Pengelolaan limbah medis menjadi salah satu tantangan besar bagi rumah sakit dan pusat layanan kesehatan. Limbah ini sering kali dibakar, menghasilkan emisi berbahaya yang merugikan kesehatan masyarakat dan lingkungan. Namun, sebuah inovasi di Rumah Sakit Pendidikan Universitas Tribhuvan (TUTH) di Kathmandu, Nepal, telah mengubah cara limbah medis dikelola dengan mengubahnya menjadi bahan bakar untuk memasak, melalui penggunaan biodigester.
- Masalah Limbah Medis di Nepal
- Inovasi Biodigester
- Manfaat Biodigester untuk Mengolah Limbah Medis
- Tantangan dan Harapan ke Depan
- Teknologi Enzymatic Fuel Cells untuk Mengolah Limbah Medis
- Potensi Energi dari Limbah Medis
- Manfaat Enzymatic Fuel Cells untuk Mengolah Limbah Medis
- Tantangan dan Masa Depan
- Referensi
Masalah Limbah Medis di Nepal
Limbah medis di Nepal mencakup berbagai jenis, termasuk limbah infeksius dan patologis. Rumah sakit di negara ini menghasilkan antara 1 hingga 1,7 kilogram limbah medis per ranjang pasien setiap hari. Sebelum adanya perubahan, banyak rumah sakit menggunakan insinerator untuk membakar limbah tersebut. Metode ini tidak hanya mengeluarkan asap beracun yang berbahaya bagi kesehatan staf dan pasien, tetapi juga mencemari udara dengan dioksin dan furan, yang merupakan karsinogen.
Staf rumah sakit seperti Deepak Mahara melaporkan gejala kesehatan akibat paparan asap insinerator, seperti batuk kronis dan kesulitan bernapas. Kesadaran akan dampak negatif dari pengelolaan limbah yang buruk ini mendorong tindakan untuk mencari solusi yang lebih aman dan ramah lingkungan.
Inovasi Biodigester
Pada tahun 2014, Health Environment and Climate Action Foundation (HECAF360) mulai menerapkan teknologi biodigester di TUTH sebagai alternatif untuk insinerator. Biodigester ini dirancang untuk mengolah limbah makanan dan limbah medis secara bersamaan. Dengan memanfaatkan proses anaerobik, biodigester dapat mengurai bahan organik dan menghasilkan gas metana yang dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak.
Proses ini dimulai dengan pemilahan limbah medis, di mana limbah infeksius didisinfeksi menggunakan autoklaf sebelum dimasukkan ke dalam biodigester. Limbah makanan dan plasenta dari bangsal bersalin dicampur dalam dua bilik terpisah di dalam biodigester. Proses ini tidak hanya membantu mengurangi jumlah limbah yang dibuang tetapi juga menghasilkan gas metana yang cukup untuk memenuhi kebutuhan memasak rumah sakit.
Manfaat Biodigester untuk Mengolah Limbah Medis
Implementasi biodigester di TUTH memberikan banyak manfaat. Pertama, sistem ini secara signifikan mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) yang sebelumnya dihasilkan oleh insinerator. Pada tahun 2019, rumah sakit berhasil mencegah emisi sebesar 4,6 ton CO2. Selain itu, penggunaan biodigester juga membantu menjaga kebersihan lingkungan rumah sakit dan sekitarnya.
Dengan mengganti insinerator dengan biodigester, rumah sakit tidak hanya memenuhi tanggung jawab lingkungan tetapi juga meningkatkan kesehatan masyarakat. Gas metana yang dihasilkan digunakan untuk memasak makanan bagi staf rumah sakit, menggantikan penggunaan gas minyak cair (LPG) yang lebih mahal[1]. Ini menciptakan siklus berkelanjutan yang bermanfaat bagi ekonomi rumah sakit sekaligus menjaga lingkungan.
Tantangan dan Harapan ke Depan
Meskipun keberhasilan proyek ini menjanjikan, masih ada tantangan yang harus dihadapi. Penilaian menunjukkan bahwa baru 36% dari total limbah organik yang berhasil melalui pemrosesan oleh biodigester. Beberapa staf masih terlibat dalam praktik lama seperti menjual limbah makanan untuk pakan ternak atau mendaur ulang bahan medis tanpa melalui proses disinfeksi yang tepat.
Pendidikan dan pelatihan bagi staf rumah sakit sangat penting untuk memastikan keberhasilan sistem baru ini. Selain itu, dukungan dari pemerintah dan lembaga nirlaba juga diperlukan untuk memperluas penggunaan teknologi biodigester ke rumah sakit lain di Nepal dan negara berkembang lainnya.
Pengubahan limbah medis menjadi bahan bakar melalui teknologi biodigester di Nepal adalah langkah inovatif menuju pengelolaan limbah yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan. Dengan terus mendidik masyarakat tentang manfaat sistem ini dan mengatasi tantangan yang ada, Nepal dapat menjadi contoh bagi negara lain dalam menangani masalah limbah medis secara efektif dan aman.
Teknologi Enzymatic Fuel Cells untuk Mengolah Limbah Medis
Selain itu, studi eksperimen oleh Arcuri, et al. pada 2013 membuktikan bahwa teknologi enzymatic fuel cells (EFCs) bermanfaat dalam pengolahan limbah medis. Limbah medis seperti darah dan saliva, yang mengandung glukosa, menawarkan potensi unik untuk diolah menjadi sumber energi bersih melalui teknologi inovatif ini.

Sumber: canva.com
EFCs adalah teknologi berbasis biofuel yang menggunakan biokatalis seperti enzim untuk mengubah energi kimia dari bahan organik menjadi listrik. Penelitian ini menggunakan enzim glucose oxidase (GOx) untuk mengoksidasi glukosa dari darah dan saliva yang ditemukan dalam limbah medis, menghasilkan listrik melalui reaksi elektrokimia.
Proses ini melibatkan elektroda yang dimodifikasi dengan serat Nafion, sebuah polimer konduktif ionik yang berfungsi sebagai matriks untuk mengikat enzim. Produksi serat ini berlangsung melalui proses elektrospinning, menghasilkan struktur mikroskopis dengan rasio luas permukaan yang tinggi, sehingga meningkatkan efisiensi reaksi.
Baca juga: Pengolahan Limbah Bekas Pemakaian APD COVID-19 menjadi Bahan Bakar Hidrogen
Potensi Energi dari Limbah Medis
Darah dan saliva mengandung glukosa yang dapat dengan cepat dioksidasi oleh GOx, menghasilkan elektron yang dialirkan melalui sirkuit eksternal untuk menghasilkan listrik. Dalam pengujian laboratorium, sistem bioanoda berbasis GOx menunjukkan aktivitas katalitik yang stabil, membuka peluang untuk menghasilkan energi dari limbah medis secara efisien.
Penelitian ini berhasil mengembangkan prototipe awal bioanoda yang mampu mengonversi glukosa menjadi listrik. Teknologi ini tidak hanya mengurangi beban pengelolaan limbah medis, tetapi juga menawarkan cara baru untuk memenuhi kebutuhan energi di fasilitas kesehatan.
Manfaat Enzymatic Fuel Cells untuk Mengolah Limbah Medis
Penggunaan limbah medis untuk energi memiliki manfaat ganda: mengurangi limbah yang harus dikelola secara khusus dan menghasilkan energi terbarukan yang dapat digunakan secara lokal. Hal ini dapat mengurangi biaya operasional fasilitas kesehatan, terutama yang terkait dengan pengelolaan limbah berbahaya. Selain itu, solusi ini berkontribusi pada pengurangan emisi karbon global dengan menggantikan sumber energi fosil.
Tantangan dan Masa Depan
Meskipun teknologi ini menjanjikan, ada tantangan yang perlu diatasi sebelum dapat diimplementasikan secara luas. Salah satunya adalah efisiensi sistem yang perlu ditingkatkan untuk memenuhi skala kebutuhan energi yang lebih besar. Selain itu, regulasi terkait penggunaan limbah medis untuk energi harus dikembangkan untuk memastikan keamanan dan keberlanjutan.
Perlu pengembangan lebih lanjut untuk menyempurnakan prototipe EFC dan mengintegrasikannya ke dalam sistem energi di fasilitas medis. Penelitian juga harus fokus pada pengujian di lapangan dan evaluasi dampak lingkungan jangka panjang.
Pengelolaan limbah medis menjadi energi melalui teknologi EFC adalah langkah inovatif menuju masa depan yang lebih berkelanjutan. Dengan memanfaatkan potensi energi dari darah dan saliva, teknologi ini tidak hanya mengatasi tantangan limbah medis tetapi juga menyediakan solusi energi bersih. Komitmen penelitian dan pengembangan lebih lanjut akan memainkan peran penting dalam mewujudkan potensi penuh dari teknologi ini.
Referensi
Jozwiak, Gabriela. 2024. Cara rumah sakit di Nepal mengubah limbah medis berbahaya menjadi bahan bakar untuk memasak. Diakses pada 26 Desember 2024 dari https://www.bbc.com/indonesia/articles/crmz1k2wk9eo
Arcuri, et al. 2013. Medical waste to energy: experimental study. Diakses pada 26 Desember 2024 dari https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4051272/