Wabah penyakit coronavirus-2019 (COVID-19) pertama kali muncul pada akhir Desember 2019 dari pasar makanan laut Hunan di Kota Wuhan Cina, dan dinyatakan sebagai masa darurat kesehatan masyarakat internasional dalam beberapa minggu oleh Organisasi Kesehatan Dunia ( WHO 2020 ). coronavirus Ini adalah penyakit menular yang disebabkan oleh sindrom pernafasan akut parah coronavirus-2 (SARS-CoV-2) ( Islam dkk., 2020 ; Nghiem dkk., 2020 ; Wang dkk., 2020 )
Dengan merebaknya pandemi Covid-19 telah banyak mengubah cara hidup masyarakat. Segala bentuk aktivitas sekarang harus beradaptasi dengan situasi untuk memperlambat adanya laju penyebaran penyakit virus Corona. Sesuai dengan himbauan pemerintah, sejumlah negara memutuskan untuk melaksanakan karantina wilayah atau disebut dengan lockdown. Dalam hal ini, Indonesia memilih untuk melaksanakan aturan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dimana dalam masa PSBB ini sejumlah instansi strategis masih diizinkan untuk tetap beroperasi.
Keresahan adanya covid 19 selain berdampak pada cara hidup masyarakat, adanya pandemi virus Corona juga turut memberi dampak pada lingkungan, akhir – akhir ini masyarakat sempat dibuat terkagum dengan berbagai foto yang tersebar di media sosial yang menunjukkan pemandangan tidak biasa, seperti cuaca cerah tanpa dihalangi asap polusi udara, kemudian jalanan yang tampak sepi tanpa adanya kemacetan.
Dari keadaan inilah kemudian muncul satu pertanyaan singkat, apakah benar dengan adanya kebijakan karantina wilayah atau lockdown berdampak pada kualitas lingkungan yang lebih baik ? Nah, untuk menjawab pertanyaan ini mari kita lihat saja pada penelitian yang dilakukan oleh European Space Agency (ESA), dari data yang didapatkan melalui gambar satelit tersebut ternyata memperlihatkan adanya penurunan nitrogen dioksida (gas polutan udara) di sejumlah kota besar di berbagai negara-negara di bagian Eropa beberapa waktu terakhir. Seperti Paris, Madrid, dan Roma pada tanggal 14-25 Maret 2020 dibandingkan dengan data pada tahun 2019 lalu. Selain di negara-negara Eropa, Tiongkok juga merupakan negara pertama yang menerapkan lockdown menunjukkan data yang sama, yaitu adanya penurunan polusi udara secara signifikan, bahkan penurunannya sebesar 20% – 30% jika dibandingan dengan data tiga tahun yang lalu. Penurunan polusi udara juga terjadi di negara Amerika Serikat, Italia, dan Spanyol.
Sementara itu di Indonesia sendiri khususnya kualitas udara yang ada di Jakarta setelah menerapkan PSBB, dikutip dari rilis Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) tercatat mengalami penurunan gas polutan NO2 sekitar 40% dibandingkan tahun 2019. Tapi penurunan tidak terjadi pada polutan udara jenis PM 2,5 (konsentrasi polusi partikulat kecil), angka PM 2,5 masih cukup tinggi. Menurut Standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) batas maksimal konsentrasi PM 2.5 adalah 25 mikrogram per meter kubik, sedangkan data pada tangal 1 Januari sampai diberlakukan PSBB pada 22 April angka PM 2,5 di Jakarta masih diatas standar yang diberikan oleh WHO.
Namun yang sangat perlu menjadi catatan adalah penurunan polusi udara NO2 ini tidak serta-merta membuat kita dapat menyimpulkan bahwa kebijakan lockdown dapat memberikan dampak besar terhadap lingkungan. Hal ini karena tingkat pencemaran polusi udara sendiri sebenarnya masih dapat berubah setiap waktunya, berdasarkan aktivitas kendaraan bermotor maupun industri, jika pada suatu waktu aktivitas industri atau lalu lintas kendaraan kembali meningkat dari sebelumnya, kualitas udara suatu wilayah dapat berubah juga mengikuti suatu keadaan biru sendiri. Tetap memang akan berbeda jika ada perubahan gaya hidup yang masif untuk menerapkan gaya hidup yang lebih ramah lingkungan saat sekarang maupun setelah pandemi ini berakhir nantinya. Selain itu, isu lingkungan menjadi permasalahan yang kompleks yang melibatkan banyak faktor untuk menjamin kelestarian lingkungan. Salah satunya adalah permasalahan mengenai sampah, yang menjadi persoalan baru di tengah merebaknya pandemi virus Corona, penumpukan sampah medis justru tidak dapat dihindari, upaya penanganan yang masih terbatas saat ini menjadi salah satu hal yang akan berdampak besar terhadap lingkungan. Tidak hanya itu, sampah medis juga bisa saja akan berdampak pada penyebaran virus jika tidak dikelola dengan baik. Maka mungkin dibutuhkan protokol khusus yang harus dipatuhi dalam mengelola sampah medis.
Untuk saat ini ternyata masih banyak rumah sakit yang belum memiliki teknologi pengelolaan limbah medis bahan berbahaya dan beracun. Menurut Sekretaris Jenderal Perkumpulan Ahli Lingkungan Indonesia atau Indonesian Environmental Scientist Association (IESA) Lina Mugi Tri Astuti, yang mengutip laporan Kementerian Kesehatan, dari 2.852 rumah sakit yang ada di Indonesia, baru 96 rumah sakitlah yang memiliki insinerator (alat untuk pembakaran sampah sampai habis) dari insinerator yang ada sebenernya tidak semua berfungsi dengan layak. Dalam implementasinya, penggunaan insinerator ini harus mengikuti prosedur khusus agar tidak menimbulkan dampak bagi lingkungan lainnya. Karena insinerator dapat menimbulkan emisi gas yang dapat mencemari lingkungan. Sementara itu, saat ini baru ada tiga rumah sakit di Indonesia yang menggunakan autoklaf. Pengelolaan sampah dengan menggunakan autoklaf (alat pensterilan berupa ruangan kedap udara) masih minim. Padahal penggunaan autoklaf ini jauh lebih ramah lingkungan karena teknik sterilisasi dengan menggunakan autoklaf tidak melalui proses pembakaran (non insinerasi) sehingga tidak akan menyebabkan adanya pencemaran udara. Sekarang sebagai pembanding, mari melihat upaya pemerintah Tiongkok, saat Wuhan menjadi episentrum pandemi Covid-19, selain membangun rumah sakit dalam waktu singkat, pemerintah Tiongkok juga membangun tempat pembuangan sampah baru untuk pembuangan limbah medis dalam waktu yang singkat, karena pengelolaan sampah medis yang lama tidak akan mencukupi. Saat itu, rumah sakit di Wuhan dalam sehari dapat menghasilkan sampah enam kali lebih banyak dari biasanya yaitu setara 240 ton dari hanya 40 ton dari waktu sebelumnya. Tidak lupa, pemerintah Tiongkok juga melakukan pengangkutan sampah secara mobile, menambah jumlah kendaraan pengangkutan sampah dan juga membangun insinerator di dekat rumah sakit sementara, sehingga sampah akhirnya dapat lebih cepat dikelola. Selain itu, pabrik pembuangan limbah industri juga diubah untuk mengelola sampah medis.
Kemudian selain sampah medis, permasalahan sampah plastik juga sebenarnya menjadi salah satu soal yang pengelolaannya sangat perlu disorot saat ini. Hal ini karena sampah plastik dan bekas kemasan makanan itu akan cenderung meningkat karena akses keluar rumah yang dibatasi. Adanya keterbatasan akses tersebutlah yang akan mengubah pola konsumen masyarakat yang lebih memilih transaksi melalui layanan seluler. Saat ini rumah makan atau kafe lebih banyak menerima pesan antar dan masih banyak yang memilih menggunakan plastik sekali pakai sebagai pengemasannya. Dan peningkatan pembelanjaan kebutuhan pokok di masa pandemi juga cenderung dilakukan melalui layanan seluler. Menurut survei yang dilaksanakan oleh Telunjuk.com, data menunjukkan dibeberapa e-commerce seperti Tokopedia, Shopee dan Bukalapak terdapat kenaikan belanja daring untuk kebutuhan pokok sekitar 400%, data diambil pada tanggal 2 Maret sampai 5 April 2020. Penutup Pada akhirnya limbah yang ada saat ini salah satunya yaitu sampah plastik telah lama menjadi persoalan bagi lingkungan. Sebagian besar sampah plastik masih dibuang ke tempat pembuangan akhir bahkan ke laut tanpa proses pengelolalaan lebih lanjut sehingga menyebabkan terganggunya ekosistem laut. Ellen Macarthur menyebutkan bahwa pada tahun 2050 sampah plastik akan lebih banyak jumlahnya dibanding ikan yang ada di lautan, jika hal ini terjadi maka itu akan mengganggu rantai makanan dan juga ekosistem. Maka dari itu, pada masa pandemi ini, pengelolaan sampah plastik harus segera diperhatikan pengelolaannya dan diminimalisir sebaik mungkin penggunaannya. Adanya Pandemi Covid-19 telah banyak mempengaruhi sejumlah aspek kehidupan. Banyak sekali negara dalam hal ini mulai menerapkan sejumlah kebijakan untuk membatasi segala bentuk aktivitas. Melalui berbagai pemberitaan disebutkan bahwa kebijakan lockdown ini akhirnya bisa membawa dampak pada membaiknya kualitas udara, namun sebenarnya permasalahan baru juga bermunculan yakni permasalahan sampah medis dan juga sampah plastik yang meningkat dikarenakan terjadinya pemusatan aktivitas di rumah sakit dan di rumah – rumah. Tentu saja dalam hal ini perlu adanya kebijakan strategis dari pemerintah dan juga masyarakat untuk memilih opsi apa yang lebih ramah lingkungan dalam menghadapi permasalahan lingkungan di masa pandemi Covid-19. Karena permasalahan pada lingkungan juga penting dan butuh upaya yang pastinya masif dan konsisten untuk mencegah kerusakan lingkungan.
Daftar Pustaka :
- http://tl.fst.unair.ac.id/en/2020/07/14/dampak-covid-19-terhadap-lingkungan-dan-
persiapan-menuju-new-normal-yang-ramah-lingkungan/ - https://www.feb.ui.ac.id/blog/2020/11/13/dampak-covid-19-terhadap-ketenagakerjaan-pangan-dan-lingkungan/