Indonesia merupakan negara “supermarket bencana” yang rawan terhadap kejadian bencana. Bencana dapat disebabkan oleh faktor alam, faktor non-alam, maupun faktor manusia. Salah satu bencana alam tersebut adalah gempa bumi (BNPB, 2020). Indonesia menjadi rawan kejadian gempa bumi karena secara geologis terletak di ring of fire (pertemuan lempeng tektonik besar: lempeng eurasia, lempeng pasifik, dan lempeng Hindia-Australia) (BNPB, 2018). Alat deteksi gempa sudah ada, namun sayang karena ada yang rusak atau pun tidak dapat berfungsi kembali.
Sementara itu akhir-akhir ini terdapat potensi gempa dan tsunami 20 meter terutama di wilayah Jawa. Tentu hal ini berdasarkan analisis data dan kajian sains secara mendalam (Baca: potensi gempa besar dan tsunami). Banyak hal inovatif yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi kejadian bencana besar tersebut seperti:
1. Ban bekas sebagai solusi bangunan tahan gempa.
3. Spring Damper sebagai pondasi untuk mengurangi kerusakan akibat gempa
Namun selain cara di atas, pernahkah anda mendengar tentang hewan yang dikatakan dapat memprediksi bencana ?. Benarkah hal tersebut ? Untuk membuktikan kebenaran tersebut, mari kita simak hasil analisis beberapa jurnal yang membicarakan tentang hewan sebagai prediksi kejadian gempa berikut ini. Untuk mempermudah pemahaman, pertama akan dijelaskan tentang proses ilmiah kejadian gempa, dan kedua tentang dampak proses tersebut pada perubahan periluaku hewan.
Proses Ilmiah Kejadian Gempa
Sebelum terjadi gempa, alam mengalami beberapa perubahan seperti sinyal elektrik seismik (SES), geomagnetik, dan gangguan ionosfer (Panagopoulus dkk, 2020). Penulis akan membahas ketiga hal tersebut secara singkat. Pembahasan proses ilmiah gempa akan lebih terfokus pada tiga hal. Pertama, penulis fokus pada SES. Kedua, penulis fokus pada geomagnetik. Ketiga, penulis fokus pada gangguan ionosfer.
1.1 SES (Sinyal Elektrik Seismi
k) Untuk Deteksi Gempa
Sinyal Elektrik Seismik (SES) adalah perubahan transien frekuensi rendah (≤ 1Hz) dari medan listrik bumi sebelum gempa bumi (Varotsos dkk, 2017). Ternyata ada organisme hidup yang bisa mendeteksi SES dengan cara “Mekanisme Oksilasi Pasca Ion” untuk aksi elektromagnetik di sel (Panagopoulus dkk, 2020). Kombinasi antara sifat fisik SES memungkinkan penentuan pusat gempa dan magnitudo yang akan datang.
Selain itu, gempa kecil setelah SES beraktivitas, bila dianalisis dalam domain waktu baru memungkinkan menentukan waktu kejadian guncangan utama yang terjadi 1-7 hari sebelumnya (Varotsos dkk, 2017). Sedangkan alat pendeteksi SES mampu mendeteksi pada jarak 300-400 KM dari pusat gempa (Panagopoulus dkk, 2020). Jika SES melewati “tahap kritis”, maka gempa tidak dapat dihindari (Panagopoulus dkk, 2020).
1.2 Geomagnetik
Untuk Deteksi Gempa
Anomali sinyal geomagnetik frekuensi rendah dapat menjadi prekursor gempa bumi dengan magnitudo kecil (Hamidi dkk, 2018). Pendeteksian anomali emisi ULF (Ultra Low Frequency) biasanya dilakukan dengan menggunakan data geomagnetikpada spektrum frekuensi <0,1 Hz. Pada frekuensi tersebut aktivitas seismogenik sebelum, saat dan setelah gempa dapat diamati (Fraser-Smith dkk., 1990; Hayakawa dkk., 2000 dalam Hamidi dkk, 2018).
Perubahan/anomali dimulai sekitar sebulan sebelum gempa menunjukkan aktivitas prekursor tertentu. Anomali pertama dimulai sekitar 4 minggu sebelum gempa dengan frekuensi mendekati 0.1 Hz dan anomali kedua dimulai sekitar 2 minggu kemudian setelah dengan frekuensi mendekati 0.01 Hz. Terakhir 2 anomali terjadi saat hari terakhir sebelum menjadi gempa (Panagopoulus dkk, 2020).
1.3 Gangguan Ionosfer
Untuk Deteksi Gempa
Kompresi batuan di area gempa menghasilkan muatan listrik yang dilepaskan ke atmosfer menyebabkan gangguan pada medan listrik ionosfer Bumi (Grant et al., 2015 dalam Panagopoulus dkk, 2020). Intensitas medan listrik dari emisi tersebut ditemukan pada ~ 1 mV / m yang diukur pada ~ 200 kHz (Biagi et al., 2008 dalam Panagopoulus dkk, 2020). Emisi ini dalam beberapa kasus terjadi beberapa hari setelah perubahan perilaku hewan (Panagopoulus dkk, 2020).
Perubahan Perilaku Pada Hewan
Aktivitas SES EMF (Electromagnetic Field) ULF (Ultra Low Frequency) yang direkam biasanya beberapa minggu sebelum gempa besar dapat menginduksi saluran ion sensitif-elektro yang tidak teratur pada membran sel hewan. Dengan demikian hewan yang sensitif dapat merasakan perubahan ini (misalnya dalam bentuk stres) (Panagopoulus dkk, 2020).
Hayakawa (2013) pada penelitiannya menyimpulkan bahwa frekuensi rendah (seperti ULF dan ELF) emisi elektromagnetik masih masuk akal untuk menjelaskan perilaku hewan yang abnormal sebelum gempa (Hayakawa, 2013). Namun pada tahun 2020, Panagopuolus menegaskan bahwa perubahan medan geomagnetik yang terekam bahkan pada frekuensi yang lebih rendah dan jika anomali medan ini benar-benar terpolarisasi dan berdenyut, tidak mungkin memicu perubahan perilaku hewan yang terekam (Panagopoulus dkk, 2020).
Sementara itu jenis mekanisme yang terlibat dalam pembentukan gangguan seismo-ionosfer saat ini masih kurang dipahami (Hayakawa, 2013). Semenrara itu Panagopoulus dkk menyatakan bahwa menurut mekanisme biofisik, sinyal elektromagnetik VLF / LF preseismik tidak dapat bertanggung jawab atas perubahan perilaku hewan (Panagopoulus dkk, 2020).
Berdasarkan 3 paragraf di atas, hanya SES yang mungkin memiliki korelasi dengan perubahan perilaku hewan. Studi Panagopoulus dkk menyepakati jika parameter fisik kegiatan SES dan perubahan perilaku hewan tampaknya berkorelasi untuk sementara waktu dengan emisi ini (Panagopoulus dkk, 2020). Temuan ini juga didukung oleh dokter hewan asal IPB yang menjelaskan bahwa beberapa hewan (electric fish, ikan hiu, platypus) memiliki sel-sel sensorik khusus (elektroreseptor) yang memungkinkan mereka untuk mendeteksi perubahan dalam medan elektromagnet di sekitar mereka (Setijanto, 2013).
Kesimpulan
Ada beberapa hal yang dapat menjelaskan perubahan alam sebelum terjadi gempa. Sinyal Elektrik Seismik, geomagnetik, dan gangguan ionosfer adalah beberapa hal yang mungkin berhubungan dengan perubahan perilaku hewan. Namun riset terbaru menunjukkan bahwa SES yang paling mungkin berhubungan dengan perubahan perilaku hewan untuk mendeteksi gempa. Kendati demikian, masih diperlukan penelitian lagi yang dapat menegaskan mekanisme perubahan perilaku hewan sebagai deteksi gempa.
Daftar Pustaka
- BNPB. 2018. Buku Saku Tanggap Tangkas Tangguh Menghadapi Bencana. ISBN: 978-602-5693-05-2. Jakarta: (BNPB) Badan Penanggulangan Bencana daerah.
- BNPB. 2020. Definisi Bencana. Jakarta: (BNPB) Badan Penanggulangan Bencana daerah. https://bnpb.go.id/definisi-bencana diakses pada 17 November 2020
- Hamidi. M., Namigo. E. L., Ma’muri. M. 2018. Identifikasi Anomali Sinyal Geomagnetik Ultra Low Frequency Sebagai Prekursor Gempa Bumi Dengan Magnitudo Kecil Di Wilayah Kepulauan Nias. JURNAL ILMU FISIKA –VOL.10 NO. 1(2018) 53-62. ISSN (Online) 2614-7386 http://jif.fmipa.unand.ac.id/index.php/jif/article/download/207/190
- Hayakawa M. 2013. Possible Electromagnetic Effects on Abnormal Animal Behavior Before an Earthquake. Animals 2013, 3, 19-32; doi:10.3390/ani3010019. ISSN 2076-2615. https://www.mdpi.com/journal/animals
- Panagopoulus. D., Balmori. A., & Chrousos. G. P. 2020. On the biophysical mechanism of sensing upcoming earthquakes by animals. Science of the Total Environment 717 (2020) 136989. https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2020.136989
- Setijanto H. 2013. Ulah Hewan Bisa Deteksi Gempa. Bogor: Institut Pertanian Bogor. http://fkh.ipb.ac.id/dasar-perubahan-perilaku-hewan-terkait-akan-datangnya-bencana-alam/ diakses pada 17 November 2020
- Varotsos. P. A., Sarlis. N. V., Skordas. E. S., & Lazaridou. M. S. 2017. Seismic Electric Signals: A Physical Interconnection With Seismicity. arXiv:1612.07056 (physics). https://arxiv.org/abs/1612.07056
Mahasiswa S1 Keperawatan dengan kecendurungan minat ke bidang keperawatan gawatdarurat dan keperawatan kebencanaan