Steve cutts, merupakan salah satu channel youtube yang paling saya suka, terutama karena kebanyakan kontennya adalah tentang sindiran terhadap kehidupan masa kini yang dikemas dalam bentuk animasi. Salah satu video yang saya tonton, dan mungkin sudah viral beberapa tahun yang lalu, adalah videonya yang berjudul “Man“[4]. Dalam video tersebut, kita dibuat sadar tentang seberapa rakusnya kita dalam menggunakan hewan dan lingkungannya di kehidupan saat ini.

Dari beberapa cuplikan yang ditampilkan, salah satu cuplikan bercerita tentang kelinci yang digambarkan sebagai hewan yang mengalami penyiksaan dalam laboratorium. Saya penasaran dengan hal tersebut, saya coba mencari tahu di google, ternyata memang banyak ditemukan terkait isu penggunaan hewan sebagai bahan percobaan[7,8,9].
Artikel-artikel tersebut menceritakan tentang aksi masyarakat, khususnya pecinta hewan, yang mengecam tindakan ilmuwan terkait penggunaan hewan sebagai model percobaan. Namun, tidak banyak artikel yang menyampaikan tentang kenapa menggunakan hewan sebagai model percobaan serta bagaimana perlakuannya. Sehingga pada artikel ini, saya tertarik untuk mengangkat tentang bagaimana sebenarnya hewan diperlakukan di dalam lab.

Kenapa harus hewan?

Pastinya anda bertanya-tanya terkait hal tersebut. Kenapa harus menggunakan hewan coba? Apakah tidak ada alternatif lain?
Sebenarnya ada alternatif lain, seperti dengan kultur sel. Namun, sebagian ilmuwan tetap berpikir bahwa hewan tetap yang terbaik untuk model percobaan, terutama terkait uji obat-obatan dan terapi bioteknologi. Walaupun bisa melalui kultur sel, namun informasi yang diperoleh dari penelitian masih sangat sedikit, terbatas hanya pada interaksi antara sel-sel tersebut dengan bahan aktif yang diuji. Sedangan uji dengan hewan, atau secara in vivo, memberikan informasi yang lebih mendetail tentang interaksi-interaksi kompleks antara tubuh dan sel-sel di dalam tubuh makhluk hidup yang tidak dapat diperoleh melalui uji dalam sebuah cawan petri. Hal ini jika diabaikan justru dapat membahayakan kehidupan masyarakat ketika memakai bahan aktif tersebut untuk pengobatan[1].
Tentang aturan 3R dan 5F

Dalam setiap jurnal bereputasi, seperti plos one, nature, dll., memberikan persyaratan penyataan etik resmi apabila menggunakan hewan sebagai model percobaan dalam suatu penelitian. Dalam pernyataan etik, ilmuwan ternyata harus mempertimbangkan terlebih dulu aturan 3R sebelum menggunakan hewan sebagai model percobaan. Aturan 3R tersebut terdiri atas Refine, Reduce, dan Replace.
Refine artinya bahwa hewan yang digunakan dalam suatu penelitian harus berada pada taxa yang serendah mungkin. Sebagai contoh, apabila suatu percobaan ingin menggunakan monyet sebagai hewan model, namun ketika hewan tersebut bisa digantikan dengan hewan taxa rendah seperti tikus atau bahkan ikan, maka ilmuwan tersebut harus mempertimbangkan kembali hewan model yang digunakannya. Kecuali ilmuwan tersebut memiliki alasan yang kuat terkait penggunaan monyet sebagai hewan model, maka hal tersebut baru diizinkan[2].
Reduce, artinya hewan yang digunakan sebagai hewan model harus seminimal mungkin. Dalam hal ini, tanggung jawab seorang ilmuwan diuji. Seorang ilmuwan harus berusaha seminimal mungkin melakukan kesalahan, sehingga hewan yang digunakan untuk percobaan tidak berlebihan[2].
Replace, artinya apabila memungkinkan bahwa percobaan tersebut bisa dilakukan tanpa hewan, maka opsi tersebut lebih baik dipertimbangkan. Saat ini, telah ditemukan alternatif lain dari penggunaan hewan sebagai model percobaan, yaitu kultur sel. Melalui kultur sel, suatu penelitian dapat dilakukan pada bagian tertentu dari hewan, yang dikultur dalam suatu cawan petri, sehingga mengurangi penggunaan hewan sebagai hewan model[2].
Selain 3R, ada juga prinsip 5F (Five Freedom) yang harus dipatuhi oleh setiap ilmuwan ketika menggunakan hewan sebagai model percobaan. Aturan 5F tersebut terdiri atas :

1. Free from hunger and thirst
Artinya hewan model harus terhindar dari lapar dan haus. Seorang peneliti dituntut untuk dapat memberikan makanan dan minuman yang layak untuk hewan model. Makanan tersebut harus memiliki porsi yang cukup sesuai kebutuhan hewan untuk bertahan hidup, dan sesuai dengan apa yang disukai oleh hewan tersebut di alam bebas.[3]
2. Free from discomfort
Artinya hewan model harus terbebas dari rasa tidak nyaman. Dalam hal ini, lingkungan untuk tempat tinggal hewan harus sesuai dengan habitat aslinya, baik dari segi suhu, cahaya, tempat tidur, suara, dll. Memang kita tidak bisa memenuhi semua kriteria yang disebutkan, namun setidaknya kita bisa memberikan mereka perasaan nyaman ketika berada di dalam kandang[3].
3. Free from injury, pain, or disease
Walaupun hewan model kita uji dengan berbagai macam perlakuan, namun kita juga tidak boleh membiarkan hewan itu merasa kesakitan. Bagaimana maksudnya? Mungkin sekilas kita berpikir bahwa hal ini tidak bisa dihindari. Namun, peneliti dituntut agar setidaknya dapat mengurangi rasa sakit hingga seminimal mungkin, seperti melalui diagnosis cepat atau pengobatan cepat[3].
4. Freedom to express normal behaviour
Artinya hewan tersebut harus tetap beraktivitas normal seperti di habitatnya. Jika hewan umumnya butuh teman, maka ilmuwan harus menyediakan teman untuk mereka. Jika hewan lebih suka berkelompok, maka ilmuwan harus menyediakan tempat yang cukup luas untuk mereka. Jika hewan terbiasa mencakar sesuatu, maka ilmuwan harus menyediakan tempat untuk mereka mencakar[3].
5. Free from fear and distress
Satu hal yang paling penting, yang merupakan tujuan akhir dari semua prinsip, adalah hewan harus terbebas dari rasa takut atau stress. Ilmuwan dituntut untuk tidak menakuti atau menyiksa hewan, dan mengusahakan agar mereka tetap merasa nyaman di sekitar kita[3].
Positif reinforcement

Dalam memperlakukan hewan, umumnya peneliti diajarkan terkait dengan sebuah sistem yang membuat hewan tersebut mau menuruti peneliti secara sukarela tanpa paksaan. Sistem ini dikenal sebagai positif reinforcement. Dalam sistem ini, ilmuwan diharapkan bisa dekat dengan hewan ujinya. Umumnya, hewan akan diberi hadiah berupa makanan kesukaannya jika berhasil melewati tahapan-tahapan yang diberikan oleh peneliti. Tahapan ini rupanya sering mendapatkan kesalahpahaman dari pihak luar, yang merasa bahwa hewan dipaksa untuk memakai alat-alat tertentu, namun terkadang alat ini dipasangkan secara sukarela pada hewan coba[6].
Bagaimana ilmuwan memegang binatang?

Tahapan ini juga merupakan tahapan yang penting untuk dikuasai peneliti dalam memperlakukan hewan model. Bahkan terkadang, seorang peneliti mungkin lebih tahu dibandingkan masyarakat pada umumnya. Seperti halnya kelinci, ternyata berbeda perlakuannya dibandingkan kucing. Pada kelinci, ketika menggendongnya kita harus menopang bagian bawah kelinci karena sifat tulang belakang kelinci yang rapuh. Selain itu, kelinci tidak boleh digendong di bagian telinga karena dapat menyebabkan rasa sakit yang luar biasa[5].
Sekian penjelasan terkait bagaimana ilmuwan memperlakukan hewan dalam percobaan. Mungkin beberapa informasi telah kita ketahui, namun ada juga informasi yang tidak kita ketahui. Walaupun pastinya ada ilmuwan yang mungkin melanggar aturan tersebut, namun sebagai orang yang cerdas, kita tidak boleh memprotes secara berlebihan dan harus tetap menaati aturan yang berlaku. Apakah protes tetap boleh dilakukan? Tentu saja boleh. Dengan protes tersebut, setidaknya di masa depan kita bisa mengurangi jumlah penggunaan hewan sebagai hewan model.
Sumber :
[1]Murphy, HC. 1991. The Use of Whole Animals Versus Isolated Organs or Cell Culture in Research .Transactions of the Nebraska Academy of Sciences, XVIII: 105-108
[2] Russell, W M. S, and Rex L. Burch. 1959. The Principles of Humane Experimental Technique. London: Methuen.
[4] https://www.youtube.com/watch?v=WfGMYdalClU&ab_channel=SteveCutts
[6] https://www.humanesociety.org/resources/positive-reinforcement-training
[7] https://www.bbc.com/news/uk-england-humber-60102507
[8] https://www.harrogate-news.co.uk/2021/08/13/protest-held-at-local-animal-testing-facility/