Ditulis oleh Surya – Insitut Teknologi Bandung
Skripsi, satu kata berjuta rasa. Begitulah agaknya definisi yang dapat saya terangkan mengenai skripsi. Pasalnya banyak sekali perasaan yang bisa dirasakan saat mengerjakan skripsi. Senang, sedih, gembira, khawatir, haru, dan bangga berkelindan satu sama lain. Banyak pula pengalaman yang bisa diperoleh kala mengerjakan skripsi. Mulai dari pengalaman akademik hingga pengalaman psikologis semuanya saling melengkapi satu sama lain.Perkenalkan saya Surya, hamasiswa yang akhirnya bisa selesai perkara dengan dunia kampus. Hamasiswa adalah sedikit guyonan yang menunjukan seorang mahasiswa yang membutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikan studi. hehehe. Enam tahun adalah masa studi yang saya perlukan untuk berhasil selesai hubungan dengan kampus. Tiga tahun untuk kuliah di kelas dan tiga tahun berikutnya untuk skripsi. Tak pernah terbayangkan tentunya di masa-masa awal menjadi mahasiswa jika saya akan berkuliah dengan waktu selama itu.
Tiga tahun pertama menjadi mahasiswa yang bisa dibilang lancar soal urusan akademik. Walaupun belum pernah mendapatkan IP 4 namun saya tetap bisa mendapatkan hasil yang memuaskan. Sampai-sampai saya mendapatkan penawaran untuk mengikuti program Fasttrack (Program percepatan sarjana dan magister dalam waktu lima tahun) dari jurusan. Program ini pun menawarkan penelitian selama magister di luar negeri. Alangkah senangnya saya waktu itu karena dengan mengikuti program ini artinya saya bisa mempercepat perjalanan menuju cita-cita saya menjadi seorang dosen dan bisa pergi keluar negeri. Namun alih-alih mengikuti program Fasttrack saya malah Slowtrack karena untuk mendapatkan gelar sarjana saja saya menghabiskan waktu enam tahun.
Pada waktu itu sebagai mahasiswa program Fasttrack saya harus memulai penelitian yang bisa digunakan untuk data skripsi di tahun ketiga yang notabene lebih cepat dibandingkan teman-teman pada umumnya karena saya dituntut bisa lulus dengan waktu tiga setengah tahun kemudian setelah itu bisa memulai program magister. Pada waktu itu, penelitian untuk skripsi sudah hampir saya selesaikan di awal tahun ke empat. sehingga saya bisa mengejar sarjana dengan waktu tiga setengah tahun. Namun, aral tak dapat dicegah. untung tak bisa ditolak. Satu minggu sebelum saya maju seminar akhir terjadi pencurian di kontrakan saya waktu itu. Tas saya yang berisi laptop, dan barang-barang lainnya raib dengan seketika. Dengan hilangnya laptop yang menjadi senjata utama saya saat menyusun skripsi dan mempersiapkan seminar kala itu berarti hilang pula data yang telah saya dapatkan dari penelitian. Back up data yang saya simpan di memori eksternal saat itu juga ikut raib karena ada di dalam tas yang sama. Pelajarannya adalah simpan back up data skripsi sebanyak mungkin agar ketika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan masih ada cadangannya.
Tubuh saya seperti dilolosi pada waktu itu karena itu artinya saya harus mengulangi penelitian yang bisa dibilang tidak mudah, begitu banyak tenaga dan dana yang harus dikeluarkan. Keadaan semakin memburuk karena di tahun keempat tersebut beasiswa yang saya dapatkan dari sebuah lembaga zakat juga telah habis masanya. Beberapa hari berikutnya saya pun mengadukan masalah yang saya hadapi dengan dosen pembimbing kala itu. Namun tak berjalan lancar karena saya mengalami masalah psikologis akibat tragedi ini.
Saya menjadi malas untuk kembali mengerjakan skripsi, takut bertemu dengan dosen pembimbing, saya pun tak enak hati jika harus meminta bantuan kepada banyak orang. Materi penelitian yang juga semakin rumit menambah alasan saya untuk berhenti terlebih dahulu dari mengerjakan skripsi. Akhirnya saya menyimpan masalah itu sendiri. Saya akan menyelesaikan masalah itu sendiri. Kemudian, Saya bekerja dengan mengajar di sebuah lembaga bimbingan belajar untuk mendapatkan pemasukan dana. Semenjak kuliah saya sudah tidak mendapatkan uang lagi dari orang tua. Orang tua saya bekerja sebagai buruh pabrik tak mampu menyekolahkan anaknya hingga ke tingkat sarjana. Sehingga saya harus berjuang untuk bisa bertahan dengan cara apapun. Selain bekerja, saya pun menenggelamkan diri dalam kesibukan di dunia organisasi sebagai pelarian saya dari skripsi.
Setelah tragedi itu saya sempurna menghilang beberapa bulan dari kampus. Saya menjadi tertutup kepada semua orang terutama orang-orang kampus. Dalam fikir saya, saya akan menemukan solusi dari masalah saya dan saya bisa menghadapinya sendiri. Berulang kali saya ingin sekali menemui dosen pembimbing lagi. Keberanian yang telah saya kumpulan dari rumah langsung runtuh seketika saat saya berada di depan ruangan dosen. Berulang kali terjadi seperti itu. Teman-teman di kampus mulai berdatangan mencari saya yang menghilang dari kampus. Sedangkan saya berat memikirkan skripsi dan sibuk sendiri dengan bekerja dan berorganisasi. Dan tak terasa waktu terus berlalu hingga telah dua tahun berlalu dan saya menyimpan beban psikologis itu.
Pada akhirnya saya sadari jika saya harus meminta pertolongan. Memang baik jika bisa menyelesaikan masalah sendiri. Namun terkadang kita juga harus meminta pertolongan kepada orang lain. Belajar dari nasehat mereka dan belajar dari pengalaman mereka. Saya pada akhirnya mampu memberanikan diri bertemu dengan dosen pembimbing dan mendapatkan nasehat darinya. Saya pun mendapatkan pinjaman laptop dari seorang teman untuk kembali mengerjakan skripsi saya. Materi penelitian juga akhirnya saya dibantu oleh senior di laboratorium untuk memahaminya. Dana kuliah pun akhirnya saya bisa dapatkan dari pihak yang lain. Satupersatu masalah selesai hingga saya pun bisa mengikuti seminar, sidang, dan wisuda. Ternyata kita jangan egois untuk ingin menyesaikan masalah sendiri. Kita adalah makhluk yang sosial saling membutuhkan satu sama lain. Terkadang kita menolong, di waktu yang lain kita harus mau jadi yang ditolong.