sensor yang mendeteksi gempa bumi, pergeseran tanah, keberadaan air tanah, dan berbagai kondisi bawah tanah yang lain. Dark fiber adalah fiber optik yang telah dipasang di bawah tanah namun tidak digunakan untuk jalur komunikasi (fiber optik yang menganggur). Teknologi ini disebut “distributed acoustic sensing,” yaitu mengukur gelombang seismik menggunakan fiber optik. Dengan pengolahan data yang tepat, diperoleh hasil seperti seismometer konvensional, dengan berbagai kelebihan.
Pertama, seluruh bagian dari serat optik dapat berfungsi sebagai sensor. Data yang diperoleh dari sensor dapat menunjukkan posisi tepat dari pusat gempa. Bayangkan terdapat jaringan fiber optik disepanjang garis pantai, batas lempeng, daerah vulkanik, serta di wilayah rawan bencana di Indonesia. Tentunya segala perubahan seismik di daerah tersebut dapat terpantau dan terintegrasi dalam suatu sistem. Deteksi dan peringatan dini adanya bencana gempa bumi maupun tsunami akan lebih mudah dilakukan. Kedua, sistem ini dapat bertahan sangat lama dan tidak membutuhkan perawatan dalam jangka waktu sangat panjang. Setelah kabel ditanam dalam tanah (atau di dasar laut), kabel fiber optik bisa dibiarkan hingga belasan tahun.
Distributed acoustic sensing (DAS) adalah teknologi baru untuk mengukur gelombang seismik dengan menembakkan pulsa-pulsa cahaya laser kedalam fiber optik. Cahaya laser kemudian mengalami hamburan akibat adanya impuritas dalam material fiber optik. Hamburan ini dapat menyebabkan sebagian cahaya terhambur kembali kearah datangnya sinyal (kearah transmitter) dan peristiwa ini disebut sebagai backscattering (hamburan balik). Bentuk sinyal dari cahaya yang terhambur ini dipengaruhi oleh energi gelombang akustik dari getaran bumi. Perubahan fisis pada fiber optik – tekanan, regangan, atau pergeseran – akan menyebabkan perubahan jumlah cahaya yang mengalami hamburan balik tersebut, sehingga merubah pembacaan intensitas cahaya laser yang diterima oleh detektor.
Dalam sensor serat optik, peristiwa hamburan cahaya merupakan konsep dasar dari pengukuran distributed acoustic sensing karena sinyal getaran seismik dapat dideteksi. Terdapat tiga jenis hamburan cahaya yang mungkin terjadi dalam fiber optik, yaitu hamburan Raman, Brillouin dan Rayleigh.
Gambar 6. Prinsip dasar DAS. Sumber gambar : Stanford University
Uji Coba DAS
Dalam uji coba skala kecil yang dilakukan di California, fiber optik ditanam sejauh 100 meter dari jalan raya, dan hasilnya menunjukkan bahwa fiber optik telah dapat mendeteksi adanya gelombang seismik yang diakibatkan oleh pergerakan lalu lintas kendaraan. Pengukuran dapat menunjukkan bagian mana dari fiber optik (atau kilometer berapa) yang mengalami perubahan fisis. Hal ini ditunjukkan pada gambar 6, yakni dilakukan dengan menghitung waktu yang diperlukan cahaya laser untuk merambat dalam serat optik. Cara ini dapat dianalogikan seperti sonar, dimana jarak objek dapat diukur akibat adanya gangguan perambatan cahaya. Metode ini menguntungkan bila dimanfaatkan sebagai alat deteksi tsunami karena dapat memprediksi arah gelombang dari letak pusat aktivitas seismik.
Gambar 7. Sinyal yang dihasilkan oleh DAS
Walaupun biaya pengadaan awal cukup mahal, teknologi fiber optik dapat menjadi investasi yang berharga dalam pewujudan sistem pendeteksi tsunami. Semua bergantung pada kebijakan pemerintah dalam menentukan teknologi yang tepat digunakan.
Sumber :
- Bandweaver, -. Distributed Acoustics Sensing
- CNN Indonesia, 2018. Beda Biaya Buoy dan CBT, Dua Teknologi Deteksi Tsunami
- David Hill, 2015. Fiber Sensing: Optical fiber monitors the arterial networks of commerce
- Earth and Space Science News, 2017. Why We Must Tie Satellite Positioning to Tide Gauge Data
- Julie Chao, 2017. Dark Fiber: Using Sensors Beneath Our Feet to Tell Us About Earthquakes, Water, and Other Geophysical Phenomena
- Kate Madin, 2017. A New Tsunami-Warning System
- Sindonews, 2018. BPPT Siapkan Alat Deteksi Tsunami Berbasis Kabel Laut, Lebih Akurat dari BUOY
- Tempo, 2018. Selain Buoy, BPPT Usulkan Teknologi CBT untuk Deteksi Tsunami
- Wahyu W. Pandoe, 2012. Operational InaTEWS Tsunami Buoys in Indonesia