Gambar 1. Limbah Batang Tebu dari Penjual Es Tebu
Menipisnya cadangan bahan bakar fosil dan meningkatnya populasi manusia sangat kontras dengan kebutuhan energi bagi kelangsungan manusia beserta aktivitas ekonomi dan sosial. Sejak lima tahun terakhir, Indonesia mengalami penurunan produksi minyak nasional akibat menurunnya cadangan minyak pada sumur- sumur produksi secara alamiah, padahal dengan pertambahan jumlah penduduk, meningkat kebutuhan akan sarana transportasi dan aktivitas industri. Dengan permasalahan tersebut maka diperlukan solusi akan krisis bahan bakar dengan inovasi pengganti bahan bakar dengan penggunaan biofuel dari pemanfaatan batang tebu. Batang tebu merupakan limbah padat yang dihasilkan pasca panen. Sejauh ini pemanfaatannya sangat minim dan umumnya hanya digunakan untuk bahan minuman.
Gambar 2. Contoh Nira
Tanaman tebu merupakan famili Gramineae (keluarga rumput) dengan nama latin Saccharum officinarum yang sudah dibudidayakan sejak lama di daerah asalnya di Asia [1].
Kandungan sukrosa di dalam tanaman tebu sebesar 8-15% dari bobot batang tebu. Batang tebu mengandung serat dan kulit batang sebesar 12,5% dan nira sebesar 82,5%, yang terdiri dari gula, mineral, dan bahan-bahan non gula lainya, (Gountara & Wijandi, 1985). Menurut Soerjadi (1979), komposisi batang tebu terdiri dari monosakarida 0,5%-1,5%, sukrosa 11%-19%, zat organik abu 0,5%-1,5%, sabut (selulosa, pentosan) 11%-19%, asam organik 0,15%, bahan lain lilin, zat warna, ikatan N, air 65%-75%. Salah satu kandungan tebu adalah nira. Kandungan nira tebu terbanyak terdapat pada batang tebu sebesar 82,5%. Kandungan utama dari nira tebu adalah sukrosa, terdapat dalam nira tebu sebanyak 8 – 21 % dari jumlah nira tebu. Sukrosa atau gula merupakan disakarida dengan rumus kimia C12H22O11. Sukrosa ditemukan dalam bentuk bebas (tidak berikatan dengan senyawa lain) di dalam tanaman, umumnya terdapat pada tanaman tebu (Saccharum officinarum) dan bit (Beta vulgaris)[2].
Nira yang didapatkan dari batang tebu melalui proses ekstrasi (penggilingan) mempunyai ciri khas warna tertentu dan mengandung kadar glukosa yang tinggi. Menurut Puri (2005) menyatakan bahwa nira merupakan cairan hasil penggilingan tebu yang berwarna coklat kehijauan. Nira tebu dalam keadaan segar terasa manis, berwarna coklat kehijau-hijauan dengan pH 5,5-6,0. Santoso (1993) menyatakan bahwa nira sangat mudah mengalami kerusakan sehingga nira menjadi asam, berbuih putih, dan berlendir. Apabila nira telambat dimasak biasanya warna nira akan berubah menjadi keruh kekuningan, rasanya asam serta baunya menyengat. Kondisi dan sifat-sifat nira ini akan menentukan sifat dan mutu produk yang dihasilkan[3]. Umumnya nira terdiri atas 73-76% air, 11-16% serat, dan 11-16% padatan-padatan terlarut dan tersuspensi[4].
Gambar 3. Pengolahan Biofuel
Biofuel secara umum adalah bahan bakar dari biomassa (materi yang berasal dari tumbuhan dan hewan). Setiap produk biofuel diproduksi secara berbeda. Misalnya ethanol diproduksi dengan cara fermentasi jagung atau tebu, sedangkan biodiesel diproduksi dengan cara menghancurkan lemak hewani atau tumbuhan dengan adanya methanol. Minyak sawit mentah (Crude Palm Oil) melalui proses transesterifikasi, dimana secara kimia bereaksi dengan alkohol seperti methanol atau ethanol untuk memproduksi biodiesel.
Biofuel menawarkan kemungkinan memproduksi energi tanpa meningkatkan kadar karbon di atmosfer karena berbagai tanaman yang digunakan untuk memproduksi biofuel mengurangi kadar karbondioksida di atmosfer, tidak seperti bahan bakar fosil yang mengembalikan karbon yang tersimpan di bawah permukaan tanah selama jutaan tahun ke udara. Dengan begitu biofuel lebih bersifat carbon neutral dan sedikit meningkatkan konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer (meski timbul keraguan apakah keuntungan ini bisa dicapai di dalam praktiknya). Penggunaan biofuel mengurangi pula ketergantungan pada minyak bumi serta meningkatkan keamanan energi.
Ada dua jenis utama bahan baku biofuel: dapat dikonsumsi dan tidak dapat dikonsumsi. Produk makanan manusia seperti gula, pati, atau minyak sayur dijadikan biofuel melalui metode konvensional yakni transesterifikasi (seperti yang telah disebutkan di atas). Biofuel juga dapat dihasilkan dari tanaman non pangan, limbah pertanian dan residu yang tidak dapat dikonsumsi manusia dengan menggunakan teknologi maju seperti hydrocracking. Pada proses ini bahan baku dipecah dengan adanya hidrogen dalam menghasilkan biofuel. Yang menarik adalah bahan baku seperti minyak kelapa sawit dapat digunakan untuk menghasilkan biofuel melalui metode konvensional dan lanjutan tergantung dari keadaannya.
Biofuel sering menjadi alternatif untuk bahan bakar konvensional yang digunakan untuk menyalakan mesin kendaraan kita. Namun sebenarnya biofuel dapat dimanfaatkan untuk semua kebutuhan energi manusia. Penggunaan biofuel meliputi:
Transportasi : Mobil, bus, sepeda motor, kereta api, pesawat terbang dan kendaraan air
Pembangkit Listrik : Peralatan listrik
Pemanas : Kompor dan peralatan memasak lainnya
Dunia telah mengalami mencairnya permukaan es, meningkatnya suhu udara dan terjadinya bencana alam. Ilmuwan mengemukakan bahwa salah satu alasan utama perubahan iklim yang drastis ini adalah akibat konsumsi bahan bakar fosil yang berlebihan dan terlepasnya gas rumah kaca ke atmosfir yang menipis.
Menurut Departemen Energi Amerika Serikat, biofuel seperti ethanol menghasilkan karbon dioksida hingga 48 persen lebih sedikit daripada bensin konvensional sementara penggunaan biodiesel hanya melepaskan seperempat jumlah karbon dioksida yang dikeluarkan diesel konvensional. Hal ini menjadi pilihan yang jauh lebih ramah lingkungan jika dibandingkan dengan bahan bakar fosil.
Tidak seperti bahan lain yang tak terbaharui, biofuel dapat diproduksi terus-menerus karena kita selalu dapat menanam lebih banyak tanaman untuk menjadi bahan bakar. Terlebih lagi komunitas ilmuwan telah menunjukkan tingkat produktivitas tanaman nabati yang lebih tinggi dapat menangani beberapa masalah deforestasi yang erat kaitannya dengan biofuel. Oleh karena itu minyak kelapa sawit yang memiliki hasil panen tertinggi di antara tanaman nabati lainnya diyakini menjadi bahan baku paling ekonomis untuk biodiesel. Siklus hidup pohon kelapa sawit 30 tahun juga berarti nilai penyerapan karbon yang dilepaskan ke atmosfer tinggi.Pada masa yang akan datang mungkin tak ada lagi bahan bakar fosil dan kita dapat menggunakan biofuel sebagai sumber energi alternatif yang aman dan terbarukan.
Referensi
[1] Indrawanto, C., Purwono, Siswanto, M. Syakir, dan W. Rumini. 2010. Budidaya dan Pasca Panen Tebu. Jakarta: Eska Media.
[2] Paryanto, I., A. Fachruddin, dan W. Sumaryono. 1999. Diversifikasi Sukrosa Menjadi Produk Lain. P3GI. Pasuruan.
[3] Muchtadi TR, Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Bogor: PAU IPB.
[4] James, C.P. dan Chen. 1985. Cane sugar handbook. John Wiley and Sons. New York