Kita mungkin merasa jengkel ketika hujan berlangsung selama beberapa hari tanpa henti. Namun, fenomena tersebut tidak sebanding dengan apa yang terjadi di zaman Carnian, sekitar 233 juta tahun yang lalu, ketika Bumi mengalami hujan deras selama dua juta tahun berturut-turut. Peristiwa hujan berkepanjangan ini dikenal sebagai Carnian Pluvial Episode, salah satu fase paling ekstrem dalam sejarah iklim Bumi.
Selama periode tersebut, curah hujan tidak hanya turun tanpa jeda, tetapi juga membawa perubahan besar pada ekosistem global. Banjir besar dan kelembapan tinggi merombak lanskap, memicu kepunahan banyak spesies, tetapi di sisi lain menciptakan kondisi bagi munculnya kelompok hewan dan tumbuhan baru, termasuk nenek moyang awal dinosaurus. Hujan selama dua juta tahun ini menandai pergeseran iklim drastis dari kondisi kering menjadi sangat lembap, yang disebabkan oleh aktivitas vulkanik masif dan peningkatan kadar gas rumah kaca di atmosfer. Fenomena ini mengubah tidak hanya cuaca, tetapi juga struktur ekosistem, membentuk masa depan kehidupan di planet kita.
Peristiwa ini dimulai sekitar 232 juta tahun yang lalu, ketika iklim Bumi mengalami perubahan ekstrem. Seperti biasa, setelah musim panas panjang dan kering, datanglah hujan deras sebagai bagian dari siklus iklim. Namun, kali ini, hujan yang turun tidak kunjung berhenti. Intensitasnya semakin tinggi, dan curah hujan berlangsung tanpa henti selama periode yang sangat lama.
Pada masa itu, benua-benua di Bumi masih tergabung dalam sebuah superbenua besar yang disebut Pangaea. Konfigurasi Pangaea membuat daratan luas ini rentan terhadap perubahan iklim ekstrem, termasuk musim hujan berkepanjangan. Ketika hujan terus mengguyur, kondisi atmosfer dan laut berubah drastis. Suhu lautan menjadi sangat tinggi, seperti “sup panas”, menurut Paul Wignall, seorang peneliti paleoenvironmental, dalam wawancaranya dengan New Scientist. Laut yang memanas meningkatkan kelembapan udara, memperparah hujan yang sudah berlangsung terus-menerus.
Fenomena ini menciptakan cabang baru dalam sejarah iklim Bumi. Hujan lebat selama jutaan tahun tidak hanya mengubah lanskap, tetapi juga mendorong kepunahan spesies besar-besaran. Pada saat yang sama, perubahan ini membuka peluang evolusi bagi kelompok hewan baru, termasuk nenek moyang dinosaurus dan berbagai jenis tanaman yang kemudian mendominasi ekosistem Bumi.
Pada masa tersebut, atmosfer sudah dipenuhi dengan uap air dalam jumlah besar, menciptakan kondisi yang ideal untuk terjadinya musim hujan. Namun, pertanyaannya adalah: Apa yang membuat cuaca menjadi jauh lebih basah dan berlangsung begitu lama? Berbeda dengan hujan biasa yang terjadi di akhir musim panas, beberapa ilmuwan berpendapat bahwa serangkaian letusan gunung berapi masif mungkin menjadi pemicu utama peristiwa hujan berkepanjangan ini.
Gunung-gunung berapi tersebut meletus di kawasan yang sekarang dikenal sebagai Wrangellia Terrane, sebuah wilayah yang membentang di sepanjang pantai Alaska hingga British Columbia. Letusan vulkanik ini diperkirakan memuntahkan sejumlah besar gas dan abu vulkanik ke atmosfer, termasuk karbon dioksida dan sulfur dioksida, yang memicu peningkatan efek rumah kaca. Gas-gas ini menjebak panas di atmosfer, memanaskan lautan hingga lebih banyak air menguap, yang kemudian membentuk awan tebal dan memicu curah hujan terus-menerus.
Aktivitas vulkanik ini tidak hanya mengubah iklim dalam jangka pendek tetapi juga memengaruhi atmosfer global selama jutaan tahun. Efek dari letusan ini menciptakan lingkaran umpan balik iklim, di mana lebih banyak uap air terbentuk dan semakin memperpanjang musim hujan. Polusi vulkanik juga dapat memengaruhi pola angin dan presipitasi, memperkuat perubahan iklim yang sudah terjadi. Dengan demikian, letusan Wrangellia Terrane memainkan peran penting dalam memicu salah satu peristiwa iklim paling ekstrem dalam sejarah Bumi.
Letusan gunung berapi diketahui mengganggu keseimbangan uap air di stratosfer, lapisan atmosfer yang terletak di atas troposfer. Menurut Jacopo Dal Corso, seorang ahli geosains, letusan besar di Wrangellia Terrane mencapai puncak aktivitasnya selama era Carnian, sekitar 233 juta tahun lalu. “Saya telah mempelajari jejak geokimia dari letusan ini beberapa tahun yang lalu dan menemukan bahwa peristiwa ini memiliki dampak signifikan pada atmosfer di seluruh dunia,” ungkap Dal Corso. Jejak geokimia ini mencakup perubahan komposisi atmosfer akibat gas vulkanik, seperti karbon dioksida (COâ‚‚) dan sulfur dioksida (SOâ‚‚), yang terperangkap dalam batuan dan lapisan sedimen kuno.
Letusan Wrangellia tidak hanya menyemburkan abu dan material vulkanik, tetapi juga melepaskan sejumlah besar gas rumah kaca, terutama karbon dioksida (COâ‚‚). Gas-gas ini meningkatkan efek rumah kaca, menjebak panas di atmosfer dan menyebabkan pemanasan global yang signifikan. Dampaknya tidak hanya bersifat lokal di sekitar wilayah Wrangellia, tetapi memengaruhi iklim global. Lonjakan suhu global akibat letusan ini mempercepat penguapan air laut, menambah jumlah uap air di atmosfer, dan menciptakan lingkaran umpan balik yang memperkuat curah hujan. Kombinasi antara peningkatan kadar COâ‚‚ dan uap air memicu pemanasan atmosfer secara drastis, yang berujung pada hujan berkepanjangan selama dua juta tahun di era Carnian. Peristiwa ini menunjukkan betapa aktivitas vulkanik masif dapat mengubah pola cuaca dan iklim secara global, memicu perubahan besar pada ekosistem dan memengaruhi jalur evolusi kehidupan di Bumi.
Salah satu konsekuensi utama dari curah hujan ekstrem selama dua juta tahun di era Carnian adalah peningkatan tingkat kepunahan, terutama di kalangan makhluk laut seperti amonoid, konodon, dan krinoid. Hujan lebat yang berlangsung lama mengubah ekosistem laut dan darat, menyebabkan spesies yang tidak mampu beradaptasi dengan cepat punah. Namun, peristiwa ini juga membuka jalan bagi munculnya kehidupan baru—khususnya kelompok hewan yang nantinya menjadi dinosaurus.
Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan di Journal of the Geological Society, tim peneliti menunjukkan bahwa setelah kepunahan besar-besaran, terutama di antara tanaman dan herbivora utama di daratan, dinosaurus muncul sebagai penerima manfaat utama. Mereka berhasil bertahan dan berkembang pesat selama fase pemulihan pasca-kepunahan. Dinosaurus tidak hanya mengalami peningkatan keanekaragaman, tetapi juga memperluas dampak ekologis mereka, dengan populasi yang melimpah dan mulai menyebar ke seluruh benua.
Pada awalnya, dinosaurus berkembang di wilayah Amerika Selatan. Namun, seiring berjalannya waktu dan kondisi lingkungan mulai stabil, mereka menyebar ke seluruh dunia, menaklukkan berbagai habitat di semua benua. Keberhasilan dinosaurus dalam periode ini kemungkinan didorong oleh kekosongan ekologi yang ditinggalkan oleh spesies yang punah, memungkinkan mereka mendominasi daratan untuk jutaan tahun berikutnya. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana peristiwa kepunahan besar tidak hanya menghancurkan kehidupan, tetapi juga menciptakan kesempatan bagi spesies baru untuk muncul dan berkembang, mengubah arah evolusi planet kita secara dramatis.
Bukti Hujan Dahsyat
Bukti pertama mengenai peristiwa hujan lebat di era Carnian ditemukan oleh para ahli geologi pada 1980-an, terutama oleh dua ilmuwan Inggris, Alastair Ruffell dan Michael Simms. Salah satu temuan Ruffell berasal dari Bukit Lipe di Somerset, Inggris, di mana ia mengidentifikasi lapisan abu-abu di antara batuan merah. Lapisan ini menjadi petunjuk bahwa wilayah tersebut mengalami perubahan iklim ekstrem—dari periode kekeringan parah ke fase yang sangat basah. Batuan merah biasanya terbentuk di lingkungan kering, sedangkan lapisan abu-abu menunjukkan periode hujan intensif yang kemudian menyapu daerah itu.
Meskipun temuan mereka membuka wawasan baru tentang perubahan iklim purba, ketika Ruffell dan Simms mempublikasikan hasil penelitiannya, reaksi dari komunitas ilmiah tidak sepenuhnya positif. Pada saat itu, teori tentang perubahan drastis dari kekeringan ke kondisi basah ini belum mendapat banyak dukungan ilmiah. Bahkan, Simms mengingat bahwa beberapa akademisi senior menganggap gagasan tersebut tidak masuk akal. Namun, temuan serupa mulai muncul dari berbagai wilayah lain, seperti Jerman, Amerika Serikat, dan pegunungan Himalaya. Di lokasi-lokasi tersebut, lapisan batuan purba juga menunjukkan jejak perubahan iklim mendadak, memperkuat bukti bahwa peristiwa hujan berkepanjangan di era Carnian bukan sekadar anomali lokal, melainkan fenomena global. Meskipun awalnya ditanggapi dengan skeptis, penelitian lebih lanjut akhirnya mengakui bahwa periode hujan lebat ini memainkan peran penting dalam membentuk ekosistem dan mengatur jalur evolusi kehidupan di Bumi pada masa berikutnya.
Meskipun Alastair Ruffell dan Michael Simms akhirnya beralih ke penelitian lain, bukti-bukti yang mendukung teori mereka tentang peristiwa hujan lebat di era Carnian terus bertambah seiring waktu. Temuan-temuan baru dari berbagai belahan dunia mulai memperkuat gagasan bahwa peristiwa ini bukan sekadar anomali lokal, tetapi bagian dari perubahan iklim global yang signifikan.
Seiring dengan bertambahnya bukti, minat ilmiah terhadap topik ini pun tumbuh pesat. Penelitian tentang hujan lebat berkepanjangan di masa Carnian kini telah berkembang menjadi bidang kajian khusus yang menarik perhatian banyak ahli geologi dan paleoklimatologis. Bahkan, topik ini telah menjadi fokus konferensi ilmiah yang didedikasikan sepenuhnya untuk mendalami fenomena tersebut. Dalam pertemuan ini, para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu berbagi penemuan terbaru dan membahas dampak perubahan iklim purba terhadap evolusi kehidupan dan lingkungan Bumi.
Hal ini menunjukkan bahwa teori yang dulu dianggap tidak masuk akal kini menjadi landasan penting dalam ilmu geologi dan paleoklimatologi. Pemahaman yang lebih mendalam tentang peristiwa seperti ini memberikan wawasan penting tentang bagaimana iklim ekstrem di masa lalu memengaruhi ekosistem dan memicu perubahan evolusi besar-besaran, termasuk munculnya dinosaurus dan spesies lain yang mendominasi Bumi selama jutaan tahun.
REFERENSI:
Gallup, C D, dkk. 2006. Earth’s Climate: Past and Future. Advancing Earth and Space Sciences: Transactions American Geophysical Union. Volume 82, Issue 47 p. 576-576. https://doi.org/10.1029/01EO00336
Petit, J. R., Jouzel, J., Raynaud, D., Barkov, N. I., & Barnola, J.-M. 1999. “Climate and Atmospheric History of the Past 420,000 Years from the Vostok Ice Core.” Nature, 399(6735), 429-436. https://doi.org/10.1038/20859
Simms, Michael J & Ruffell, Alastair H. 2018. The Carnian Pluvial Episode: from discovery, through obscurity, to acceptance. Journal of the Geological Society 175 (6): 989–992. https://doi.org/10.1144/jgs2018-020