Pernahkah terbayang memakan “daging buatan” hasil dari perkembangan teknologi? Ya, saat ini telah berkembang teknologi yang mampu melahirkan daging sintetis untuk menekan emisi yang dihasilkan dari peternakan sapi.
Permasalahan Emisi pada Aktivitas Peternakan
Sumber: id.pinterest.com
Perlu diketahui, bahwa ternyata aktivitas yang ada di peternakan umumnya banyak menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK). Mulai dari pembukaan lahan sebagai tempat beroperasi peternakan, pemberian pakan ternak, sampai kotoran yang dihasilkan hewan. Semua proses ini menghasilkan 14,5% emisi GRK dari total GRK yang ada di dunia (FAO, 2017). Oleh karena itu, FAO menginisiasi gerakan efisiensi peternakan dan mencanangkan gerakan peternakan berkelanjutan untuk menekan produksi GRK dari aktivitas peternakan. Di sisi lain, teknologi juga terus berinovasi dalam menciptakan “alternatif” agar manusia dapat mengonsumsi daging, sambil menekan aktivitas produksi emisi dari peternakan. Munculah konsep “daging sintetis” sebagai salah satu alternatif untuk menekan emisi peternakan.
Daging Sintetis sebagai Solusi untuk Menekan Emisi
Daging sintetis adalah daging yang diproduksi di laboratorium tanpa melibatkan penyembelihan hewan. Produk ini dibuat dengan menggunakan sel-sel otot hewan yang dibudidayakan di laboratorium dengan metode in–vitro. Sel-sel ini kemudian dipanen dan diproses menjadi daging yang siap dikonsumsi.
Daging sintetis memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan daging konvensional. Pertama, daging ini tidak melibatkan penyembelihan hewan, sehingga tidak ada hewan yang dibunuh untuk menghasilkan daging. Kedua, daging ini lebih ramah lingkungan karena tidak akan menghasilkan emisi gas rumah kaca yang tinggi seperti peternakan konvensional. Ketiga, daging ini lebih aman bagi kesehatan karena diklaim tidak mengandung kolesterol, lemak jenuh, dan hormon pertumbuhan.
Sumber: id.pinterest.com
Kelemahan Daging Sintetis
Meskipun demikian, produk dari hasil teknologi pangan ini juga memiliki beberapa kelemahan. Pertama, meskipun kandungan nutrisi makro daging jenis ini terbukti bagus, namun kandungan nutrisi mikronya belum dapat menyeimbangi kandungan pada daging sapi ternak. Kedua, produksi daging sintetis masih perlu banyak penelitian untuk dapat diproduksi massal, dengan kemungkinan harga yang lebih mahal daripada daging konvensional. Ketiga, masih banyak pro-kontra terkait status halal jenis bahan pangan ini untuk dikonsumsi, sebab menggunakan metode in-vitro.
Dilema Aplikasi Teknologi: Antara Krisis Iklim dan Status Halal Teknologi Pangan
Pada kondisi ini, teknologi pangan tentu ada di persimpangan jalan. Perannya yang dapat mendukung penyelamatan krisis iklim, dihadapkan pada status kehalalan produk pangan yang dihasilkan. Kondisi Indonesia dengan mayoritas masyarakat yang beragama Islam, tentu menjadikan status halal sebagai satu pertimbangan utama dalam menentukan bahan pangan untuk dikonsumsi. Sehingga untuk saat ini, upaya yang bisa kita lakukan dalam menekan emisi peternakan adalah mewujudkan konsep peternakan yang berkelanjutan.
Referensi
FOA. 2017. Livestock solutions for climate change. Diakses pada 6 September 2024 dari https://openknowledge.fao.org/items/2985e4e2-3c37-4e7c-aa7c-3655de93d53c
PPID IPB. 2022. Dosen IPB University Bahas Perspektif Iptek dan Islam dalam Memandang Daging Sintetis. Diakses pada 6 September 2024 dari https://ppid.ipb.ac.id/dosen-ipb-university-bahas-perspektif-iptek-dan-islam-dalam-memandang-daging-sintetis/
Saputro, Eko. 2022. Daging Sintetis: Menghasilkan Daging Tanpa Beternak dan Tanpa Penyembelihan Hewan. Diakses pada 6 September 2024 dari https://timesindonesia.co.id/kopi-times/435407/daging-sintetis-menghasilkan-daging-tanpa-beternak-dan-tanpa-penyembelihan-hewan
Alumni departemen kesehatan lingkungan Universitas Indonesia. Tertarik pada dunia menulis artikel ilmiah poluler dan diskusi isu mengenai lingkungan dan kesehatan.