Tragedi Baterai Litium Ion
Sampai saat ini, baterai litium ion masih mendominasi pasar sebagai perangkat penyimpanan energi pada hampir setiap peralatan elektronik meskipun pengembangan baterai litium lainnya sedang masif juga dilakukan seperti baterai litium-nitrogen dan baterai litium-sulfur. Masyarakat telah merasakan banyak manfaatnya dan karena hal itu, para pengembang baterai litium ion, J.B Goodenoguh, M. Stanley Whittingham dan Akira Yoshino dianugerahi Nobel kimia tahun 2019. Tapi ada satu kejadian yang membuat baterai litium ion yang tertanam dalam ponsel Samsung Galaxy Note 7 menjadi sorotan. Ponsel tersebut terbakar ketika di charge dalam pesawat yang akan berangkat dari Louisville, Kentucky menuju Baltimore, Maryland[1].
Tak ada korban jiwa dalam insiden tersebut namun kredibilitas Samsung dalam menyediakan ponsel yang aman mulai goyah. Hasil investigasi Samsung yaitu terjadi kesalahan manufaktur pada baterai litium ion; casing baterai yang tak sesuai ukuran dan kegagalan fungsi separator yang seharusnya mencegah kontak antara anoda dan katoda yang dapat menimbulkan konslet[1]. Perlu diperhatikan juga bahwa pelarut elektrolit merupakan senyawa organik yang mudah terbakar.
Elektrolit Fluorinated Siklik Posfat
Sudah hampir 30 tahun, pelarut organik pada baterai litium ion tak tergantikan. Elektrolit komersial yang digunakan pada baterai litium ion adalah garam lithium hexafluorophosphate (LiPF6) yang dilarutkan dalam etilen karbonat (EC) dan dimetil karbonat (DMC). Pelarut organik tersebut mudah terbakar dan menguap namun memiliki potential window yang tinggi. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, para peneliti dari University of Tokyo dan Kyoto University telah mengembangkan pelarut organik baru berbasis fluorinated siklik posfat. Ada dua jenis elektrolit yang digunakan dalam percobaan ini yaitu LiPF6 dan lithium bis(fluorosulfonyl)imide (LiFSI). Sementara itu, pelarut organik yang digunakan terdiri dari EC/DMC, 2,2,2-trifluoroethyl methyl carbonate (FEMC) dan 2-(2,2,2-trifluoroethoxy)-1,3,2-dioxaphospholane 2-oxide (TFEP)/FEMC[2]. Pengujian dilakukan dengan membakar elektrolit yang telah ditambahkan pelarut organik. Gambar 1 menunjukkan hasil tes pembakaran elektrolit dalam pelarut organik.
Elektrolit LiFSI dalam TFEP/FEMC yang merupakan pelarut organik berbasis fluorinated cyclic phosphate tidak terbakar. Berbeda halnya dengan elektrolit konvensional LiPF6 dalam EC/DMC yang mudah terbakar dan memiliki nilai self-extinguishing time (SET) sebesar 68 s/gr sedangkan elektrolit LiFSI dalam TFEP/FEMC memiliki nilai SET sebesar 0[2]. SET menunjukkan berapa lama sampel terbakar setelah sumber api dihilangkan. Elektrolit LiFSI dalam TFEP/FEMC juga membentuk lapisan solid electrolyte interphase (SEI) yang baik di sisi anoda. SEI merupakan lapisan pelindung yang terbentuk dari dekomposisi elektrolit saat siklus pertama. SEI ini juga tidak dapat menghantarkan elektron dan mencegah penetrasi elektrolit menuju permukaan anoda. Hanya ion litium yang dapat melewati lapisan SEI. Gambar 2 menunjukkan skema lapisan SEI yang terbentuk di permukaan anoda ketika menggunakan elektrolit LiFSI dalam TFEP/FEMC. Keseragaman lapisan SEI yang terbentuk memberikan keuntungan terhadap umur pakai baterai litium ion.
Selain itu, para peneliti juga telah membuat analisis tentang kelebihan dan kekurangan dari elektrolit konvensional (LiPF6 dalam EC/DMC) dan elektrolit LiFSI dalam TFEP/FEMC. Dari sisi konduktivitas ionik, elektrolit konvensional (10,7 mS/cm) masih lebih tinggi dibandingkan elektrolit LiFSI dalam TFEP/FEMC (2,19 mS/cm)[2]. Namun, elektrolit LiFSI dalam TFEP/FEMC memiliki kestabilan termal, cyclic retention dan potential window yang lebih tinggi dibandingkan elektrolit konvensional. Hal yang tak kalah pentingnya juga adalah elektrolit LiFSI dalam TFEP/FEMC tidak mudah terbakar yang dapat meningkatkan keamanan dalam pemanfaatan baterai litium ion di peralatan elektronik. Gambar 3 menunjukkan perbandingan elektrolit LiPF6 dalam EC/DMC dan elektrolit LiFSI dalam TFEP/FEMC. Gambar 3.
Penutup
Prof Yamada, salah satu peneliti dalam penelitian ini, mengatakan bahwa penelitiannya ini diharapkan dapat menjadi stimulus bagi peneliti lain untuk membuat dan mengembangkan material baru dalam rangka meningkatkan kinerja baterai. Para peneliti pun menyadari bahwa pelarut TEFP yang mereka sintesis di laboratorium masih belum memenuhi grade baterai[2][3]. Saat ini, mereka sedang melanjutkan pengembangan pelarut tersebut untuk diaplikasikan di baterai litium ion secara komersial dan tentunya meningkatkan kinerja serta keamanan dalam penggunaan baterai litium ion.
Referensi
[1] Andrews, T.M. 2016. Samsung Galaxy ‘safe’ replacement phone reportedly catches fire — on a plane. Diakses dari : https://www.washingtonpost.com/news/morning-mix/wp/2016/10/06/a-safe-replacement-samsung-phone-reportedly-catches-fire-on-a-plane/ pada 28 Mei 2020
[2] Zheng, Q., Yamada, Y., Shang, R., Ko, S., Lee, Y-Y., Kim, K., Nakamura, E., dan Yamada, A. 2020. A cyclic phosphate-based battery electrolyte for high voltage and safe operation. Nature Energy, 5, 291–298
[3] Fadelli, I. 2020. A cyclic phosphate-based electrolyte for safe and high voltage lithium-ion batteries. Diakses dari : https://techxplore.com/news/2020-03-cyclic-phosphate-based-electrolyte-safe-high.html pada 28 Mei 2020
Hai. ada artikel bagus juga nih. Penelitian terbaru tentang Potensi Tsunami Non-Tektonik di dekat Calon Ibukota Baru Indonesia ditinjau dari ilmu Geologi. Selengkapnya di link ini
https://warstek.com/2020/05/30/submarine-landslides-in-the-makassar-strait-potensi-tsunami-non-tektonik-di-dekat-calon-ibu-kota-baru-indonesia/
Semoga bermanfaat