Sejarah Pengembangan Baterai Litium-Ion, Penemuan yang Diganjar Nobel Kimia Tahun 2019

Akademi Sains Kerajaan Swedia telah menganugerakan penghargaan Nobel Kimia kepada tiga ilmuwan, yaitu John B. Goodenough, M. Stanley Whittingham dan […]

blank

Akademi Sains Kerajaan Swedia telah menganugerakan penghargaan Nobel Kimia kepada tiga ilmuwan, yaitu John B. Goodenough, M. Stanley Whittingham dan Akira Yoshino atas jasanya yang telah mengembangkan baterai Litium-Ion. Penggunaan baterai litium-ion telah digunakan pada banyak benda, misal laptop, komputer, ponsel, hingga kendaraan listrik. Kelebihan dari baterai litium-ion ini adalah kapasitasnya yang besar, ringan, dan dapat diisi ulang.

Litium dalam Tabel Periodik [1]
Litium dalam Tabel Periodik [1]

Litium merupakan salah satu logam alkali, dengan satu elektron valensi di kulit terluarnya, memungkinkan elektron di kulit terluarnya untuk keluar. Saat elektron terluarnya keluar, litium bersifat lebih positif dan lebih stabil, dan menjadi ion litium. Ahli kimia asal Swedia saat memurnikan sampel mineral tidak menemukan logam litium dalam kondisi murni, tetapi ion litium dalam bentuk garam. Litium murni merupakan unsur yang tidak stabil, karena harus disimpan dalam minyak agar tidak bereaksi dengan udara yang dapat terbakar.

Pada awal tahun 1970, Stanley Whittingham menggunakan lithium’s enormous drive untuk membuat elektron terluar dari litium keluar, ketika beliau mengembangkan baterai litium pertama. Di tahun 1980, John Goodenough menggandakan tegangan listrik/beda potensial dari baterai, sehingga tercipta kondisi yang tepat untuk baterai yang jauh lebih kuat dan bermanfaat. Pada tahun 1985, Akira Yoshino berhasil menghilangkan litium murni dari komposisi baterai, menggantinya dengan ion litium, yang lebih aman daripada litium murni. Inilah yang membuat baterai dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Baterai lithium-ion (li-ion) telah membawa manfaat yang besar dalam kehidupan manusia, karena mereka telah memungkinkan pengembangan komputer, laptop, ponsel, kendaraan listrik, dan penyimpanan energi yang dihasilkan dari tenaga surya dan angin. Setelah ini, kita akan mundur lima puluh tahun ke belakang, ke awal baterai lithium-ion diciptakan [1].

Asap dari bensin merevitalisasi penelitian baterai.

Pada pertengahan abad ke-20, jumlah mobil yang berbahan bakar bensin di dunia meningkat secara signifikan, dan mobil tersebut menghasilkan asap berbahaya yang menimbulkan polusi di kota-kota besar. Dikombinasikan bahwa bayangan bahwa minyak adalah sumber daya yang terbatas, membuat produsen kendaraan dan perusahaan minyak was-was. Mereka perlu untuk revitalisasi (proses atau cara dan perbuatan untuk menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya terberdaya, menjadi sesuatu yang vital, penting) dalam kendaraan listrik dan sumber energi alternatif agar bisnis mereka tetap hidup. Kendaraan listrik dan sumber energi alternatif membutuhkan sesuatu yang dapat menyimpan energi dalam jumlah yang besar.  Sebenarnya, ada dua baterai pada saat itu yang dapat diisi ulang: Baterai asam timbal (masih digunakan sebagai baterai starter pada mobil berbahan bakar bensin, namun tidak cocok karena rasio energi:berat kecil, yang artinya jika ingin energi besar, maka baterainya akan berat), dan baterai nikel-kadmium (harga pembuatannya mahal, juga tidak ramah lingkungan) [1].

Perusahaan Minyak Berinvestasi dalam Teknologi Baru

Ancaman atas pikiran minyak akan habis, mengakibatkan perusahaan raksasa minyak, Exxon, memutuskan untuk membuat variasi dalam kegiatannya. Investasi dalam penelitian dasar, membuat mereka merekrut beberapa peneliti terkemuka di bidang Energi. Stanley Whittingham termasuk salah satu yang pindah ke Exxon pada tahun 1972. Stanley bersama rekan-rekannya mulai menginvestigasi bahan superkonduktor, termasuk tantalum disulfida, yang dapat interkalasi (penyisipan ion ke dalam antarlapis struktur yang dapat mengembang). Mereka menambahkan ion ke tantalum disulfida dan mempelajari bagaimana konduktivitas (kemampuan suatu bahan untuk menghantarkan arus listrik) dipengaruhi [1].

Whittingham temukan sebuah material yang sangat padat-energi.

Saat melakukan suatu penelitian, terkadang menghasilkan penemuan yang tak terduga dan berharga. Ternyata, ion kalium mempengaruhi konduktivitas tantalum disulfida. Interaksi antara ion kalium dan tantalum disulfida menghasilkan energi yang cukup besar, ya lebih baik daripada kebanyakan baterai pada saat itu. Stanley dengan cepat menyadari dan mengubah jalur menjadi pengembangan teknologi baru yang bisa menyimpan energi untuk kendaraan listrik di masa depan. Namun sayangnya, tantalum merupakan unsur yang berat, sehingga dia menggantinya dengan titanium, unsur yang memiliki sifat serupa namun jauh lebih ringan [1].

Litium dalam Elektroda Negatif

Dalam baterai, elektron harus mengalir dari elektroda negatif (anoda) ke elektroda positif (katoda). Oleh karena itu, anoda haruslah mengandung bahan yang mudah melepaskan elektron, dan dari semua unsur, litium lah yang paling mudah melepaskan elektron. Hasilnya adalah baterai litium yang dapat diisi ulang.

Lithium's enormous drive
Lithium’s enormous drive [1]

Baterai isi ulang pertama rusak ketika digunakan, karena memiliki bahan padat di elektoda yang akan bereaksi dengan elektrolit. Kelebihan dari baterai Whittinghams adalah bahwa ion litium disimpan di ruang kosong yang terdapat pada titanium disulfida di katoda. Ketika digunakan, ion litium mengalir dari litium dalam anoda ke titanium disulfida di katoda. Ketika baterai terisi, ion litium akan mengalir kembali.[1].

Baterai Meledak dan Harga Minyak Anjlok

Sayangnya, kelompok yang telah melakukan produksi baterai ternyata mengalami beberapa kemunduran. Ketika baterai lithium baru diisi ulang, kumis (whiskers) tipis tumbuh dari elektroda litium. Ketika whiskers mencapai elektroda yang lain, baterai mengalami hubungan arus pendek yang menyebabkan terjadinya ledakan.

blank
‘Kumis’ tipis dari Litium [1]

Stanley Whittingham mengumumkan penemuannya tentang penambahan aluminium ke elektroda litium, dan baterai mulai diproduksi skala kecil untuk jam arloji bertenaga surya. Tujuan selanjutnya adalah meningkatkan baterai litium yang dapat diisi ulang, sehingga dapat digunakan untuk memberi daya pada mobil. Namun, harga minyak yang turun drastis pada awal 1980-an membuat Exxon perlu melakukan pengurangan. Pekerjaan pengambangan teknologi baterai dihentikan dan dilisensikan ke tiga perusahaan di tiga belahan negara yang berbeda. Ketika Exxon menyerah, John Goodenough mengambil alih [1].

Krisis Minyak Membuat Goodenough Tertarik Pada Baterai

Di masa kecil, John Goodenough mengalami masalah signifikan dalam belajar membaca, hal inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa dia tertarik pada matematika dan fisika. Seperti kebanyakan orang di tahun 1970-an, akibat dari krisis minyak, dia berkeinginan untuk kontribusi pada pengembangan sumber energi alternatif.

Terjadi Tegangan Tinggi Ketika Kobalt Oksida menjadi Katoda Menggantikan Tantalum Disulfida

blank
Kobalt Oksida sebagai Katoda di Baterai Litium [1]

John Goodenough mengetahui tentang baterai buatan Whittingham, tapi pengetahuannya tentang materi membuat dia tahu bahwa katodanya dapat memberi beda potensial/tegangan yang lebih tinggi jika digunakan kobalt oksida, bukan tantalum disulfida. Baterai Whittingham menghasilkan lebih dari 2 volt. tetapi Goodenough menemukan bahwa baterai dengan litium-kobalt oksida di katoda hampir dua kali lipat lebih kuat, yaitu 4 volt. Kunci kesuksesannya adalah kesadaran Goodenough bahwa baterai tidak harus diproduksi dalam keadaan isi ulang (recharged), namun harus bisa diisi ulang setelah itu.

Perusahaan Elektronik di Jepang Menginginkan Baterai yang Ringan

Ketika harga minyak di bumi bagian barat menjadi murah, menjadikan minat investasi dalam energi alternatif, teknologi dan pengembangan kendaraan listrik menjadi besar. Berbeda dengan Jepang; perusahaan elektronik sangat membutuhkan baterai yang ringan serta dapat diisi ulang yang dapat memberikan inovasi pada peralatan elektronik, seperti kamera video, telepon tanpa kabel, dan komputer. Satu orang yang melihat kesempatan ini adalah Akira Yoshino dari Asahi Kasei Corporation [1]

Yoshino Menciptakan Baterai Litium-Ion Komersial Pertama

blank
Baterai Akira Yoshino [1]

Momen penemuan Akira Yoshino datang ketika ia mencoba menggunakan minyak bumi, produk sampingan dari industri minyak. Ketika ia mengisi kokas minyak bumi dengan elektron, ion litium ditarik ke dalam material. Kemudian, ketika ia menyalakan baterai, elektron dan ion lithium mengalir menuju kobalt oksida di katoda, yang memiliki tegangan jauh lebih tinggi. Baterai yang dikembangkan oleh Akira Yoshino stabil, ringan, memiliki kapasitas tinggi dan menghasilkan 4 volt. Keuntungan terbesar dari baterai litium-ion adalah bahwa ion-ion disisipkan dalam elektroda. Sebagian besar baterai lainnya didasarkan pada reaksi kimia di mana elektroda perlahan tapi pasti berubah. Ketika baterai lithium-ion diisi atau digunakan, ion mengalir di antara elektroda tanpa bereaksi dengan sekitarnya. Ini berarti baterai litium-ion memiliki umur yang panjang dan dapat diisi ratusan kali sebelum kinerjanya memburuk. Kelebihan lainnya dari baterai ini adalah tidak mengandung litium murni. Di tahun 1986, ketika Akira Yoshino menguji keamanan pada baterai, dia menjatuhkan sepotong besi yang besar, tetapi tidak ada yang terjadi. Namun, saat mengulangi percobaan dengan baterai yang mengandung litium murni, terjadi ledakan yang hebat [1].

Baterai Litium-Ion Dibutuhkan untuk Masyarakat Bebas Bahan Bakar Fosil

Pada tahun 1991, sebuah perusahaan elektronik besar di Jepang mulai menjual baterai lithium-ion pertama, terkemuka untuk revolusi dalam elektronik. Produksi ponsel menyusut, komputer menjadi portabel dan pemutar MP3 dan tablet dikembangkan. Selanjutnya, para peneliti di seluruh dunia telah menelusuri tabel periodik tentang pencarian baterai yang lebih baik, tetapi belum ada yang berhasil menciptakan sesuatu yang mengalahkan kapasitas dan voltase baterai lithium ion yang tinggi. Namun, baterai lithium-ion telah berubah dan ditingkatkan; antara lain, John Goodenough telah menggantikan oksida kobalt dengan besi fosfat, yang membuat baterai lebih ramah lingkungan. Seperti hampir semua hal lain, produksi baterai litium-ion berdampak pada lingkungan, tetapi ada juga manfaat lingkungan yang besar. Baterai telah memungkinkan pengembangan teknologi energi yang lebih bersih dan kendaraan listrik, sehingga berkontribusi terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca [1].

Sekilas Biodata Penerima Penghargaan Nobel Kimia 2019

John Bannister Goodenough
John Bannister Goodenough lahir di Jena, Jerman tahun 1922. Menyelesaikan Ph.D. di University of Chicago, USA tahun 1952 [2].
Michael Stanley Whittingham
Michael Stanley Whittingham lahir di UK tahun 1941. Studi Ph.D di Oxford University tahun 1968 [2].
Akira Yoshino
Akira Yoshino lahir di Jepang tahun 1948. Studi Ph.D. di Osaka University tahun 2005 [2].

Referensi:

[1] Nobel Prize. 2019. The Nobel Prize in Chemistry 2019: Popular Science Background. Diakses pada 16 Oktober 2019

[2] Nobel Prize. 2019. The Nobel Prize in Chemistry 2019. Diakses pada 16 Oktober 2019.

[3]. Twitter. 2019. The Nobel Prize. Diakses pada 16 Oktober 2019.

1 komentar untuk “Sejarah Pengembangan Baterai Litium-Ion, Penemuan yang Diganjar Nobel Kimia Tahun 2019”

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *