Ditulis oleh Ayif Amrullah – UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Mengapa aku memilih menjadi mahasiswa? Pertanyaan semacam ini sepintas memenuhi seisi otakku ketika aku mulai menginjakkan kaki di semester-semester akhir. Hal ini terjadi ketika otak ini dihadapkan dengan gambaran masa depan yang masih abu-abu. Di sisi lain, kawan-kawan sebayaku yang tidak melanjutkan kuliah, sudah bekerja dengan gaji yang belum tentu didapat seorang sarjana ketika lulus, bahkan ada pula yang mulai sukses dengan bisnis yang dirintisnya sejak lulus SMA. Namun, jika orientasinya adalah uang maka aku pasti merasa minder, toh hidup ini bukan melulu tentang materi. Ilmu, pengalaman, dan relasi selama kuliah ini mungkin tidak akan pernah bisa tergantikan oleh sepeser rupiah pun.Di masa-masa terakhir aku kuliah, di penghujung semester tujuh tepatnya aku memulai seminar proposal untuk karya ilmiahku. Pada November 2015, aku ajukan seminar proposalku untuk diujikan, namun hingga akhir Maret 2016 tak kunjung keluar Surat Keputusan (SK) dosen pembimbing. Hingga akhirnya pada awal Februari di tahun yang sama aku memilih untuk mengajukan magang di salah satu instansi pemerintah, yaitu Kementerian Luar Negeri RI. Setelah hampir satu minggu menunggu, akhirnya pihak kementerian mengkonfirmasi lamaran magangku dan memberi kesempatan itu pada periode bulan Juli hingga September 2016. Waktu magangku yang masih cukup lama membuatku untuk berpikir menyelesaikan skripsiku tepat sebelum periode magang dimulai.
Awal bulan April menjadi titik awal karya ilmiah ini mulai kugarap. Setelah kurang lebih empat sampai lima kali dalam dua bulan aku menemui dosen pembimbing skripsiku, aku telah sampai pada bab kedua. Rencana tinggalah rencana. Realitas tak selalu berjalan lurus. Kendala menyelesaikan skripsi di jurusan Sastra Inggris bukan hanya masalah teknis penulisan yang berbahasa Inggris, namun kesulitan menemui dosen yang kebetulan kedapatan sedang bertugas melakukan penelitian ke eropa, dan juga ditambah lagi kurangnya fokusku karena harus tetap membagi waktu dengan mengambil kerja paruh waktu sebagai tutor privat. Menjadi seorang tutor privat juga sudah aku jalani sejak enam bulan sebelumnya. Lumayan selain cukup untuk jajan tambahan, ini juga jadi tabungan untuk pengeluaran biaya skripsiku. Sedikit informasi, hobi mengajarku ini bermula ketika aku bergabung dengan sebuah komunitas relawan yang bergerak di bidang pendidikan untuk anak-anak jalanan dan anak para pemulung di sekitar kampus, yaitu Gypsy Youth Empowerment. Komunitas ini pula yang banyak memberiku sudut pandang yang baru tentang anak-anak dan pendidikan mereka, tentang metode dalam mendidik, pengalaman, dan masih banyak lagi.
Di bulan Juni, aku hampir tak menyentuh skripsiku karena harus terlibat sebagai tutor pada program pesantren kilat (sanlat) di bulan Ramadhan. Aku pikir awalnya aku masih bisa mengerjakan skripsiku meski harus mengikuti sanlat. Alhasil nihil. Aku tak banyak menyentuh laptopku kecuali untuk keperluan menyiapkan materi sanlat. Tiga minggu waktu sanlat berjalan, sisanya aku habiskan waktu dengan berlibur lebaran di kampung halamanku, Majalengka.
Waktu liburan di rumah pun aku hanya beberapa kali mengecek dan mengolah skripsiku. Tepat dua minggu setelah lebaran aku harus mengikuti program magang di Kemlu RI. Magang di kemlu ini menjadi pengalaman baru bagiku. Mencoba beradaptasi dengan dunia kerja meskipun hanya sebagai anak magang cukup canggung pada awalnya. Biasalah segala sesuatu pasti akan terasa sulit diawal. Aku ditempatkan pada sub divisi berita pada Direktorat Informasi dan Media. Pengalamanku berada di divisi berita cukup menantang. Aku ditugasi untuk memonitori media (media monitoring) cetak maupun digital yang berkaitan dengan isu-isu Indonesia dan luar negeri dan juga merekapitulasi itu hingga rapih dan sampai ke tangan Ibu Menlu dan jajarannya. Aku pun mendapat kawan baru, relasi baru dengan para senior di direktorat yang sama dan yang terpenting pengalaman mengabdi untuk pemerintah ini.
Sebagai konsekuensi, rencana awalku mulai berubah. Akupun berniat untuk tetap mengerjakan skripsiku di sela-sela waktu magang. Kopi di malam hari tak jarang jadi teman setia di samping laptop. Tapi lagi-lagi realitas jauh dari ekspektasi. Alhasil, aku tak banyak menyentuh skripsiku di siang maupun malam hari. Akhir pekan pun menjadi opsi waktuku untuk menjamah skripsi.
Dua bulan sudah masa magangku, targetku semakin realistis. Akhir tahun ini skripsiku harus selesai. Dengan bantuan dosen pembimbingku dan doa-doa orangtua di kampung halaman serta pahitnya kopi di malam hari telah membawaku ke hari sidang skripsiku di Desember 2016. Alhamdulillah. 18 februari 2017 aku diwisuda dengan predikat kumlaude. Syukurku kepada Allah SWT dan orangtua serta semua orang yang telah mendoakanku. Terimakasih.
Bagiku, menjadi mahasiswa tidak melulu tentang belajar di kelas. Ilmu dan pengalaman sesungguhnya kita bisa dapat dari kehidupan di sekitar kampus. Organisasi, ruang-ruang komunitas, pengalaman magang bahkan kerja paruh waktu bisa menjadi media kita belajar. Karena mungkin beginilah seharusnya menjadi mahasiswa. Harus bisa multitasking, agar waktu yang dijalani selama di perkuliahan bisa lebih bermanfaat. Skripsi pun tak harus selesai cepat, yang penting selesai pada waktu yang tepat. Keep spirit wahai pejuang skripsi!
Sungguh bagus artikel ananda.
Semoga ada barokah dan manfa’at bagi semua pecinta ilmu, multitasking demi cita-cita masa depan.