Ternyata Para Pelaku Bullying di Sosial Media Memiliki Gangguan Psikologis lho! Yuk Kenali Faktor Penyebabnya

Di era kemjuan teknologi saat ini tidak sah rasanya jika tidak melengkapi gadget-gadget yang dimiliki dengan berbagai fitur sosial media, […]

Bullying Cara Baru, Bullying via Online

Di era kemjuan teknologi saat ini tidak sah rasanya jika tidak melengkapi gadget-gadget yang dimiliki dengan berbagai fitur sosial media, seperti Facebook, Twitter, Instagram, YouTube, WhatsApp, Line, dan lainnya. Sosial media merupakan fitur yang digunakan penggunanya untuk berbagai macam aktivitas, seperti bertukar kabar, berbisnis, atau hanya untuk mencari informasi atau menghilangkan kebosanan.

Akan tetapi, selain memiliki sisi positif sosial media juga memiliki sisi negatif. Salah satu dampak negatif dari penggunaan sosial media adalah semakin bebasnya seseorang mengakses apapun yang dia inginkan. Misalnya saja para pengguna Instagram. Terdapat ribuan bahkan jutaan postingan yang dapat dilihat pada laman instagram, konsekuensinya akan semakin banyak orang yang akan memberikan komentar terhadap apa yang kita posting, seperti halnya postingan para influencer atau yang lebih dikenal dengan selebgram.

Penelitian dari We Are Social bekerja sama dengan Hootsuite, menunjukkan bahwa rata-rata waktu yang dihabiskan orang Indonesia dalam menggunakan sosial media adalah 3 jam 23 menit dalam sehari. Berdasarkan laporan yang diterbitkan pada tanggal 30 Januari 2018 dengan judul “ Essential Insight Into Internet, Social Media, and E-Commerce Around The World” , diperoleh bahwa pengguna sosial media aktif di Indonesia mencapai 130 juta dengan presentasi 49% dari total 265,4 juta jiwa penduduk Indonesia. Sebagian besar pengguna sosial media adalah remaja dalam rentang usia 14-24 tahun. Aplikasi sosial media yang paling banyak digunakan oleh kalangan remaja adalah WhatsApp, Facebook, Instagram, dan disusul oleh Line diurutan keempat.

Usia remaja merupakan usia yang sangat mudah mendapatkan pengaruh dari berbagai macam aspek, salah satunya dari aktivitas yang mereka lakukan di sosial media. Hasil survey terbaru menunjukkan bahwa 11.000 remaja perempuan dan laki-laki di Inggris menujukkan gejala depresi terkait aktifitas mereka di sosial media. Berdasarkan riset tersebut remaja perempuan memiliki tingkat depresi dua kali lipat dibandingkan remaja laki-laki, hal ini disebabkan beberapa faktor seperti cyber bullying (body shaming) dan pelecehan seksual.

Banyak faktor yang menyebabkan adanya komentar negatif di sosial media. Salah satunya kurangnya kesadaran pengguna dalam memahami makna berinteraksi di dunia nyata dengan dunia maya. Sosial media merupakan fitur yang disediakan di dunia maya. Berbagai macam manusia dari berbagai kalangan dengan mudah mengakses sosial media dan memberikan komentar terhadap postingan dari satu orang di Negara A kepada orang di Negara B tanpa perlu mengenal terlebih dahulu. Dalam dunia maya seseorang menjadi ‘anonymous’ yang berarti setiap orang bisa menjadi siapa pun dan apapun yang diinginkan. Hal ini menimbulkan kurangnya sifat bertanggung jawab pada diri terutama dalam berbicara di sosial media. Setelah berkomentar negatif, kita tidak peduli apakah kata-kata tersebut menyakiti hati orang yang kita komentari atau tidak.

Akhir-akhir ini semakin banyak akun ‘anonymous’ yang menjamur di sosial media. Hal ini menyebabkan munculnya akun-akun yang bersifat shitposting. Shitposting merupakan postingan di sosial media yang sifatnya mengejutkan, ofensif, unfaedah dan disebut juga postingan sampah.

Dampak yang ditimbulkan dari shitposting beragam. Terkadang postingan yang terlihat “unfaedah” memiliki dampak yang postitif dan terkadang juga negatif. Seperti halnya akun pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sosial media, Nurhadi-Aldo. Akun ini dibuat oleh komunitas yang resah karena banyaknya tindakan black campaign yang muncul di sosial media. Banyak netizen yang merasa terhibur dengan postingan berupa meme.

sumber: instagram

Selain menghibur, akun ini juga mengedukasi masyarakat tentang politik. Akan tetapi, akun ini juga mengandung unsur ‘mesum’ sehingga banyak menimbulkan kontroversial dari warganet.

sumber: twitter.com

Postingan ini memunculkan beragam komentar yang juga mengandung unsur pornografi. Hal inilah yang menjadikan akun ‘anonymous‘ bebas memposting apapun yang dia inginkan. Seperti pada akun Nurhadi-Aldo tersebut, mungkin niat dari pemilik akun ingin menghibur akan tetapi pemilihan kata yang digunakan mengandung unsur pornografi dan berbahaya jika “dikonsumsi” oleh anak dibawah umur.

Dalam ilmu psikologi, kita dapat mengetahui kondisi psikologis orang-orang yang suka berkomentar negatif maupun melakukan cyber bullying. Terdapat lima faktor utama yaitu:

1. Adanya pemisahan identitas diri (Identify Disorder)
Cara berkomunikasi dalam dunia nyata dan dunia maya sangat berbeda. Di kehidupan nyata seseorang yang berkomunikasi secara langsung dapat melihat interaksi dari lawan bicaranya, sehingga kalimat yang akan diucapkan dapat dikontrol agar lebih sopan. Berbeda halnya apabila kita berkomunikasi di dunia maya, kita bermaksud untuk menulis kalimat A tetapi orang memahami maksud kita dengan pengertian B (miskonsepsi).

Selain itu, di dunia maya pula setiap orang bebas menjadi siapapun. Seperti halnya akhir-akhir ini media sosial di Indonesia dipenuhi dengan postingan mengenai keunggulan dan kekurangan dari masing-masing paslon capres dan cawapres. Seharusnya akan lebih afdhol jika status mengenai politik dibahas oleh Ahli di bidang politik, akan tetapi di zaman sekarang semua orang bebas berkomentar dan membuat postingan mengenai politik demi mengunggulkan capres dan cawapres yang mereka dukung tanpa mempedulikan latar belakang mereka. Sehingga timbullah banyak sekali kalimat-kalimat singgungan yang bisa menjerat penulisnya dalam UU ITE.

Dalam ilmu psikologi, fenomena ini disebut dissociative anonymity. Seseorang akan melepaskan identitas aslinya ketika mereka sedang menjelajahi dunia sosial media. Oleh karena itu, tidak heran apabila banyak orang yang suka berkata tidak baik di sosial media (dikenal dengan istilah bad word), hal ini pulalah yang membuat para pelakunya enggan untuk mengakui perbuatannya di dunia nyata.

2. Invisibility
Apabila kita berkomunikasi dengan seseorang di dunia maya, orang yang kita ajak berbicara tidak mengetahui bagaimana ekspresi wajah kita. Dan memang dalam menggugah postingan di sosial media tidak ada aturan untuk meminta izin kepada teman-teman atau para followers kita di akun yang kita miliki. Hal inilah yang dapat menimbulkan kesalah pahaman antara yang memposting dengan pengkomen postingan kita.

3. Memberikan komentar pada postingan lama
Istilah lainnya adalah umpan balik yang lambat. Misalkan ada seorang yang baru saja viral karena salah satu postingannya di sosial media. Karena keterkenalannya banyak orang yang menjadi ingin tahu lebih banyak mengenai unggahan yang sering diuploadnya atau istilah zaman now nya ‘stalker’-in postingan si orang viral tadi sampai akhir. Di tengah stalkingannya dia melihat ada unggahan yang menunjukkan tentang fisik si pemilik akun yang dirasa si stalker jelek di matanya. Kemudian, dia berkomentar buruk tentang fisik si orang viral tersebut. Karena komentar negatifnya tersebut, si orang viral merasa sakit hati. Lantas apakah dengan berkometar negatif kamu merasa lebih lega?

4. Terlalu terlena dengan dunia maya
Zaman sekarang, untuk menjadi terkenal terutama di dunia maya sangatlah mudah. Cukup membuat unggahan yang ‘anti main stream’ lalu dilihat oleh banyak orang dan terus disebarkan ke berbagai sosial media maka siapapun bisa terkenal dan bahkan dalam sekejap langsung mendapatkan jutaan followers, masuk TV, dan mendadak banjir endors-an.

Internet dan sosial media memang menawarkan segala kenikmatan di dunia maya. Akan tetapi, tidak semua postingan yang viral tersebut bermuatan positif. Banyak kita jumpai seseorang yang memposting mengenai ujaran kebencian, menghina suatu tokoh atau agama tertentu. Apakah hanya dengan cara seperti ini Anda ingin terkenal? Atau apakah dengan Anda menguggah segala kemewahan yang Anda miliki akan banyak orang yang semakin mengelu-elukan Anda? Ingatlah, sosial media hanyalah dunia maya yang hanya menawarkan kesenanga tipuan. Jadi, janganlah terlalu terlena dengan keviralan Anda di sosial media.

5. Cyber Bullying
Berbicara atau bersikap dengan tujuan menghina atau merendahkan orang lain bisa dikatakan dalam sikap bullying. Akhir-akhir ini, banyak sekali komentar orang-orang yang mengarah pada sikap bullying, terutama berkomentar tentang fisik. Sebagian orang merasa bahwa dirinya hanya bercanda dengan ucapannya akan tetapi, apakah Anda tidak memikirkan bagaimana perasaan orang yang Anda ejek? Apakah dengan mengatakan keburukan fisiknya , dia langsung berubah menjadi lebih kurus, gemuk, atau cantik seperti yang Anda mau?

Berhentilah bersikap seperti itu, keadaan psikologis setiap orang berbeda-beda. Bisa saja orang yang Anda ejek sedang mengalami stress berat dalam hidupnya. Karena Anda mengejeknya dia merasa lebih tertekan dan bahkan sampai ingin mengakhiri hidupnya.

Itulah 5 faktor utama yang menyebabkan seseorang suka membully di sosial media. Untuk mengurangi tindakan bullying dan sejenisnya di sosial media akan lebih efektif apabila menjadikan identitias diri kita di sosial media sebagai seorang yang berkepribadian lebih baik, misalnya saja jika kita memiliki hobi membaca buku-buku motivasi, maka akan lebih baik nilai-nilai yang disampaikan dari buku yang kita baca kita jadikan postingan untuk memotivasi orang banyak terutama para warganet di sosial media. Bisa jadi dengan postingan tersebut banyak orang yang membagikan dan kita yang memposting juga bisa menjadi terkenal karena kebaikan kita dan bukan sebagai sosok ‘anonymous‘ yang menebarkan kebencian.

Alangkah lebih bijaknya di tahun 2019 ini, kita memposting segala sesuatu yang bermanfaat dan dapat menjadikan pelajaran untuk orang banyak. Bukan malah menimbulkan konflik yang berujung kerugian bagi kedua belah pihak. Yuk, bijak dalam bersosmed!

Referensi:

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top