Pada saat covid-19 berada di gelombang puncak, obat ini banyak dicari oleh rumah sakit yang berakibat pada kelangkaan obat. Bagaimana cara kerja obat ini terhadap pasien covid-19?
Corona virus diseases 2019 (Covid-19) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh SARS-Cov2 dan memiliki pengaruh pada sistem organ, khususnya sistem pernapasan yang meningkatkan angka kematian dan kesakitan di seluruh dunia. Kebanyakan kematian pada pasien covid-19 adalah hipoksemia sekunder yang tiba-tiba menjadi Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) sebagai akibat dari adanya tromboemboli.
Patofisiologi yang mengakibatkan hiperkoagulasi yang ada saat ini masih terus dilakukan penelitian. Diantaranya Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) yang merupakan sifat dari virus itu sendiri, sindroma anti-fosfolipid, aktivasi komplemen dan disfungsi endotel yang berkaitan dengan patofisiologinya. Hal yang mendasari sindroma anti-fosfolipid menjadi akibat dari patofisiologi adalah adanya hasil positif test untuk anti-kardiolipin anti-IgA, anti-B2 glikoprotein IgA dan IgG. Aktivasi komplemen juga menjadi bagian dari patofisiologi karena ditemukan keadaan pasien memiliki LDH (Lactate Dehydrogenase) yang tinggi, nilai yang tinggi pada D-dimer (produk dari fibrin rusak), bilirubin, rendahnya platelet, anemia ringan, renal dan cardiac injury, kejadian thrombotic microangiopathy. Hipotesa ini juga mendukung penggunaan komplemen inhibitor untuk terapi tambahan bersama antikoagulan.

Mekanisme infeksi covid-19 yaitu berikatan dengan reseptor ACE-2. Protein S (spike) virus berikatan dengan TMPRSS2 pada reseptor yang memfasilitasi virus untuk masuk. Virus yang telah masuk kemudian meningkatkan ekspresi gen dari FGF (Fibroblast Growth Factor), FGC (Fibrinogen Gamma Chain) dan serin protease (serpin) yang kemudian menjadi poros utama meningkatnya regulasi faktor II, III dan X prokoagulasi. Kematian pada pasien covid-19 juga berkaitan dengan reaksi dari dysregulated inflammatory seperti badai sitokin atau MAS (Macrophage Activation Syndrome) yang juga diketahui sebagai secondary hemophagocytic lymphohistocytosis.
Lokasi organ yang paling banyak reseptor ACE tipe 2 ini ada di paru-paru, yang kemudian memicu pulmonary hypercoagulation. Secondary lymphohistocytosis memicu ekspresi faktor jaringan pada sel endotel, makrofag dan neutrofil yang mengaktivasi koagulasi.
Terjadinya hiperkoagulasi ini menyebabkan pneumonia parah dan ARDS yang berhubungan dengan trombin dan deposit fibrin pada sistem bronkoalveolar. Gumpalan-gumpalan juga memicu sistem imun untuk masuk ke intravaskular pulmonary dan merusak alveolar, terjadi inflamasi lagi, lalu inflamasi interstitial dan meluas lagi menjadi aktivasi makrofag di paru. Lalu, kegagalan regulasi dari akibat respon innate imunity-imuno thrombosis.

Pada pasien dengan resiko trombosis yang tinggi (dyspnea, respiratory rate >24, saturasi oksigen <90%, peningkatan reaktif C-protein, D-dimer tinggi, peningkatan fibrinogen dianjurkan untuk pemberian antikoagulasi. Pasien ICU covid-19 diperkirakan mengalami kejadian ini sekitar 31%. Rekomendasi untuk pasien covid yang memiliki D-dimer diatas 4x dari nilai normal (kecuali kontraindikasi) yaitu penggunaan LMWH secara subkutan dua kali sehari dengan dosis 100 IU/Kg untuk 3 sampai 5 hari.
Pada pasien non-ICU, mereka direkomendasikan pemberian secara subkutan enoxaparin dengan dosis 1 mg/Kg sebanyak 2 kali sehari atau boleh juga pemberian heparin sesuai dengan protokol pasien ICU covid. Tambahan, lebih lanjut mereka direkomendasi untuk menggunakan ultrasound sebagai point of care untuk mengetahui trombosis pada vena bagian dalam, jika dianggap positif maka terapi berkelanjutan penggunaan antikoagulan sangat direkomendasikan. Tapi, jika negatif, dilakukan de-ekskalasi enoxaparin untuk subkutan menjadi 40 mg dua kali sehari.

Gambar diatas adalah salah satu contoh alat ukur yang dikembangkan oleh ISTH, dimana mereka menggunakan scoring system SIC. Nilai lebih dari sama dengan 4 dianggap memilki resiko kematian lebih rendah dibanding kurang dari 4. Nilai ini diperoleh dari penelitian terhadap 449 pasien yang menerima LMWH dan yang tidak menerima LMWH selama 28 hari. Dimana pasien yang menerima LMWH memiliki resiko mortalitas yang 20% lebih rendah dibanding mereka yang tidak menerima.
Ketepatan penjelasan mengenai mekanisme prokoagulasi covid-19 masih sedikit dipahami bahkan sangat diperlukan studi lebih lanjut. Saat ini, penggunaan antikoagulan untuk pasien covid-19 direkomendasikan untuk mencegah kematian akibat ARDS.
Sumber :